Bangun Lapas, Tetap Revisi PP Remisi

Bangun Lapas,  Tetap Revisi PP Remisi

Buntut Sering Ricuhnya Napi JAKARTA-  Sejumlah opsi mengurai problematika pengelolaan lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) terus dilakukan Kementerian Hukum dan HAM. Pembangunan penjara akan menjadi solusi jangka panjang. Sementara untuk shortcut-nya dipilih merevisi peraturan pemerintah (PP) 99 / 2012 yang mengatur pengetatan remisi. [caption id="attachment_104047" align="aligncenter" width="960"]KONDUSIF. Aktifitas para narapidana di Lapasustik Gintung Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon tampak kondusif meskipun adanya kelebihan jumlah napi yang berada disana. KONDUSIF. Aktifitas para narapidana di Lapasustik Gintung Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon tampak kondusif meskipun adanya kelebihan jumlah napi yang berada disana.[/caption] Apapun opsi yang bakal diambil pemerintah, pelaksanaannya tentu tidak mudah. Misalnya pembangunan lapas baru yang kini danannya telah disiapkan sebesar Rp 1 triliun. Dana sebanyak itu untuk membangun tiga lapas di wilayah Jakarta, Medan dan Pulau Nusakambangan. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengatakan uang tersebut sifatnya dana mendesak untuk mengatasi masalah yang krusial. "Uang kita terbatas untuk jadi tidak bisa membangun sekalian di banyak tempat,'' kata Yasonna usai memimpin teleconference dengan para Kepala Lapas se-Indonesia di Gedung Imigrasi, kemarin. Pembangunan tiga lapas itu telah melalui kajian. Termasuk melihat over kapasitas penjara di wilayah tersebut beserta tingkat kriminalitasnya. Lapas baru di Medan, Jakarta dan Nusakambangan itu nantinya dimanfaatan untuk program redistribusi napi. Para narapidana di lapas di sekitar Jakarta, Medan, Jawa Tengah dan Jawa Timur akan menempati lapas-lapas baru tersebut. "Jawa Timur kan banyak yang overload. Nanti kita pindahkan ke lapas yang baru di Nusakambangan,'' ucapnya. Dia berharap tiap tahun Kemenkum HAM mendapatkan anggaran untuk menambah lapas baru maupun memperluas lapas yang ada. Sehingga redistribusi napi di banyak tempat bisa dilakukan dengan baik. ''Tapi menambah lapas itu juga bukan solusi yang kuat. Harus diikuti program lain juga,'' kata politisi PDIP itu. Menurut dia, percepatan narapidana berbaur ke masyarakat juga perlu dilakukan. Baik melalui pemberian remisi maupun pembebasan bersyarat. ''Misalnya orang dihukum empat tahun, sudah menjalani dua tahun. Mendapatkan remisi sedikit-sedikit kan tidak apa-apa,'' jelasnya. Hal itu menurut dia perlu, terutama untuk narapidana narkoba yang bukan berstatus bandar. Oleh karena itu, Yasonna tetap akan mendorong revisi PP No. 99 / 2012. Yasonna menilai PP yang dibuat pendahulunya itu bertentangan dengan UU No. 12 / 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam UU itu, setiap warga binaan atau narapidana berhak mendapatkan remisi. Sementara dalam PP 99 / 2012, narapidana kasus terorisme, narkoba dan korupsi pemberian remisinya diperketat. Misalnya mereka tak bisa mendapatkan remisi jika tak memperoleh status justice collaborator (JC) dari penegak hukum. PP itu sendiri diinisiasi oleh mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Semangatnya saat itu untuk memberikan efek jera agar orang tak menyalagunakan narkoba, melakukan korupsi dan tindakan teror. Rencana revisi PP itu selama ini menimbulkan resistensi di kalangan penggiat anti korupsi. Mereka khawatir sejumlah koruptor menjadi penumpang gelap revisi PP yang berlaku sejak Desember 2012 itu. ''Saya paham itu, makanya ya selama ini ngajak berantem ayo duduk bersama. Mendiskusikan ini, saya akan paparkan efek dari aturan itu terhadap kondisi lapas kita,'' kata Yasona. Yasonna mengaku akan tetap memperhatikan pengecualian extra ordinary crime dalam merevisi PP tersebut. Namun menurut dia harus ada klasifikasi kapan orang layak diberi remisi dan kapan tidak. Dia mencontohkan ada banyak narapidana kasus narkoba yang statusnya hanya pengguna dengan barang bukti alat pakai. Hanya karena PP 99 berlaku, orang tersebut tidak mendapatkan remisi. Padahal pembinaan di lapas telah diikuti semua. ''Bisa sakit jiwa yang begituan kalau tidak diberi remisi. Mereka melakukan kejahatan itu karena produk sosial, bukan iblis yang tiba-tiba ada di tengah masyarakat,'' tegas Yasonna. Mantan pimpinan KPK sekaligus ahli hukum pidana, Indriyanto Seno Adji mengatakan penyelesaian persoalan over kapasitas tergantung policy dari pemerintah. Dia melihat PP 99 memang kerap menimbukan kericuhan di lapas karena napi merasakan mendapatkan diskriminasi. ''Diskriminasi kebijakan baik terhadap pelaku, proses pemidanaan dan jenis delik memang tidak dibenarkan,'' katanya. Namun Indriyanto memberikan catatan, revisi harus mengatur persyaratan yang lebih ketat. Tujuannya agar pemberian remisi tak mudah dimainkan. Senada dengan Indriyanto, pakar hukum asal Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakir mengatakan setiap narapidana memang harusnya memiliki hak mendapatkan remisi. Dia setuju kalau PP 99 memang diskriminatif. ''Coba dibayangkan, orang yang korupsi Rp 50 juta tidak mendapatkan remisi. Sedangkan yang melakukan pembunuhan keji bisa dapat,'' katanya. Muzakir mengusulkan selain merevisi aturan terkait pemberian remisi, Kementerian Hukum dan HAM juga membuat produk hukum yang mengatur kurikulum pembinaan para napi. Sebab selama ini pembinaan di lapas terhadap semua rutan tak dibedakan. Padahal kebutuhan pembinaannya tentu berbeda. ''Masa kalau napi koruptor atau yang lainnya kaya dilatih keterampilan wirausaha,'' katanya. Dia juga berharap persoalan over kapasitas lapas diselesaikan secara komprehensif. Menurut dia, penegak hukum baik polisi, jaksa maupun hakim harus memahami filsafat pemasyarakatan. Dengan tahu kondisi dan filsafat pemasyarakatan, penegak hukum diharapkan bisa lebih variatif mengajukan tuntutan atau menjatuhkan vonis. ''Kalau tidak ya seperti ini, akan selalu berujung pada penjara,'' katanya. Indriyanto Seno Adji juga setuju perlunya pidana alternatif untuk mengurangi kesesakan penjara. ''Kerja sosial itu positif sekali, asal diterapkan dengan benar,'' ujar pria yang menjadi pengajar di Sekolah Perwira Polisi ini. Untuk menghindari penyimpangan hukum harus dibuat klasifikasi delik yang bisa dijatuhi hukuman kerja sosial. Peneliti dari Central for Detention Studies (CDS) Gatot Goie mengatakan, pemerintah memang harusnya memikirkan solusi jangka pendek untuk menyelesaikan persoalan over kapasitas lapas. Pembangun lapas maupun rutan baru merupakan solusi jangka panjang. Gatot menyebut pembangung lapas baru juga membutuhkan dana yang cukup besar. Berdasarkan perhitungan pembangunan lapas yang disusun pada 2010, 1 kamar hunian untuk narapidana nilainya Rp 100 juta - Rp 150 juta. Nah jika pemerintah menyiapkan lapas dengan kapasitas 1000 napi, maka uang yang dibutuhkan sekitar Rp 100 miliar - Rp 150 miliar. ''Itu untuk sarana yang standar loh, belum dihitung untuk yang menggunakan teknologi super maksimum,'' ujarnya. Oleh karena itu dia memberikan saran agar dicari jalan keluar yang lebih ''murah'' dan bijaksana. Salah satu usulannya ialah tidak menempatkan para pecandu narkoba di dalam lapas. ''Sudah di dalam lapas, tak dapat remisi lagi,'' tegasnya. Sementara itu, anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mendukung rencana pembangunan dan penambahan lapas dan rutan sebagaimana rencana Menkum HAM. Urgensi pembangunan lapas adalah untuk mengatasi over kapasitas yang saat ini berlangsung hampir di semua lapas. Masalah over kapasitas itu menjadi salah satu penyebab terjadinya kerusuhan di sejumlah lapas beberapa saat terakhir. ”Bukan hanya di Banceuy, peristiwa Bengkulu (Lapas Malabero), kemudian Kuala Simpang (Aceh), kerobokan Bali, sudah ada empat peristiwa di empat penjara,” kata Masinton saat dihubungi. Menurut Masinton, pemicu kerusuhan di lapas bermacam-macam. Penyebabnya bisa karena masalah antar tahanan, tahanan dengan oknum penjaga lapas, bahkan juga penetapan peraturan terkait remisi. ”Itu menjadi bagian dari evaluasi,” kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu. Menurut Masinton, problem yang terjadi di lapas adalah persoalan hilir. Penyelesaian masalah ini harus komprehensif, yakni menangani problem hulu. Dalam hal ini, DPR dan Pemerintah harus membenahi sistem peradilan dan sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia. Tidak ada salahnya jika Indonesia merujud pada sistem yang dibangun Prancis dan Selandia Baru, yakni reformasi di tubuh lapas, pembenahan SDM, dan penerapan restorative justice. "Harus ada nanti kategorisasi pemidanaan, mana yang dipenjara, mana yang tahanan rumah, mana yang pidana pekerjaan sosial, mana pidana ganti rugi kepada korban plus pidana sosial. Alternatif-alternatif ini harus dilakukan di Indonesia," ujarnya. Masinton menilai, prinsip pemidanaan bukan untuk membalas kejahatan, tetapi melakukan pembinaan terhadap warga.(gun/bay)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: