Banner v.2
Banner v.1

QRIS Tuai Sorotan AS: Inovasi Nasional atau Hambatan Global?

QRIS Tuai Sorotan AS: Inovasi Nasional atau Hambatan Global?

QRIS Tuai Sorotan AS Inovasi Nasional atau Hambatan Global--

RADARBANYUMAS.CO.ID - Amerika Serikat kembali menyoroti kebijakan sistem pembayaran digital di Indonesia, khususnya implementasi QRIS. Kritik ini muncul dari laporan tahunan 2025 National Trade Estimate yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR).

AS menilai pengembangan QRIS di Indonesia terkesan tertutup dan kurang melibatkan pelaku usaha dari luar negeri. Mereka menganggap kebijakan ini terlalu mengedepankan perlindungan pasar dalam negeri tanpa mempertimbangkan keterbukaan terhadap sistem global.

Dalam laporan itu, USTR menyebut minimnya partisipasi perusahaan internasional dalam proses penyusunan kebijakan QRIS menjadi kekhawatiran utama. Perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam merasa diabaikan dalam perumusan sistem pembayaran ini yang seharusnya bisa terintegrasi dengan sistem internasional.

Menurut mereka, perubahan dalam kebijakan pembayaran digital seharusnya dikomunikasikan lebih awal kepada pelaku usaha global. Namun, dalam hal QRIS, perusahaan asing merasa tidak mendapat kesempatan untuk memberikan masukan atau menyesuaikan sistem mereka lebih awal.

BACA JUGA:UMP Gelar Kuliah Tamu Internasional tentang Bioteknologi Kelapa Bersama Profesor Asal Australia

BACA JUGA:Dukungan BRI Antar Usaha Lokal Perhiasan Batu Alam Jangkau Pasar Internasional

QRIS sendiri diberlakukan melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 21 Tahun 2019 yang mewajibkan seluruh transaksi berbasis QR code mengikuti satu standar nasional. Tujuannya adalah menyatukan berbagai platform pembayaran agar lebih efisien, cepat, dan mudah digunakan masyarakat Indonesia.

Namun, keberadaan standar nasional ini justru menimbulkan tantangan tersendiri bagi pelaku usaha dari luar negeri. Sistem yang dirancang untuk kebutuhan dalam negeri dianggap kurang fleksibel untuk diintegrasikan dengan sistem pembayaran internasional yang sudah mapan.

Tak hanya itu, USTR juga menyoroti pembatasan terhadap kepemilikan asing dalam sektor sistem pembayaran di Indonesia. Contohnya, kepemilikan asing pada perusahaan pelaporan kredit swasta dibatasi maksimal hanya 49 persen.

Sementara itu, perusahaan penyedia layanan pembayaran non-bank boleh dimiliki asing hingga 85 persen, namun hak suaranya tetap dibatasi hingga 49 persen. Di sisi lain, untuk perusahaan yang bergerak di infrastruktur sistem pembayaran (backend), kepemilikan asing bahkan hanya boleh sampai 20 persen saja.

BACA JUGA:Diakui Dunia, Layanan Wealth Management BRI Raih Penghargaan Internasional dari Euromoney

BACA JUGA:Dorong UMKM Go Global, BRI Bawa UMKM Binaan Ikuti Pameran Internasional FHA-Food & Beverage 2025 di Singapura

Kebijakan ini menurut USTR sangat membatasi ruang gerak investor asing yang ingin ikut serta dalam ekosistem keuangan digital Indonesia. Mereka menganggap adanya batasan semacam itu bisa memperlambat arus masuk investasi serta adopsi teknologi keuangan terbaru.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: