Menenun Asa dari Limbah Kapas: Jejak Estetika Benang Antih Tumanggal yang Mendunia
Surati (kerudung ungu) menunjukan proses mengantih benang Tumanggal.-Alwi Safrudin/Radarmas-
DI sebuah sudut Desa Tumanggal, Kecamatan Pengadegan, suara derit kayu dari alat tenun manual masih terdengar ritmis. Di tengah gempuran mesin pabrik yang serba cepat, Surati (60) tetap setia memutar jantra. Baginya, setiap helai benang bukan sekadar komoditas, melainkan helaian napas sejarah yang diwariskan sang ayah, Wastarja.
ALWI SAFRUDIN, Purbalingga
Cerita ini bermula dari masa penjajahan Jepang, saat warga Tumanggal terpaksa menenun pakaian sendiri untuk bertahan hidup. Namun, titik balik sesungguhnya terjadi pada tahun 1982. Sebuah pertemuan tak sengaja di sebuah pameran pembangunan di Kawedanan (kini Rumah Dinas Wakil Bupati) mengubah segalanya.
Kadir, seorang arsitek tekstil asal Pekalongan, terpikat pada gulungan benang kasar yang disebut Lawe di stan Kecamatan Kejobong. Rasa penasaran membawanya menelusuri asal benang itu hingga bertemu Wastarja, yang saat itu menjabat Kepala Desa Tumanggal.
"Bapak saya diminta mengumpulkan warga untuk diberdayakan mengantih benang. Dari sanalah, Tumanggal mulai dikenal sebagai jantung benang antih," kenang Surati, generasi kedua perintis usaha ini.
BACA JUGA:Kisah Perjuangan R dan N, Anak Penyandang HIV di Purbalingga
Bahan bakunya unik: limbah kapas dari pabrik di Batang dan Semarang. Kapas yang sudah tak mampu dipintal mesin modern justru menemukan "nyawa" keduanya di tangan para pengrajin Tumanggal. Dengan alat manual bernama jantra, limbah berkualitas impor ini disulap menjadi benang yang kuat dan berkarakter.
Kini, warisan itu meluas. Tak kurang dari 700 pengrajin tersebar di lima desa: Tumanggal, Tegalpingen, Tetel, Pengadegan, Bedagas, dan Karangjoho. Uniknya, meski dikerjakan ratusan tangan, setiap helai benang memiliki tekstur yang berbeda.
"Justru itu keistimewaannya. Hasil tangan manusia tidak akan pernah sama persis dengan mesin, dan di situlah letak seninya," ujar Nanik Risyani, putri Surati yang kini menjadi motor penggerak generasi ketiga.
Jika dulu benang Tumanggal hanya berakhir menjadi kain kluwung atau kain gendong, di tangan Nanik, produk ini naik kelas. Sejak tahun 2020, mereka mulai memproduksi barang jadi seperti sarung bantal, napkin, selimut, hingga kap lampu.
BACA JUGA:Mengenal Lebih Dekat Pedot Kodok, Permainan Anak Tradisional Asli Purbalingga
Langkah berani ini membuahkan hasil manis. Pasar mancanegara justru lebih mengapresiasi keunikan produk handmade ini dibandingkan pasar lokal yang seringkali terbentur harga.
"Orderan pertama barang jadi justru datang dari Amerika Serikat setelah saya ikut pameran di Yogyakarta. Dari sana, pasar terbuka ke Yunani, Maldives, Turki, Prancis, hingga Australia," ungkap Nanik.
Di balik kemilau ekspor tersebut, usaha ini menjadi penyelamat ekonomi warga. Saat badai PHK melanda industri rambut palsu di Purbalingga, warga kembali ke akar mereka: menjadi pengrajin benang. Dalam sebulan, sekitar 5 ton kapas mampu dipintal oleh tangan-tangan terampil warga desa. (alw)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:

