Tolak 90 Persen Isi Revisi UU KPK

Tolak 90 Persen Isi Revisi UU KPK

KPK_besarJAKARTA – Upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus terjadi. Kali ini racun pembunuh lembaga antirasuah itu tengah disiapkan lagi melalui revisi UU KPK. Pimpinan KPK pun kompak menolak karena menganggap 90 persen isi revisi justru melemahkan instansinya. ’’Kami melihatnya 90 persen melemahkan. Makanya kami akan sekuat tenaga mencegah hal itu terjadi,’’ ucap Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di Gedung KPK kemarin (3/2). Laode mengaku hari ini (4/2) akan mengirim tim untuk membahas draf revisi UU KPK ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Tim tersebut ditugaskan mengusulkan hal-hal yang bersifat penguatan KPK. Laode mengaku telah membaca draf yang beredar dari DPR. Salah satu yang dia permasalahkan ialah kewajiban izin penyadapan pada Dewan Pengawas dan pembatasan penanganan perkara berdasarkan kerugian negara. ’’Ini sangat tidak cocok dengan apa yang kita kerjakan di dalam,’’ ujar peraih gelar doktor dari University of Sydney itu. Dia juga tak setuju dengan adanya pasal tentang kerugian negara yang bisa disidik KPK. Sebagaimana diketahui, dalam draf yang beredar KPK diatur hanya bisa menangani kasus korupsi dengan kerugian negara di atas Rp 25 miliar. Laode menyebut hal itu tak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Menurut dia, harusnya penindakan bukan diatur dari besaran uang. Tapi juga harus dilihat dari aktor yang melakukan korupsi. ’’Anggap saja yang melakukan korupsi pejabat tinggi tapi nilainya kurang dari Rp 1 miliar. Padahal dengan kedudukannya dia kan harusnya tidak boleh melakukan korupsi,’’ jelasnya. Sementara itu peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, rakyat sebenarnya telah menunjukan ketidaksetujuannya terhadap revisi UU KPK. Penolakan itu tercermin dari penandatanganan petisi yang sudah lebih 50 ribu. ICW mencatat syahwat sejumlah orang untuk membunuh KPK melalui UU sudah terjadi sejak 2010. ’’Kami melihat dalam sejarahnya ini regulasi yang paling alot proses pengusulan dan pembahasannya,’’ ujarnya. Upaya ’’pembunuhan berencana’’ ini awalnya terjadi pada 26 Oktober 2010. Ketika itu Komisi Hukum DPR mulai mewacanakan revisi UU KPK. Hal itu lantas ditindaklanjuti dengan keluarnya surat usulan RUU KPK pada 24 Januari 2011. Pengusulnya Wakil Ketua DPR dari Partai Golkar, Priyo Budi Santoso. Dia menyampaikan surat ke Ketua Komisi III DPR Benny K Harman. Pada surat tersebut, Priyo meminta Komisi III menyusun draf naskah akademik dan RUU KPK. ’’Ketika itu ada yang ngotot agar revisi masuk Prolegnas prioritas 2011,’’ ujar Emerson. Saat itu upaya memperlemah melalui sejumlah pasal juga terlihat. Diantaranya pengaturan penyadapan dan adanya fokus penindakan untuk kasus dengan ukuran tertentu. Singkat cerita, saat itu pemerintah melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan tegas mengatakan lebih baik dilakukan peningkatan upaya pemberantasan korupsi daripada menghabiskan waktu melakukan revisi. Dengan tegas, SBY menyatakan dukungannya terhadap KPK. Pada 16 Oktober 2012, panitia kerja (panja) revisi pun akhirnya menghentikan pembahasan revisi. Nah, ketika kursi eksekutif dan legislatif berganti, syahwat memperlemah KPK muncul greng lagi. Pada 9 Februari 2015, keluar Surat Keputusan DPR tentang Prolegnas yang ditandatangani Ketua DPR Setya Novanto yang lagi-lagi dari Partai Golkar. Bedanya, kali ini Presiden Joko Widodo kurang tegas dalam menyikapi revisi UU KPK. Awalnya pada 19 Juni 2015, Jokowi menyatakan membatalkan rencana pemerintah membahas Revisi UU KPK. Tapi, sikap Jokowi berubah, pada 13 Oktober 2015 dia hanya menyatakan pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasan. Puncaknya, 27 November 2015 Baleg DPR dan Menkum dan HAM Yasonna H. Laoly menyetujui revisi UU KPK menjadi prioritas 2016. Hanya Partai Gerindra yang menolak hak tersebut. Emerson mengatakan ICW mencatat setidaknya ada 17 hal krusial dalam draf revisi UU KPK yang sifanya melemahkan. Sementara itu di tempat terpisah, pemerintah berkilah belum menerima draf revisi UU KPK dari DPR. Meski masih menunggu draf resmi, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sudah menunjukkan sinyal akan banyak sependapat dengan DPR. ”Dari empat poin itu, ada beberapa hal yang lumayan oke,” kata Yasonna, saat ditemui di Komplek Parlemen, Jakarta, kemarin (3/2). Dia menyebutkan, salah satu yang diperlukan KPK adalah keberadaan Dewan Pengawas. Tugasnya, memastikan kinerja KPK tetap baik. ”Jadi, ini oke, dewan pengawas ini diperlukan,” kata menteri berlatarbelakang politisi PDIP tersebut. Hal lain dalam draf yang layak untuk dipertimbangkan, lanjut dia, adalah tentang surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Bahwa, secara garis besar, KPK harus memiliki kewenangan untuk mengajukan SP3. Menurut Yasonna, keberadaan SP3 tersebut selayaknya ada demi hukum. Dia lalu menujukkan kemungkinan kasus tentang seorang tersangka yang menderita stroke atau meninggal dunia. ”Kan tidak baik kalau tidak ada SP3. Begitupun dengan praperadilan, harus diatur pula,” tambahnya. Saat disinggung, kalau poin tersebut salah satu yang tidak dikehendaki KPK, dia meminta agar semua pihak tidak buru-buru menolak. Dia menekankan kalau draf yang ada harus benar-benar dipertimbangkan terlebih dulu. ”Lihat dulu barangnya, sembarangan SP3 juga tidak bisa. Tapi, kalau demi hukum, misal dipraperadilankan, kan harus dihentikan,” tandasnya. Pada 1 Februari lalu, draf revisi UU KPK telah dibahas dalam rapat harmonisasi Badan Legislasi (Baleg) DPR. Draf itu diusulkan oleh 45 anggota dewan dari enam fraksi. Mereka adalah 15 anggota dari Fraksi PDIP, 11 anggota Fraksi Partai NasDem, 9 anggota Fraksi Partai Golkar, 5 anggota Fraksi PPP, 3 anggota Fraksi Partai Hanura, dan 2 anggota Fraksi PKB. Dalam draf yang baru itu, terdapat empat poin dalam UU KPK yang akan direvisi. Selain dewan keberadaan Dewan Pengawas dan SP3, ada pula poin tentang pengaturan penyadapan. Dan, satu lagi yang lain adalah larangan bagi KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen.(gun/dyn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: