Penyesuaian Budaya dengan Media Digital Atau Media Digital Menjadi Budaya Baru?
--
Oleh : Maharrani DK, Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi Unsoed
MANUSIA merupakan makhluk yang berbudaya. Kalimat tersebut tentu bukan isapan jempol belaka. Tiap-tiap manusia yang merupakan bagian dari masyarakat akan memiliki kaitan erat dengan budaya yang sudah diciptakan dan tercipta oleh masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, sebagai individu sekalipun, manusia adalah makhluk yang berbudaya. Terbentuknya budaya pun beragam sebabnya. Namun, umumnya adalah perihal kebiasaan-kebiasaan yang terus dilakukan kemudian menjadi keseharian dan terus menerus dilakukan seperti roda yang terus berputar. Barulah setelah itu tercipta budaya yang melekat.
Zaman demi zaman terus berlalu. Tidak dipungkiri populasi manusia terus bertambah setiap tahunnya. Semakin bertambah populasi tentu menambah variasi budaya yang dikaitkan pula dengan penambahan sarana dan prasarana yang menunjang kehidupan umat manusia.
Mulai dari budaya masyarakat yang suka berjalan kaki dan kemudian ditemukan roda hingga menjadi kendaraan. Setelah ditemukan kendaraan, jenis-jenisnya pun terus mengalami perubahan dan perkembangan seperti sepeda yang kemudian diberi mesin motor menjadi sepeda motor, lalu diciptakan mobil, kereta, kapal, pesawat, dan berbagai macam kendaraan lainnya tergantung dari jenis dan kegunaannya.
Selain kendaraan, salah satu hal yang mengalami perubahan adalah perihal alat dan media untuk berkomunikasi. Harold D Lasswel dalam buku Deddy Mulyana (2007) menjelaskan, bahwa media termasuk dalam proses komunikasi. Terdapat lima unsur yang membentuk komunikasi.
Konsep dari Lasswel adalah who says what to whom in which channel with what effect. Unsur pertama adalah who atau siapa yang membuat pesan dan memulai komunikasi. Says what sebagai unsur kedua berarti pesan yang dibuat dan akan disampaikan. Unsur ketiga adalah to whom atau kepada siapa pesan itu ditujukan. Keempat adalah in which channel yang berarti media atau saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan melakukan komunikasi. Unsur kelima adalah with what effect atau timbal balik yang ditimbulkan atau diharapkan.
Kembali ke bahasan mengenai budaya, dalam proses komunikasi tentu membutuhkan media. Tujuannya tentu sebagai saluran dalam penyampaian pesan atau bisa dikatakan di masa sekarang adalah platform.
Pada awalnya tentu media paling sederhana adalah media langsung atau komunikasi tatap muka. Namun, di masa yang itu, terdapat pula media komunikasi yang tradisional seperti asap untuk mengirim pesan.
Berlanjut ke masa-masa selanjutnya, mulai muncul kertas untuk menulis surat, alat komunikasi yang massal seperti koran, radio, televisi, dan juga alat komunikasi modern seperti telepon pintar. Beberapa media komunikasi juga berbeda di tiap-tiap masyarakat. Seperti misalnya di Indonesia, terdapat media komunikasi berupa kentongan di pos ronda untuk mengirimkan pesan-pesan kepada masyarakat di masa tertentu.
Platform sebagai media komunikasi di masa sekarang menjadi suatu hal yang lazim sebagai budaya baru. Platform digital ada di mana-mana. Facebook, WhatsApp, YouTube, Twitter, Wechat, Tinder, dan banyak lagi kini terjalin dalam ritme kehidupan sehari-hari yang biasa bagi jutaan orang di seluruh dunia.
Dengan investasi negara dan swasta dalam infrastruktur digital (dan teknologi komunikasi secara lebih umum) yang mengarah pada peningkatan akses ke internet di seluruh dunia, tampaknya sulit membayangkan masa depan yang dekat tanpa berbagai platform yang memfasilitasi interaksi sosial, budaya, politik dan ekonomi kita dan pertukaran. Tidak mengherankan, kita sekarang memiliki perdebatan sengit dan sengit tentang pengaruh platform digital yang digunakan secara luas dan dampaknya terhadap budaya politik pada khususnya. Tumbuhnya kesadaran tentang cara-cara platform ini sedang dipersenjatai oleh negara, perusahaan dan partai politik telah menyebabkan seruan untuk pengawasan dan regulasi yang lebih besar.
Wajar untuk mengasumsikan bahwa bentuk dan efek spesifik dari platform digital akan bergantung pada mediasi berbagai kekuatan dan faktor lokal. Namun, perdebatan saat ini tentang imperialisme platform dan kepentingan publik bertumpu pada asumsi dan argumen yang memiliki kesamaan mencolok dengan yang dibuat selama tahun 1970-an dan 1980-an ketika proliferasi saluran televisi satelit transnasional menimbulkan kecemasan tentang konglomerasi, homogenisasi budaya, dan erosi identitas budaya nasional. Sederhananya, klaim luas tentang imperialisme platform jarang memungkinkan pemahaman bernuansa pergeseran hubungan geopolitik, media dan praktik industri telekomunikasi, dan pengalaman khalayak media dan publik dalam berbagai konteks politik dan budaya. Terdapat tiga argumen luas: pertama, platform digital adalah bagian dari budaya media global; kedua, platform digital dibangun di atas berbagai lapisan infrastruktur media dan menganalisisnya membutuhkan pendekatan inter-medial dan antar-sektoral; dan ketiga, ada kebutuhan berkelanjutan untuk memahami signifikansi ekonomi, politik, dan sosial budaya dari budaya, bahasa, dan wilayah media regional untuk ekspansi global dan 'lokalisasi' platform digital.
Budaya dan globalisasi menjadi sesuatu yang berhubungan satu sama lain. Proses bagaimana budaya melebur di masa platform digital sedang berjaya menunjukkan bagaimana globalisasi sudah benar-benar merasuk ke segala lini kehidupan manusia. Mulai dari kehidupan sehari-hari yang dijalani secara nyata hingga ke dalam dunia maya melalui platform digital. Akhirnya kemudian timbul pertanyaan, apakah terjadi penyesuaian budaya dengan media digital atau malah sebaliknya yakni media digital itu sendiri yang menjadi budaya baru?
Proses penyesuaian budaya dengan media digital adalah suatu hal lazim yang terlihat dalam kehidupan masyarakat. Berbagai faktor terutama perkembangan teknologi mendukung hal tersebut. Contohnya adalah budaya bermusyawarah yang bisa disesuaikan dengan media digital. Pemanfaatan berbagai platform media digital seperti misalnya Google Meet dan Zoom menjadi penyesuaian baru. Apalagi di era pandemi dimana kegiatan seperti musyawarah dan berkumpul secara langsung dengan orang banyak menjadi larangan. Maka penyesuain tersebut lazim terjadi.
Ketika platform media digital seperti YouTube menjadi populer, banyak orang berlomba-lomba untuk mengunggah konten di platform tersebut. Apa saja yang dirasa dapat meraup jumlah view sebanyak-banyaknya, diusahakan untuk dibuat menjadi konten dan diunggah. Lalu, dari kebiasaan-kebiasaan tersebut, mulailah terbentuk budaya baru yakni menjadi YouTuber, istilah bagi orang-orang yang sering mengunggah konten ke platform tersebut. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa media digital ini menjadi sebuah budaya baru. Mengakses platform digital bukan lagi menjadi kebiasaan semata namun menjadi budaya.
Indonesia yang merupakan negara dengan banyak budaya juga mengalami penyesuaian dengan platform digital. Budaya baru pun dapat tercipta seiring munculnya platform digital yang diakses oleh masyarakat Indonesia. Terkait bagaimana globalisasi, media sosial terutama YouTube, dan kaitannya dengan budaya lokal. Terdapat banyak channel yang membahas tentang bagaimana keindahan alam Indonesia dan memperkenalkan budaya dari berbagai daerah utamanya perihal makanan atau kuliner. Pun demikian, Indonesia juga memiliki YouTube Rewind yang ada tiap tahunnya untuk mengulas apa saja yang terjadi pada tahun tersebut mulai dari isu lokal hingga isu nasional. Apapun itu dimasukkan dalam sebuah tayangan yang mencampurkan budaya lokal, nasional, hingga isu internasional. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: