LKPP Sebut Temukan Banyak Penyimpangan Terkait Pengadaan di PLUT Kebumen

LKPP Sebut Temukan Banyak Penyimpangan Terkait Pengadaan di PLUT Kebumen

Budi Setyawan, Kasi Pidsus Kejari Kebumen: "Ahli menegaskan jika pekerjaan dilakukan terlebih dahulu baru kemudian penandatangan kontrak/SPK dilakukan setelahnya, hal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Perpres nomor 16 tahun 2018 dan tidak dibenarkan," KEBUMEN - Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) berpendapat jika Pengadaan Barang/Jasa di PLUT Kebumen tidak sesuai dengan aturan yang ada atau melanggar. Hal tersebut ditegaskan oleh Ahli Pengadaan Barang/Jasa pada Biro Administrasi Pengadaan Barang/Jasa Provinsi Jawa Tengah, Soepartono. Dalam hal ini Soepartono mendapat tugas dari LKPP, sesuai dengan Surat Penugasan Ahli dari LKPP Jakarta Nomor : 21363/D.4.3/10/2021 tertanggal 4 Oktober 2021. Kepala Kejaksaan Negeri Kebumen, Drs Fajar Sukristyawan SH MH melalui Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Budi Setyawan, selaku menyampaikan dari keterangan Ahli tersebut terdapat beberapa hal yang tidak dibenarkan atau tidak diperbolehkan. Ini seperti pada pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam hal ini apakah dapat dilakukan atau dilaksanakan pekerjaannya terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan penandatangan kontrak. Misal Surat Perintah Kerja itu ditandatangani pada tanggal 18 November 2019, namun pekerjaan sudah dilakukan sejak tanggal 1 November 2019. "Ahli menegaskan jika pekerjaan dilakukan terlebih dahulu baru kemudian penandatangan kontrak/SPK dilakukan setelahnya, hal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Perpres nomor 16 tahun 2018 dan tidak dibenarkan," tutur Budi mendasar keterangan Ahli Soepartono. Selanjutnya, kata Budi, Ahli juga diminta menjelaskan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah apakah orang yang berada di luar struktur suatu perusahaan/korporasi dari suatu peserta pengadaan dapat bertindak mewakili suatu perusahaan atau korporasi untuk mengikuti sebuah proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Ini tanpa adanya bukti surat kuasa atau surat perintah dari Direksi suatu korporasi atau perusahaan tersebut. Dalam kata lain, yakni menggunakan perusahaan orang lain yang bukan miliknya guna mengikuti pengadaan atau dalam istilah umumnya pinjam bendera. Terkait hal tersebut, Penyidik Kejaksaan Negeri Kebumen memperlihatkan surat perjanjian antara AK dengan H tanggal 5 November 2019. Yakni dengan perjanjian peminjaman sebuah CV. Dimana AK merupakan Direktur pada CV tersebut. https://radarbanyumas.co.id/mantan-kadisnakerkop-kebumen-ukm-ditahan-kejaksaan-perkara-kredit-bermasalah-pd-bpr-bkk-kebumen/ "Dalam hal ini Ahli menjelaskan adanya pihak luar yang notabene di luar struktur perusahaan tanpa adanya surat kuasa atau pemberian delegasi wewenang untuk bertindak mewakili dan menjalankan perusahaan orang lain pada prinsipnya tidak dibenarkan. Apalagi jika kemudian terbukti adanya perjanjian terkait peminjaman perusahaan, hal ini tidak sesuai dengan pasal 7 Perpres nomor 16 tahun 2018 tentang etika pengadaan barang/jasa," jelasnya. Budi menegaskan Ahli juga diminya menjelaskan apakah diperbolehkan pemberian honor, nafkah, gaji, bonus atau imbalan misalnya senilai 2 persen dari nilai kontrak dari seorang peminjam perusahaan atau korporasi kepada pemilik perusahaan atau korporasi yang digunakan sebagai peserta pengadaan barang/jasa pemerintah. "Dalam hal ini Ahli tidak memberikan tanggapan tentang besaran imbalan (fee) sebesar 2 persen dari nilai kontrak. Namun Ahli menegaskan bahwa pinjam meminjam bendera pada prinsipnya tidak dibenarkan. Karena ini menyimpang dari ketentuan dalam Perpres nomor 16 tahun 2018 utamanya Pasal 4, 5, 6 dan 7. Dan perlu digaris bawahi apapun resikonya ketika terjadi permasalahan di kemudian hari terkait dengan peminjaman bendera tersebut, maka tanggung jawab tetap berada di tangan pemilik perusahaan yang dipinjam," jelasnya. Penyidik Kejaksaan Negeri Kebumen juga meminta Ahli untuk menjelaskan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dalam hal ini apakah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK/PPKom) diperbolehkan menerima pemberian. Ini baik berupa hadiah atau pemberian barang sebagai suatu prestasi atau imbalan dari pelaksaaan kegiatan atau penyedia barang/jasa setelah diselesainya dilakukan pekerjaan. Terkait hal itu Ahli pun menjelaskan jika menerima pemberian, hadiah atau imbalan yang diduga berasal atau terkait dengan pelaksanaan kegiatan yang telah selesai dilaksanakan tidak dibenarkan. Ini sesuai dengan Pasal 7 ayat h. Perpres nomor 16 tahun 2018 terkait Etika Pengadaan Barang/Jasa. Kejaksaan juga meminta Ahli menjelaskan terkiat pengadaan barang/jasa pemerintah. Dimana pada tahun 2019 apakah diperbolehkan seorang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK/PPKom) itu merangkap sebagai Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM). Selain itu dimanakah hal tersebut diatur. "Ahli menjelaskan jika dalam pengadaan barang/jasa personil Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak diperbolehkan untuk merangkap sebagai Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM). Ini sesuai dengan Pasal 6 ayat (3).a. Peraturan LKPP nomor 15 tahun 2018 tentang Pelaku Pengadaan Barang/Jasa," ucapnya. Budi Setyawan menyampaikan, berdasar pada keterangan Ahli tersebut maka LKPP menyatakan Pengadaan di PLUT Melanggar. (mam)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: