Budayawan Gondrong Pertama yang Duduk di Birokrasi

Budayawan Gondrong Pertama yang Duduk di Birokrasi

[caption id="attachment_95125" align="aligncenter" width="100%"] Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid saat berada di Gedung Kementrian Kebudayaan, Jakarta, Selasa (5/1/2015). FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS[/caption] Lebih Dekat dengan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid Umumnya, kursi direktur jenderal (dirjen) diisi oleh pejabat karir. Tapi, kemendikbud mendobrak tradisi tersebut. Hilman Farid menjadi budayawan pertama yang menempati posisi tersebut. M. HILMI SETIAWAN, Jakarta KAMIS, 31 Desember 2015, merupakan momen spesial bagi Hilmar Farid. Hari itu dia dilantik Anies Baswedan sebagai Dirjen Kebudayaan Kemendikbud. Ucapan selamat bertebaran di medsos, baik Twitter maupun Facebook. Terutama dari para budayawan yang mendapat harapan baru dengan ditunjuknya Hilmar sebagai Dirjen Kebudayaan. Jarang sekali penunjukan Dirjen instansi kementerian yang mendapat sambutan seperti Hilmar. Sebab, Hilmar menjadi budayawan pertama non-PNS yang ditunjuk duduk di birokrasi. Sebuah harapan bagi budayawan untuk mendapat perhatian yang lebih baik dari pemerintah melalui Kemendikbud. Pria kelahiran Bonn, Jerman, 8 Maret 1968, itu tidak sendirian dilantik sebagai pejabat Kemendikbud. Jajaran eselon I lain yang dilantik adalah Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Dadang Suhendar serta Staf Ahli Mendikbud Bidang Pendidikan Karakter Arie Budhiman. Ditemui di ruangannya di kompleks Kemendikbud, Senayan, Jakarta, kemarin petang, Hilmar mengaku baru menghadiri kegiatan bersama rekan-rekan budayawan. "Maaf, ini jadwalnya banyak sekali. Persiapan WCF (World Culture Forum, Red) yang digelar September nanti di Bali," ujarnya. WCF itu bakal menjadi event akbar pertama yang harus disukseskan Hilmar bersama jajarannya. Dia mengatakan, WCF tidak akan digarap jajaran PNS atau birokrat saja. Budayawan-budayawan dan pelaku seni dari seluruh Indonesia juga dilibatkan. Dalam kepemimpinannya, Hilmar mengidamkan melibatkan masyarakat umum lebih besar. Sebab, tutur dia, budaya itu berkembang di masyarakat. Dia tidak membatasi budaya hanya kegiatan pertunjukan atau aspek estetika. Agenda besar lain yang menunggu anak pasangan (almarhum) Agus Setiadi dan (almarhumah) Elsje Petronela itu adalah Europalia, festival yang digelar tahun depan. Dalam ajang tersebut Indonesia menjadi tamu kehormatan. Hilmar mengatakan, dalam Europalia itu, delegasi Indonesia akan manggung berkeliling Benua Biru (Eropa). "WCF maupun Europalia harus lancar. Pesan promosi kebudayaan Indonesia harus muncul," tutur Hilmar, lantas nyeruput kopi di meja kerjanya. Bicara soal ngopi, Hilmar mengaku sudah menjadi budaya. Dia bahkan menyebut seperti terlahir dari secangkir kopi. Hilmar menyatakan sudah pernah mencicipi kenikmatan hampir semua jenis kopi. Namun, lidahnya lebih nyantol dengan kopi Bali. Bagi dia, kopi dari Pulau Dewata itu paling nikmat. Ngomong-ngomong soal kopi, Hilmar sampai ingin membuat si hitam legam tersebut sebagai media promosi budaya. "Kopi tidak sebatas menjadi bagian dari khazanah kuliner Nusantara," kata dia. Lebih dari itu, kopi juga akan dijadikan duta budaya. Kopi akan disampaikan sekaligus dengan kisah-kisah kebudayaan yang melekat di dalamnya. Lalu, sambil sedikit merebahkan badan di sandaran kursi, Hilmar bercerita soal kisah hidupnya nyemplung ke dunia kebudayaan. Dia mengaku masuk ke kebudayaan bukan sebagai pelaku seni. "Soal kesenian, saya bisa sih main gitar," ucap dia. Tetapi, keterampilan bermain gitarnya masih belum masuk level untuk dipertunjukkan. Hilmar menceritakan, pada 1987 dirinya tercatat sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. Kemudian, memasuki awal 1990, Hilmar cenderung bergiat dalam diskusi-diskusi kebudayaan. Dia memfokuskan diskusi kebudayaan dari aspek sosial dan historinya. Masa-masa itu memang sedang lagi in diskusi tentang cultural studies. Topik diskusinya saat itu antara lain adalah perihal hegemoni. Khususnya hegemoni rezim Orde Baru. Dia mengaku begitu heran mengapa hegemoni Orde Baru begitu kuat. "Sampai orang mau mengeluarkan ekspresinya itu takut," herannya.     Memang saat itu sedang gencar pemberedelan media yang kritis dan sensor yang terlalu ketat. Di ujung diskusinya soal hegemoni Orde Baru tersebut, Hilmar sempat berpikir apakah masyarakat sendiri masuk dalam sistem penciptaan hegemoni itu. Sehingga hegemoni rezim Pak Harto begitu dijalankan masyarakat secara masif. Setelah lulus kuliah pada 1997, Hilmar tergabung dalam perkumpulan pers alternatif. Pers alternatif adalah perkumpulan orang yang merasa prihatin atas upaya pemberedelan media massa mainstream waktu itu. "Tapi, saya tidak sampai menjadi wartawan profesional di media massa," kata dia. Beberapa tahun kemudian, Hilmar bersama rekannya membuat wadah Jaringan Kerja Budaya. Di wadah tersebut Hilmar menerbitkan majalah bertajuk Media Kerja Budaya. Media itu berisi esai-esai dan tulisan ringan tentang kebudayaan. Hasil-hasil kajian kebudayaan masuk dalam media bentukan Hilmar tersebut. Tetapi, umur majalahnya tidak lama karena kesibukan pengurusnya. Akhirnya Hilmar bergabung dalam perkumpulan Praxis. Dia lantas ditunjuk sebagai ketua Praxis pada periode 2012-2016. Hilmar pun merasa mendapatkan momentum. Saat masa baktinya sebagai ketua Praxis selesai, Hilmar sekarang berfokus menjadi Dirjen Kebudayaan Kemendikbud. Praxis, cerita Hilmar, adalah perkumpulan 57 orang. Mereka berlatar budayawan dan praktisi di bidang lain seperti sosial dan pendidikan. Namun, dia menegaskan bahwa inti kajian Praxis ada di sektor kebudayaan. Hilmar menyadari bakal melalui tantangan yang besar dalam menjabat Dirjen Kebudayaan. Antara lain mengawal semangat revolusi mental dan membangun Indonesia dari pinggiran ala Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia menyatakan, revolusi mental dan pembangunan Indonesia tidak terlepas dari aspek kebudayaan. Apakah nanti tidak ada hambatan saat ngopeni para budayawan yang khas dengan "kebebalannya"? Hilmar sempat tersenyum. Dia menjelaskan, dirinya besar di lingkungan budayawan. Karena itu, dia optimistis bisa bekerja bersama-sama dengan para budayawan. Dia berjanji Kemendikbud bakal memfasilitasi penyediaan wahana bagi para budayawan dan seniman untuk berekspresi. Melihat di media online maupun di website pribadinya, Hilmar sering tampil dengan rambut gondrong. Tetapi, sekarang dia sudah tampil dengan gaya rambut pendek. Hilmar mengatakan, tidak ada alasan khusus dirinya mengubah tampilan rambutnya. "Sekarang ini rambut gondrong sudah tidak menjadi style lagi," tuturnya lantas tertawa. Dia mengungkapkan bahwa sudah sekitar dua tahun tidak lagi tampil dengan rambut gondrong. Terkait dengan sosok yang menginspirasi dalam hidupnya, Hilmar mengatakan bahwa salah satunya adalah Agus Setiadi, almarhum bapaknya. Bagi Hilmar, Agus adalah sosok ayah yang independen. Ketika masih bersekolah di SMA Lab School Jakarta, Hilmar sudah diajak ayahnya bekerja sebagai penerjemah buku-buku asing. "Awalnya hanya menjadi tukang ketik yang diorder bapak saya," kenang Hilmar. Tetapi, lama-kelamaan dia dipasrahi menggarap buku terjemahan sendiri. Oleh sang bapak, Hilmar diperkenalkan dengan penerbit-penerbit buku nasional. Di antara buku yang diterjemahkan Hilmar, buku tentang kisah hidup manusia lebih banyak. Antara lain kisah Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi. Ada juga buku terjemahan berjudul Zaman Bergerak. Buku itu terjemahan dari karya Takashi Shiraishi. Buku Zaman Bergerak tersebut dia terjemahkan ketika sudah duduk di bangku kuliah. Saking banyaknya buku yang sudah diterjemahkannya, Hilmar tidak bisa mengingat satu per satu. Dia menyatakan, niatnya hanya ingin berkontribusi bagi keilmuan bangsa Indonesia. Pengangkatan Hilmar sempat diiringi suara sumbang. Antara lain terkait dengan posisinya yang menjadi tim relawan Jokowi saat Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014. Saat itu Hilmar terlibat dalam pembahasan dan penyusunan semacam "GBHN"-nya kampanye Jokowi. Selain itu, soal sosok Hilmar yang non-PNS dan kini menjabat Dirjen (jabatan struktural birokrasi), semakin kencang berembus isu bahwa dia adalah titipan Jokowi. Namun, pria yang juga menjadi komisaris Krakatau Steel tersebut mengaku tetap akan fokus bekerja. Dia menyatakan diangkat sebagai Dirjen Kebudayaan melalui proses seleksi terbuka. Selain itu, tim seleksi objektif dalam melakukan penilaian. Dia bertekad menghadapi suara-suara miring tersebut dengan kerja maksimal di Kemendikbud. (*/c9/end)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: