Didoktrin untuk Bunuh Orang Tua Sendiri karena Mereka Kafir

Didoktrin untuk Bunuh Orang Tua Sendiri karena Mereka Kafir

[caption id="attachment_95313" align="aligncenter" width="100%"] Ilustrasi[/caption] Tangisan Serdadu Cilik ISIS Lolos dari ’’Neraka’’ Nasir (bukan nama sebenarnya) merasa seperti terlahir kembali. Remaja 12 tahun yang baru lepas dari tawanan militan Negara Islam (IS alias ISIS) itu tidak mau lagi jauh dari keluarganya. Pelukan hangat sang ibu menjadi obat segala duka dan luka yang dia rasakan selama menjadi ’’serdadu cilik’’ kelompok radikal tersebut. ’’Saat berada di kamp pelatihan, mereka (militan ISIS) selalu mengatakan kepada kami bahwa orang tua kami kafir. Dan, tugas pertama kami setelah menyelesaikan pelatihan adalah membunuh mereka,’’ ungkap Nasir. Setiap hari, militan yang bertugas sebagai pelatih di kamp itu selalu menyampaikan doktrin salah tersebut kepada anak-anak. Kata-kata tentang orang tua kafir itu justru membuat Nasir sedih. Setiap kali mendengar kalimat tersebut, dia menangis. Tapi, bocah lelaki itu tidak bisa meluapkan emosinya dengan bebas. Sebab, di kamp tersebut, menangis adalah sesuatu yang haram. ’’Kami tidak boleh menangis. Jadi, saya biasa menangis dalam diam. Tanpa suara. Tanpa air mata,’’ ujarnya. Kepada CNN, Nasir meminta agar identitas aslinya dirahasiakan. Bahkan, dalam dokumentasi audio visual pun, dia meminta stasiun televisi tersebut mengaburkan wajahnya dan memalsukan suaranya. Itu salah satu cara untuk bertahan hidup. Sebab, sebagai mantan tawanan ISIS yang sukses melarikan diri, Nasir harus selalu waspada. Setiap saat, nyawanya bisa terancam. ’’Saat itu jumlah kami 60,’’ katanya tentang kamp pelatihan khusus anak-anak. Di kamp ISIS, menurut Nasir, zona untuk anak-anak dan orang tua terpisah. Bahkan, anak-anak yang datang ke kamp ISIS bersama orang tua mereka pun tidak bisa tetap berkumpul menjadi satu. Mereka terpisah-pisah. Itu disebabkan pelatihan untuk anak-anak dan orang tua tidak sama. Termasuk indoktrinasinya. Bersama 59 anak-anak yang lain, Nasir digadang-gadang menjadi eksekutor aksi bom bunuh diri. Maka, sejak awal, mereka digembleng untuk tidak cengeng. Termasuk menyamakan orang tua mereka dengan kaum kafir yang layak dibunuh atau menjadi target serangan. ’’Mereka (militan ISIS) mengatakan bahwa hanya merekalah yang menyayangi kami,’’ lanjutnya. Hidup dalam tekanan dan terus-menerus dicekoki doktrin yang bertentangan dengan suara hatinya membuat Nasir tersiksa. Dia terus berdoa agar bisa lepas dari cengkeraman ISIS. Dia juga berharap masih bisa bertemu dengan sang ibu. Tiap malam, sejak ditawan ISIS di perbatasan Iraq-Syria, wajah ibunya selalu menemaninya dalam angan-angan sampai dia tertidur. Kesempatan itu akhirnya datang. Saat ISIS sibuk membuat propaganda tentang serdadu anak-anak di Kota Raqqa, Nasir punya peluang untuk melarikan diri. Bersama beberapa teman sebayanya, dia kabur dari lokasi pembuatan video di Al Farouq Institute. Institut yang jatuh ke tangan ISIS itu merupakan kamp pelatihan anak terbesar di Syria. ISIS menyebut serdadu anak sebagai anak-anak khalifah. Dari institut yang menjadi lokasi penawanannya, Nasir bersama beberapa teman sebayanya kabur menuju Perlintasan Gweyr, Iraq. Sekuat tenaga, mereka berlari sejauh-jauhnya dari Raqqa. Begitu tiba di perbatasan, mereka pun terdeteksi pasukan peshmerga. Pasukan paramiliter Kurdi itu langsung mengenali mereka sebagai anak-anak Yazidi yang diculik ISIS. Tapi, itu tidak membuat Nasir segera diselamatkan. ’’Saat mereka mendekati posisi kami, kami tidak tahu apakah mereka benar-benar sedang melarikan diri dari ISIS atau mereka justru suruhan ISIS untuk menyerang kami,’’ papar Aziz Abdullah Hadur, komandan peshmerga. Kendati demikian, dia tetap iba melihat anak-anak yang kurus kering dan tampak sangat letih itu. Maka, keputusan pun langsung diambil. Peshmerga memilih menyelamatkan Nasir cs. ’’Mereka mengaku baru saja dari neraka. Mereka terlihat sangat menyedihkan. Bahkan hampir tidak terlihat seperti anak manusia,’’ ungkap Hadur. Tergerak belas kasihan, dia beruntung keputusan yang diambil saat itu tepat. Dengan demikian, Nasir dan rekan-rekannya bisa kembali ke pelukan orang tua masing-masing. Yang lebih penting, mereka punya kesempatan kedua untuk hidup. ’’Dalam perlawanan kami terhadap ISIS, kami sering berhadapan langsung dengan anak-anak. Sebab, biasanya, anak-anaklah yang mereka tempatkan di garis depan,’’ kata Hadur. Anak-anak itu, lanjut dia, memakai rompi peledak. Setiap saat, mereka bisa saja menarik pemicu dan meledak bersama peshmerga. Itulah yang membuat peshmerga memilih untuk sangat berhati-hati. Kini, Nasir sudah kembali dalam kehangatan keluarganya di Kamp Pengungsi Esyan. Kamp di wilayah Kurdi itu menampung sedikitnya 15.000 Yazidi. Sebagian besar di antaranya adalah anak-anak dan orang dewasa yang kabur dari ISIS. Selain Nasir, ada dua bocah lain yang lolos dari kamp ISIS. Mereka adalah kakak beradik Nouri dan Saman yang sengaja dibuang setelah kaki mereka dipatahkan. (CNN/hep/c19/ami)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: