Jaring Murid Langsung dari Rumah ke Rumah

Jaring Murid Langsung dari Rumah ke Rumah

[caption id="attachment_94895" align="aligncenter" width="100%"] DARUL ULUM: Inilah kondisi RA dan MI Yayasan Darul Ulum, Dusun Tololai, Desa Mawu, Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima.[/caption] Dari Sopir Bus ke Peternak, Banting Tulang Alan untuk Hidupi Sekolah yang Didirikan Enam tahun sudah Alan, mantan sopir bus, mendirikan dan mendanai sekolah di kampungnya di Bima. Sekolah itu gratis. Siswa bahkan mendapat bantuan seragam, sepatu, dan antar jemput. JUWAIR SADDAM, Bima BERAGAM alat permainan anak terlihat tak bertuan. Matahari sebenarnya belum tepat di atas kepala Rabu siang lalu (6/1), tapi halaman sekolah itu sudah terlihat sepi. "Yang siswa RA (raudhatul athfal, semacam PAUD, Red) sudah pulang. Yang anak-anak MIS (madrasah ibtidaiyah swasta) hanya sepertiga yang hadir," ujar Sutiamin, kepala RA dan MIS Darul Ulum, kepada Lombok Post (Jawa Pos Group).     Mereka yang bolos di hari itu bisa dipastikan tengah ikut orang tua masing-masing ke ladang. Kebiasaan turun-temurun di Desa Mawu, Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, itu pula yang dulu melecut semangat M. Saleh Yusuf alias Alan untuk mendirikan sekolah yang kini dipimpin Sutiamin tersebut. Dengan segala keterbatasan, Alan yang pada 2009 itu berprofesi sopir bus malam trayek Bima-Mataram menggunakan uang tabungan untuk mendirikan bangunan sederhana di tanah warisan orang tua di Dusun Tololai, Desa Mawu. Yang bersekolah di sana sama sekali tidak dipungut biaya. Bahkan diberi bantuan berupa perlengkapan sekolah berupa baju seragam, tas, sepatu, dan sebagainya. Semua itu ditanggung Alan sendiri dengan menyisihkan sebagian pendapatannya sebagai sopir bus malam yang tak banyak, hanya Rp 3-4 juta. Termasuk menanggung gaji para guru. Perlahan pengorbanan Alan itu mulai diketahui banyak orang di luar Mawu, desa tempat dia dilahirkan 43 tahun silam. Dia pun, antara lain, mendapat anugerah pendidikan dari sebuah lembaga di Jakarta. Juga diundang ke talk show salah satu televisi nasional. Tapi, enam tahun berjalan, tak banyak yang berubah di sekolah yang terletak di tepi Jalan Lintas Wera-Bima itu. Seperti disaksikan Lombok Post, bangunan sekolah masih beratap seng, sedangkan dindingnya dari bedek dan papan. Lantai masih berupa tanah. Hanya sebagian yang telah disemen. Karena usianya sudah enam tahun, sebagian dinding bangunan sekolah sudah lapuk. Di belakangnya memang telah ada bangunan baru berupa satu ruang kelas permanen hasil bantuan dari PLN NTB. "Tapi, bangunan itu belum difungsikan karena jelas tidak bisa menampung seluruh siswa," kata Sutiamin. Yang jelas juga tidak berubah: Alan boleh dibilang masih sendirian menanggung biaya operasional sekolah. Uluran tangan dari pemerintah hanya BOS (bantuan operasional sekolah) yang lantas digunakan untuk menggaji ke-15 guru. "Pernah ada tim (Kanwil) Kemenag NTB datang dan menjanjikan bantuan. Tapi, sampai sekarang belum ada kabar," ungkap Sutiamin. Jadilah Alan yang harus pontang-panting mencari dana agar RA dan MIS Darul Ulum bisa tetap berjalan. Tiga bulan terakhir dia memilih berhenti menjadi sopir bus untuk berfokus mengembangkan usaha di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan. "Semua akan saya lakukan agar sekolah tetap jalan," tegas Alan. Tiga bidang itu dia prioritaskan juga agar sejalan dengan mata pencaharian warga Mawu pada umumnya. Apalagi, potensi lahan di Ambalawi masih cukup besar dan belum dikelola secara maksimal. "Saya berharap, setelah lulus SD, anak-anak minimal sudah bisa bertani atau beternak. Selain itu, saya ingin mengajarkan kepada warga agar tidak berladang secara berpindah-pindah," papar Alan. Kebiasaan ladang berpindah yang membutuhkan tenaga dalam jumlah besar itu pula yang membuat banyak orang tua di Mawu tidak berminat menyekolahkan anaknya. Atau kalaupun bersekolah, sekadar bisa baca dan tulis. Karena itu, sejak awal mendirikan Darul Ulum, Alan langsung menjaring para murid dari rumah ke rumah. Mereka tak hanya diiming-imingi biaya gratis plus bantuan perlengkapan, tapi juga diantar jemput. Kini total siswa RA Darul Ulum mencapai 41 anak. Adapun di MIS 61. Perinciannya, siswa kelas I dan II berjumlah 11 orang, sedangkan kelas III dan IV masing-masing 12 orang. Kelas V hanya 9 orang dan kelas VI cuma 6 orang. Dengan komposisi seperti itu, bangunan sekolah tersebut disekat jadi empat. Satu ruangan ditempati para siswa RA, tiga ruangan lain untuk siswa MIS, mulai kelas I hingga VI. Karena terbatas, satu ruangan ditempati siswa dua kelas. Yakni kelas I dengan kelas II, satu ruangan untuk kelas III dan IV. Satu ruangan lainnya yang disekat dengan ruang guru dan kepala sekolah dipakai siswa kelas V dan VI. Di sela kesibukannya pontang-panting menghidupi sekolah, sesekali Alan masih menyempatkan diri untuk mengajar para siswa. Lulusan SMA itu biasanya mengajar mata pelajaran agama.  "Kalau pas ke sekolah juga saya manfaatkan untuk menyemangati para guru," ucap Alan. Motivasi dari Alan itu, tampaknya, didengar betul oleh para guru. Buktinya, enam tahun bekerja di sekolah yang sangat bersahaja, semangat mereka tak pernah surut. Padahal, tiap bulan mereka hanya menerima bayaran Rp 120 ribu dari yayasan yang dipimpin Alan. Tambahannya, tiga bulan sekali, para guru mendapat gaji dari dana BOS masing-masing Rp 350 ribu. Tetap saja sangat kecil. "Gaji yang kami terima memang kecil. Tapi, ini kami anggap sebagai pengabdian kepada generasi mendatang," tutur Sutiamin. Alan mengakui adanya berbagai kekurangan di sekolah yang didirikannya itu. Dia pun berharap usahanya di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan terus berkembang. Sehingga kelak fisik bangunan sekolah dan kesejahteraan guru Darul Ulum bisa ditingkatkan. "Saya tak mengejar materi. Saya hanya ingin anak-anak di desa ini jadi ’orang’ nantinya," ujar dia. (*/JPG/c9/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: