Budaya Sakral! Kirab Kebo Bule di Keraton Solo, Malam 1 Suro
Budaya Kirab Kebo Bule di Solo, Malam 1 Suro.-joss.co.id-
RADARBANYUMAS.DISWAY.ID - Saat menghadapi Tahun Baru Hijriah atau biasa dikenal sebagai perayaan malam 1 Suro, masyarakat Jawa khususnya Solo merasakan kesan mendalam yang sarat dengan adat sakral.
Malam 1 Suro tidak hanya dianggap sebagai pergantian tahun baru islam, tetapi juga sebagai momen yang penuh dengan tradisi khusus termasuk kirab kebo bule.
Kirab kebo bule merupakan salah satu tradisi yang melekat erat pada malam 1 Suro, Ritual kirab Kebo Bule yang diadakan di Keraton Surakarta, menjadi salah satu acara adat yang unik dan penting bagi masyarakat Solo.
Karena Ritual kirab Kebo Bule ini merupakan bagian utama dari perayaan malam 1 Suro, Melalui prosesi kirab masyarakat Solo menghormati dan memperingati momen-momen bersejarah.
BACA JUGA:Hari Batik Nasional, Cara Terbaik Merayakan Keindahan dan Warisan Budaya Indonesia
BACA JUGA:Mengulik Filosofi Begalan Banyumas, Budaya yang Masih Lestari Hingga Kini
Selain itu perayaan ini juga untuk memupuk nilai-nilai kebudayaan dan mengajarkan nilai spiritual yang harus diwariskan dari generasi ke generasi.
Kirab Kebo Bule ini adalah suatu perwujudan penghargaan terhadap tradisi dan warisan nenek moyang.
membangun rasa solidaritas, serta merayakan kebersamaan dalam kepercayaan dan keyakinan yang mengikat masyarakat Solo.
Selain itu, ritual kirab di Keraton Surakarta mencerminkan penghormatan terhadap leluhur dan keinginan untuk memulai tahun baru dengan hati yang tulus dan hidup yang berkah.
BACA JUGA:Budaya Jamasan Pusaka Museum Soegarda, Menjaga Asa Merawat Peninggalan Sejarah!
BACA JUGA:Budaya Begalan dalam Tradisi Pernikahan Masyarakat Banyumas
Ritual Kebo Bule ini menjadi telah menjadi budaya dalam memandu masyarakat Jawa untuk memasuki Tahun Baru Hijriah.
Dengan rasa semangat penuh pengabdian kepada keraton Solo dan rasa syukur kepada tuhan atas anugerah hidup di tahun yang baru.
Sejarah Budaya Kirab Kebo Bule
Asal usul perayaan malam 1 Suro bermula pada abad ke-17, saat Sultan Agung Hanyokrokusumo memerintah Kerajaan Mataram.
Pada masa tersebut, sultan melakukan penyesuaian penanggalan Hindu, yang dikenal sebagai penanggalan Saka, menjadi penanggalan Jawa.
BACA JUGA:Alat Musik Gondolio sebagai Simbol Kebudayaan Banyumas yang Perlu Diabadikan
BACA JUGA:Keris Senjata Legendaris dan Mistis Warisan Asli Budaya Indonesia
Makna sejarah perayaan malam satu Suro berasal dari tekad keinginan Sultan Agung untuk menggalang persatuan di antara rakyatnya.
Tujuannya adalah mengajak seluruh rakyat untuk bersatu dan melawan Belanda di Batavia, serta menginginkan penyatuan seluruh Pulau Jawa.
Sultan Agung Hanyokrokusumo berkeinginan agar rakyatnya tetap bersatu tanpa terpecah belah, terutama berdasarkan kepercayaan agama.
Keinginan Sultan ingin menggabungkan kelompok santri dalam kesatuan, menciptakan semangat solidaritas yang kuat di kalangan rakyat.
BACA JUGA:Kelebihan Kenthongan Sebagai Alat Musik Warisan Budaya Lokal Banyumas
BACA JUGA:Tarian Ebeg, Salah Satu Warisan Budaya Kebanggan Warga Banyumas
Prosesi Adat Kirab Kebo Bule
Ritual kirab Malam Satu Suro dilaksanakan setiap tahun pada malam sebelum 1 suro atau sebelum malam tahun baru islam.
Tradisi ini telah menjadi bagian dari perayaan selama berabad-abad dan diwariskan secara turun-temurun di Solo.
Partisipan dalam Ritual Kirab Malam Satu Suro di Keraton Surakarta melibatkan ribuan orang, termasuk anggota keluarga keraton, kerabat, abdi di wilayah Solo Raya, dan masyarakat umum.
Dalam acara kirab ini, melibatkan peran penting "kebo bule" yang merupakan cucuk lampah kirab, dianggap sebagai keturunan dari Kebo Kyai Slamet.
BACA JUGA:Kentongan Banyumas: Warisan Budaya Lokal yang Harus Dilestarikan
BACA JUGA:Sejarah Kentongan di Banyumas: Budaya Kebanggaan!
Sehingga menjadikannya sebagai hal sakral yang tidak boleh dilewatkan ketika membahas ritual kirab Malam Satu Suro di Keraton Surakarta.
Kebo bule bukanlah sekadar kerbau biasa, namun dianggap sebagai warisan yang sangat berharga bagi Sri Susuhunan Pakubuwono II, yang diberikan oleh Bupati Ponorogo.
Kerbau ini diserahkan kepada Sri Susuhunan Paku Buwono II bersama dengan pusaka bernama Kyai Slamet, dan oleh karena itu, dikenal sebagai Kebo Kyai Slamet.
Kebo bule yang saat ini berada di kompleks keraton merupakan keturunan dari Kebo Kyai Slamet yang telah ada selama berabad-abad.
BACA JUGA:Kesenian Ebeg: Budaya Banyumasan yang Aktraktif
BACA JUGA:Pawai Budaya Dipadati Ribuan Warga, Peserta Tampilkan Berbagai Seni dan Budaya
Semua peserta ritual kirab mengenakan pakaian berwarna hitam, mencerminkan kekhusyukan dan tradisi yang dijunjung tinggi dalam acara tersebut.
Saat prosesi kirab berjalan peserta kirab tidak boleh mengeluarkan sepatah kata pun, sebagai bentuk perenungan diri.
Hal ini menjadi refleksi atas tindakan baik dan benar yang telah dilakukan sepanjang setahun sebelumnya.
Sesuatu yang unik setelah selesainya ritual Kirab Kebo Bule adalah banyak masyarakat yang mengambil kotoran dari kebo bule.
Bagi sebagian orang, meyakini bahwa mengambil kotoran kebo bule akan membawa berkah dan kemakmuran untuk menjalani tahun yang baru. (aef/*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: