Filosofi Ebeg, Unsur Dakwah Dibalik Kesenian Daerah

Filosofi Ebeg, Unsur Dakwah Dibalik Kesenian Daerah

Filosofi Ebeg-Website mediahusbandry.com-

RADARBANYUMAS.DISWAY.ID - Filosofi Ebeg tentu menjadi informasi menarik bagi pecinta kesenian Banyumasan tersebut. Bagaimana tidak, salah satu pertunjukan yang sangat ramai dikunjungi masyarakat yakni Ebeg.

 

Seolah punya ekosistem sendiri, Ebeg juga memiliki grup di media sosial seperti Facebook demi untuk membagikan informasi di mana ada Ebeg yang akan digelar.

 

Sebagai pertunjukan seni, tentu Ebeg memiliki filosofi yang sangat kental terlebih karena diwariskan oleh Sunan Kalijaga.

 

Berikut informasi mengenai filosofi Ebeg yang telah Radarmas rangkum dari berbagai sumber;

 

BACA JUGA:Mengenal Lebih Dalam Kesenian Ebeg, Kuda Lumping Asal Banyumas yang Bisa Bikin Mendem

BACA JUGA:Ini Sejarah Kesenian Tari Ebeg atau Kuda Lumping Khas Banyumas

 

Asal-usul Ebeg

 

Sebelum masuk ke filosofi Ebeg itu sendiri, tentu perlu menarik ke masa lampau di mana asal-usul Ebeg mulai dikenal oleh masyarakat. Kesenian Ebeg pertama kali berkembang sejak terjadinya perang Diponegoro atau dikenal juga dengan sebutan de java oorlog, 1925-1930.

 

Pemain Ebeg setidaknya terdiri dari 5 sampai 8 penari yang diiringi oleh penayagan atau tim gamelan lengkap dengan sinden.

 

Tarian tersebut sebenarnya mengandung makna berupa dukungan dari masyarakat terhadap Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajahan Belanda.

 

Pada pementasan Ebeg, terdapat empat babak atau segmen. Yakni babak buto lawas yang dilakukan dua kali, berikutnya ada babak senterewe, dan babak begon putri.

 

BACA JUGA:Kesenian Ebeg: Budaya Banyumasan yang Aktraktif

BACA JUGA:Filosofi Grebeg Pagar Petilasan di Desa Plana, Maknanya Patut Dicontoh

 

Tarian Ebeg terbilang cukup sederhana karena tidak memerlukan koreografi yang rumit. Mereka hanya dituntut menari selaras satu sama lain dalam sebuah ritme yang disajikan oleh tim gamelan.

 

 

Sebagai salah satu pertunjukan masyarakat yang sangat digemari, Ebeg dikenal memiliki unsur magis karena pada babak tertentu ada adegan kesurupan yang bahkan diikuti oleh penonton-penonton yang dianggap memiliki indang.

 

Saat para penari dan penonton mulai kesurupan, mereka akan memakan beling, dedaunan, mengupas kelapa dengan gigi, hingga memakan dedhek atau kathul.

 

Tindakan tersebut dipercaya tidak akan melukai fisik dari orang yang sedang kesurupan. Tak jarang juga praktisi Ebeg meminta untuk dipecut baik bagian tangan dan tubuhnya.

 

BACA JUGA:Tiga Tahun Sempat Vakum, Tiga Gunungan Diarak Saat Grebeg Sura

BACA JUGA:Upacara Hari Pendidikan Nasional Diwarnai Dengan Tari Ebeg

 

Pementasan ebeg biasa dilakukan pada areal yang terbuka seperti lahan kosong atau lapangan. Kolaborasi alat musik tradisonal yang berada di tim gamelan yakni ada Gendhing pengiring, terdiri dari kendang, saron, kenong, gong, dan terompet.

 

Selain itu, ada instrumen yang digunakan penari, ada kostum lengkap dan kuda lumping. Adapun sesaji atau uba rampe yang disediakan dalam pementasan Ebeg antara lain bunga, pisang, kelapa muda, jajanan pasar, dll.

 

Lagu tradisional yang digunakan sebagai pengiring Ebeg yaitu seperti ricik-ricik, Tole-Tole, Waru Doyong, sekar gadung gudril, blendrong, lung gadung, cebonan, dll.

 

Pada formasi penari Ebeg, terdapat 1 orang sebagai penthul-tembem (pemimpin atau dalang) dan 7 orang sebagai pemain gamelan (niyaga).

 

BACA JUGA:Siswa SMP Negeri 1 Lumbir, Tidak Hanya Belajar Materi Soal Ebeg

BACA JUGA:Meriahkan Hardiknas, 240 Siswa-Siswi SMP N Lumbir Bakal Ngebeg Bareng

 

Untuk dalang tentu memiliki tanda khusus yaitu memakai topeng. Selain penari, dalam Ebeg juga terdapat Penimbun atau orang dapat membuat para penari kesurupan sekaligus menyembuhkannya.

 

Penimbun atau jika di Purbalingga dikenal sebagai dukun Ebeg akan menyembuhkan pemain yang mengalami kesurupan (trance) pada babak terakhir.

 

Apa Filosofi Ebeg?

 

Pada sebuah pagelaran Ebeg di Purbalingga, dihadiri budayawan bernama Imam Saefulloh. Menurutnya, filosofi Ebeg tak lepas dari ajaran para leluhur.

 

Ebeg dikemas oleh Sunan Kalijaga untuk menjadikan manusia lebih baik dan bermartabat. Gambaran yang tersirat di dalam Ebeg yaitu saat para penari kesurupan atau mendhem, mereka akan berjalan tak beraturan menabrak satu sama lain.

 

BACA JUGA:Lantik Paguyuban Ebeg Tingkat Kecamatan, Sadewo : Sudah Ada Rumah Lengger, Diharapkan Ada Rumah Ebeg di Banyum

BACA JUGA:Hari Jadi Banjarnegara ke 452 Akan Dimeriahkan 50 Grup Ebeg

 

Namun ketika menggunakan jaran atau anyaman bambu yang menyerupai kuda, mereka akan berjalan sesuai irama yang harmonis dari penayagan atau tim gamelan.

 

Jaran tersebut menurut Imam Saefulloh diibaratkan sebagai ajaran yang bernama Islam atau Ingsun Sejatining Ana Ing Menungsa yang mana mengandung ketauhidan tingkat tinggi serta dakwah.

 

Demikian informasi mengenai filosofi Ebeg, semoga dapat menambah wawasan bagi pembaca Radarmas di manapun berada. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: