Dua Tahun Pemerintah Tak Bergerak, Pedagang Pilih Bangun Sendiri

Dua Tahun Pemerintah Tak Bergerak, Pedagang Pilih Bangun Sendiri

Dua Tahun Pasar Sampang Kebakaran Sejak 1 Maret 2014 Setiap musibah banyak hikmahnya. Bagi pedagang pasar Sampang yang menjadi korban kebakaran, 1 Maret 2014 kemarin hikmahnya adalah semua kembali kepada kekuatan sendiri. Hal itulah yang menjadi spirit untuk bangkit kembali tanpa menunggu uluran tangan. DARYANTO, Sampang Lidah api yang menjulur panjang dan membakar 716 kios dan los Pasar Sampang pada 1 Maret 2014 lalu masih membekas bagi para pedagang. Meski sudah dua tahun, peristiwa yang menyesakan dada bagi 716 pedagang Pasar Sampang ini masih diingat betul. Para pedagang yang diajak bercerita tentang peristiwa kebakaran tersebut seperti ingin menagis kepada Radar Banyumas kemarin (1/3). Betapa tidak, sejak kebakaran hingga sekarang, belum ada kemajuan yang berati. Politik dan hukum yang membelit Pasar Sampang menjadi batu sandungan bagi para pedagang untuk mendapat uluran tangan. Uluran bantuan dari pemerintah selalu terhadang dengan satu kalimat berupa; mengandung konsekuensi hukum. Padahal, pemerintah semestinya menjadi pelindung. Bukan pembuat nestapa tak berujung. Hal-hal seperti itulah yang selalu membuat para pedagang terus menitikan air mata sambil tertatih untuk bertahan di “pengungsian sementara” selama dua tahun. Akibatnya, air mata yang hampir mengering selama dua tahun ini mengantar berubah menjadi air mata api yang setiap saat menyalak. Efeknya, pedagang perlahan-lahan bangkit dengan sisa-sisa asa yang masih ada. Desakan ekonomi yang setiap tahun terus menyeruak membuat para pedagang mencoba bangkit bersama. Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Sampang Marsono mengakui jika kondisi terakhir para pedagang korban kebakaran memprihatikan. Penghasilan yang terus menurun dan terbebani biaya sewa tempat setiap tahun selalu membuat pusing. “Setengah bulan setelah kebakaran sebenarnnya para pedagang sudah merasakan beban yang sangat berat,” kata dia menceritakan sejak awal Selain banyak dagangan yang ikut terbakar, lokasi pasar yang terbakar tidak bisa ditempati lagi. Satu bulan, dua bulan pedagang masih bertahan. Namun bulan-bulan berikutnya beban pedagang semakin berat. Pada saat itu, sebenarnya harapan bertumpu kepada pemerintah dan wakil rakyat. Namun, harapan menjadi pepesan kosong. Sebab, meski diperjuangkan paska kebakaran hingga sekarang, harapan itu tak pernah muncul. “Hal itulah yang membuat kami pengurus paguyuban mencari berbagai alternatif. Salah satunya secara mandiri iuran untuk membuat atap,” bebernya. Dikatakan dia, karena beban penderitaan yang sudah terlalu lama, pedagang memutuskan melangkah sendiri. Pedagang akhirnya melakukan iuran untuk membuat atap rangka baja ringan. Setelah dihitung, setidaknya butuh Rp 1.050.000.000 untuk membuat atapnya saja. Lewat paguyubanlah hal itu diputuskan. Pedagang yang menjadi korban kebakaran terpaksa harus merogoh kocek sendiri Rp 250.000 per meter persegi. Demi solidaritas, pedagang yang dibawah juga dikenakan iuran, namun untuk yang dibawah iurannya Rp 50.000 per meter. Dari dua kutub itulah antara pedagang lantai bawah dan pedagang lantai atas bersama-sama saling  bahu membahu untuk menciotakan harapan sendiri. “Kebangkitan pedagang untuk tidak mau lagi menunggu pepesan kosong membuat satu langkah pedagang bisa menempati lantai atas,” beber dia. Seperti halnya dikatakan Efendi, salah seorang pedagang yang mengaku membangun dengan cara mandiri lebih baik dari pada menunggu hal yang belum pasti. Kalau atap bangunan sudah ada toh pedagang bisa berjualan di los atau kios miliknya. “Ya yang untuk sewa kan bisa untuk iuran atap dan sisanya bisa untuk perbaiki los atau kios,”kata dia.(*/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: