65 Persen Wajib Film Nasional

65 Persen Wajib Film Nasional

foto A-har.siswa SMK Kampung Laut bikin filmJAKARTA – Industri film domestik menyambut baik rencana penerbitan beleid yang mewajibkan bioskop mengalokasikan 65 persen jam tayangnya untuk film nasional. Regulasi yang masuk paket kebijakan ekonomi jilid X itu diharapkan bisa mewujudkan mimpi film nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Produser MD Pictures Manoj Punjabi kepada Jawa Pos mengatakan, selama ini film nasional seolah dianaktirikan di negeri sendiri. Film-film tersebut diberi perlakuan berbeda jika dibandingkan dengan film-film mancanegara. Terutama soal jatah layar. Padahal, tidak sedikit film nasional yang punya kualitas bagus dan secara komersial pun mendulang sukses. Film box office asing rata-rata bisa dapat 300 sampai 400 layar. Sebaliknya, film box office Indonesia mendapat 200 layar pun belum pernah. ”Perbedaannya masih sangat jauh. Inilah yang diharapkan bisa berubah dengan adanya paket kebijakan baru,” kata Manoj. Manoj menambahkan, bertambahnya jatah layar untuk film nasional juga otomatis akan memicu para produsen film membuat film-film berkualitas. Menurut dia, dengan adanya lebih banyak media untuk memutar film, para produsen tentu akan lebih bersemangat memproduksi film. Bukan hanya film yang secara kualitas bagus, namun juga yang punya nilai komersial. ”MD sendiri sudah menyiapkan 13 judul untuk rilis tahun ini,” ujarnya. Namun, kebijakan baru itu juga harus dibarengi ketegasan untuk memberikan sanksi kepada film-film yang secara kualitas dan nilai komersial tidak masuk. Jangan karena jatah layar diperbanyak, lantas film apa saja bisa masuk bioskop. ”Kalau memang tidak berkualitas dan tidak ada penontonnya, langsung copot saja. Ini juga biar para produser film tidak asal membuat film,” papar dia. Hal serupa dilontarkan Produser Reene Pictures Gandhi Fernando. Ada satu hal lain yang harus juga jadi perhatian saat kebijakan baru itu diterbitkan. Yakni, perluasan akses masyarakat untuk bisa menikmati film-film nasional di bioskop. Selama ini Indonesia masih kekurangan layar sehingga tidak semua masyarakat bisa menikmati film-film nasional di bioskop. Kebijakan harga tiket bioskop pun disebut Gandhi harus diperbaiki. Dia mencontohkan, makin banyaknya film nasional yang tayang akan tetap sulit terakses jika harga tiket masih cukup tinggi seperti sekarang. ”Bayangkan saja, kalau sebulan ada 12 film nasional, tidak mungkin penonton mau spend money untuk menonton semua film itu dengan harga tiket bioskop yang bisa mencapai Rp 60 ribu di akhir pekan,” kata Gandhi. Selain mewajibkan bioskop menayangkan 65 persen film nasional, pemerintah membuka lebar keran investasi asing untuk bioskop. Kebijakan itu diharapkan bisa melawan oligopoli yang selama ini ada pada industri bioskop. Terpisah, sutradara Joko Anwar mengatakan, keberpihakan pemerintah kepada insan film merupakan sebuah kesempatan emas. Menurut dia, selama industri film nasional ada, arus investasi lokal kepada bidang salah satu industri kreatif tersebut masih kurang. ”Secara ekosistem tidak sehat. Layar bioskop kurang, hanya ada 1.117 layar untuk seluruh Indonesia yang penduduknya 250 juta jiwa dengan penyebaran (layar, Red) yang tidak merata,” ujar Joko kemarin. Sutradara yang dikenal dengan filmnya yang anti-mainstream tersebut menuturkan bahwa kurangnya layar itu mengakibatkan masyarakat, terutama yang tinggal di luar kota-kota besar, tidak memiliki akses untuk mengapresiasi film-film lokal. Itu juga mengakibatkan persaingan yang amat ketat dan tidak menguntungkan film-film lokal. ”Film-film Indonesia tidak dapat kesempatan diputar dengan cukup lama karena rebutan layar dengan film luar. Alokasi untuk film Indonesia hanya 20 persen dari semua layar. Bisnis enggak bisa berkembang,” tandas sutradara film Copy of My Mind itu. Dia menambahkan, dengan masuknya investor asing ke dalam industri film nasional, otomatis akan tercipta mekanisme pembuatan film nasional yang jauh lebih berkualitas. Joko mengungkapkan, hingga saat ini masih banyak produser film lokal yang mendatangi private investor yang belum teruji pengetahuan dasarnya tentang film. ”Banyak film lokal yang tidak dibuat dengan skill. Hasilnya buruk,” tandasnya. Sementara itu, Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf mengatakan bahwa industri perfilman Indonesia hanya butuh waktu dua tahun untuk menyesuaikan diri dengan aturan baru tentang perfilman. ”Kami akan gencar mempromosikan industri perfilman Indonesia kepada dunia,” katanya saat ditemui di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, kemarin. Dia mengatakan, disetujuinya paket kebijakan tentang perfilman tersebut tidak akan membahayakan budaya Indonesia seperti yang dikhawatirkan sejumlah kalangan. ”Pihak asing akan menanamkan modalnya di Indonesia untuk membuat film Indonesia, memakai juga orang kita, menggunakan latar budaya dan tempat di Indonesia. Intinya, mereka juga akan membuat film Indonesia yang tidak hanya diputar di Indonesia, tapi juga di luar negeri,” ujar Triawan. (and/dod/c10/sof)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: