'AVITOURISM'

'AVITOURISM'

Oleh : Arya Bahari Mahasiswa S2 Magister Ilmu Lingkungan Unsoed Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang gencar dalam membangun negara dari sektor ekonomi. Sejatinya, pembangunan merupakan proses menuju masa depan yang lebih baik. Persoalan yang ditimbulkan oleh pembangunan yakni pelaksanaan pembangunan yang masih menimbulkan kerugian pada beberapa aspek kehidupan. Kepala Departemen dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nur Hidayati, dalam diskusi publik tentang “Kebijakan Lingkungan” di Denpasar, Bali pada 20 Maret 2013 menyatakan bahwa: “Perencanaan pembangunan infrastruktur di Indonesia selama ini sangat jarang mempertimbangkan aspek lingkungan. Sebagai salah satu bukti adalah kesalahan dalam pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam pembangunan jalan di atas perairan (JDP) di Bali yang menghubungkan Denpasar (Bandara Ngurah Rai) dan Nusa Dua”. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kegiatan pembangunan terutama terkait pembangunan infrastruktur mengenai Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dinilai mengabaikan konsep kelestarian lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan diharapkan mampu memfasilitasi persoalan lingkungan yang terjadi. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan paradigma pembangunan yang diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk seluruh dunia (Keraf, 2002). Panayotou (1994) menyatakan bahwa, hubungan antara ekonomi dan ekologi merupakan hal penting dalam pembahasan pembangunan berkelanjutan. Sehingga, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan menjadi pedoman penting. Ekowisata mulai ramai diperbincangkan pada akhir 1970 dan gencar disosialisasikan pada 1980 – 1990. Ekowisata dianggap sebagai alternatif dari kegiatan wisata tradisional yang ramah lingkungan karena tidak merusak lingkungan hidup dan mempu meningkatkan kualitas hidup masayarakat di sekitar daerah wisata. Indonesia merupakan negara (megabiodiversitas) tropis dunia dengan kekayaan biodiversitas tinggi yang terdiri atas 1.592 spesies burung, 781 spesies reptil, 270 spesies amphibi dan 515 spesies mamalia yang tersebar di 17.000 pulau di seluruh bentang nusantara (Farid, 2020). Saat ini, banyak ekosistem di Indonesia yang terganggu akibat perusakan habitat. Eksploitasi spesies flora dan fauna secara berlebih pada sektor ekonomi demi memperoleh keuntungan besar berakibat pada kelangkaan hingga kepunahan spesies. Selain itu, kemajuan taknologi ilmu pengetahuan dengan penyeragaman varietas tanaman hingga ras hewan budidaya menyebabkan erosi genetik yang dapat menyebabkan krisis keragaman genetik sumberdaya hayati (Kuswanto, 2006). Angka kepunahan spesies diperkirakan mencapai 0,25% dari total 30 juta spesies dan tumbuhan telah punah pada tahun 2000. The Reda Data Books of IUCN dan ICBP menyatakan sebanyak 126 spesies burung, 63 spesies mamalia, 21 spesies reptil dan 65 spesies fauna Indonesia lainnya terancam punah (Endangered) dengan tersisa 187 spesies mamalia endemik dari 500 spesies (37,4%), 144 spesies reptilia endemik dari 2000 spesies (7,2%), 162 spesies burung endemik dari 1500 spesies (Hoffman et.al., 2008). Melihat kondisi dari populasi satwa iconic Indonesia, penulis ingin mengambil kesempatan untuk mengajak melihat bersama Alcedo euryzona. Ya, burung kecil dan cantik yang dikenal dunia sebagai Javan Blue-banded Kingfisher merupakan monotypic endemic spesies dipulau Jawa. Burung menggemaskan dengan ciri khas bulu berwarna biru yang mengelilingi dadanya, kepala hitam dengan garis biru di bagian pipi serta perpaduan bulu hitam dan biru yang menghiasi sayap dan punggungnya ini secara langsung merasakan dampak dari hilangnya hutan. Pengamatan, survei dan sampling yang dilakukan oleh IUCN redlist pada 2016 menunjukkan hasil yang menyedihkan dengan jumlah individu dewasa sebanyak 50 – 249 individu. Harapan terhadap populasi burung lucu ini tidak sepenuhnya hilang, meskipun survei terakhir populasi dilakukan pada 2016. Hal ini demikian, karena sebuah penelitian yang telah dilakukan di daerah Petungkriyono, Pekalongan, Jawa Tengah pada Oktober – November 2018 menunjukkan hasil bahwa masih ada harapan adanya populasi Javan Blue-banded Kingfisher. Kelompok konservasi, fotgrafer hingga kelompok peneliti mancanegara sudah mulai bergerak untuk mengetahui kondisi dari burung menggemaskan ini dalam rangka pengumpulan data terkini. Avitourism adalah industri wisata yang berbasis lingkungan dengan melakukan pengamatan burung langsung pada habitatnya (Steven, Morrison, Arthur, et al., 2015). Pendekatan avitourism dalam bentuk birdwatching akan memberikan keuntungan non-materi dan materi bagi masyarakat sekitar tanpa harus menghilangkan jenis burung di hutan (Afif et al., 2018). Kegiatan avitourism biasanya dilengkapi dengan data burung-burung dengan daya tarik bagi pengunjung sperti perilaku, bentuk tubuh, warna tubuh dan habitat melalui jalur-jalur yang dapat dikunjungi (Sunarno et al., 2019). Avitourism membuat lingkungan dan keanekaragaman dari hutan terjaga dan meningkatkan perekonomian dari masyarakat sekitar (Steven et al., 2015). Selain keuntungan bagi manusia, avitorism akan menguntungkan bagi ekosistem hutan, terutama bagi spesies burung yang bergantung pada ekosistem hutan. Kelimpahan jenis pakan yang terjaga, jenis pepohonan hutan yang menjadi tempat tinggal, kualitas air pada aliran sungai yang terjaga menjadi beberapa parameter penting dalam homeostasis ekologi hutan pada umumnya dan kelangsungan hidup burung khususnya. “Ibu, ini burung apa si? Masih ada gak ya? Aku bisa liat dimana?” Suatu hari nanti anak anak kita akan berpeluang menanyakan pertanyaan diatas sebagaimana kita pada waktu kita masih kecil, jangan sampai jawaban “Sudah tidak ada nak” Menjadi jawaban yang kita berikan kepada anak – anak kita, melainkan antusias untuk mengajak mereka ke lokasi pengamatan burung yang asri dan merupakan habitat asli dan bukan buatan. Pengalaman seperti ini akan terekam dan tersimpan dalam waktu yang sangat lama oleh anak – anak dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi inspirasi kuat bagi mereka untuk menjadi konservator masa depan. Dengan demikian mari kita berjuang untuk menjaga homeostasis hutan demi terjaganya kehidupan satwa yang berada didalamnya dan demi kelangsungan ilmu pengetahuan serta kebaikan kita sebagai mahkluk yang bergantung pada hutan untuk menghasilkan O2. Selain itu, langkah ini mampu menjaga Indonesia segabai megadiversitas dunia. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: