Raung Silago dan Pagar Laut, Teater yang Menyentil Luka Ekologis dan Ketimpangan Sosial di Laut
Pertunjukan teater Raung Silago dan Pagar Laut di Gedung Dekranasda Banjarnegara. Pujud Radarmas.-Pujud Andriastanto/Radar Banyumas-
BANJARNEGARA, RADARBANYUMAS.CO.ID - Panggung Gedung Dekranasda Banjarnegara pada Sabtu malam (31/5) menjadi saksi bagaimana seni teater bisa menyuarakan kemarahan ekologis dan kepedihan nelayan kecil.
Dua pertunjukan teater lakon Raung Silago dari Teater Lentera Jepara dan monolog Pagar Laut dari Dewan Kesenian Banjarnegara menyulut tepuk tangan dan keheningan dari ratusan penonton yang larut dalam kisah tragis lautan yang dirampas.
Lakon “Raung Silago” tampil garang selama 90 menit. Dibawakan oleh Teater Lentera Jepara, pementasan ini menggambarkan alegori tentang kehancuran dunia bawah laut akibat kerakusan penguasa.
Mengambil latar kekuasaan fiktif Kaisar Pom Pom, para kroco penguasa digambarkan merusak ekosistem laut lewat penambangan pasir, alat tangkap yang brutal, hingga limbah manusia yang menenggelamkan kehidupan.
BACA JUGA:Pemeriksaan Ketat Hewan Kurban di Banjarnegara Jelang Iduladha, Waspadai Hewan dari Luar Daerah
“Silago, tokoh utama dalam lakon ini, mencoba melawan. Tapi ia terjebak dalam sistem yang lebih besar dari dirinya,” ujar sutradara pertunjukan, dalam diskusi usai pentas. Kisah ini menjadi gambaran satire tentang manusia yang melawan sistem eksploitatif, tapi akhirnya justru ditelan oleh kekuasaan yang tak terjamah.
Tak kalah menggetarkan, Monolog “Pagar Laut” yang dibawakan Dewan Kesenian Banjarnegara menyentuh sisi paling humanis dari krisis ekologi: nasib nelayan kecil.
Dibuka dengan potret kehidupan sederhana para nelayan, naskah ini berubah drastis saat kebijakan pagar laut diterapkan kebijakan yang mengklaim melindungi laut, tapi justru membatasi akses nelayan tradisional dan memberi ruang lebih luas bagi kapal-kapal besar.
“Kami hanya ingin melaut, seperti bapak kami, dan bapak dari bapak kami. Tapi kini laut bukan lagi rumah, melainkan penjara,” kutip monolog dalam adegan klimaks, saat jaring yang semula alat pencari nafkah berubah menjadi simbol penjerat harapan.
BACA JUGA:Buaya Muara Terjebak Perangkap Ikan Nelayan
Kepala Dinas Pariwisata Banjarnegara, Tursiman, mengapresiasi pementasan tersebut, terutama sebagai bentuk seni yang menyuarakan realitas. Ia berharap seni teater bisa menjadi ruang untuk membangun karakter dan menggugah kesadaran sosial masyarakat.
“Seni teater tradisional adalah bagian dari identitas budaya. Jika dikembangkan dengan baik, bisa menjadi medium edukatif dan juga magnet wisata,” ujarnya.
Senada, Ketua Dewan Kesenian Daerah Banjarnegara, Ismawan Setya Handoko, menilai kehadiran Teater Lentera dari Jepara menjadi pemantik kualitas bagi seniman lokal. Ia juga menegaskan rencana menjadikan Balai Budaya Banjarnegara sebagai pusat seni pertunjukan.
“Kami ingin Banjarnegara punya panggung yang hidup, di mana generasi muda bisa berekspresi lewat teater dengan tema-tema yang relevan dan kuat,” katanya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


