Wisata Mangrove Dikeluhkan Wisatawan

Wisata Mangrove Dikeluhkan Wisatawan

KEBUMEN - Hutan mangrove Ayah menyimpan potensi alam yang luar biasa. Apalagi jika digarap dengan baik dan benar, pasti akan menguntungkan masyarakat maupun pemerintah setempat. Wisata edukasi yang terletak di kawasan Pantai Logending di Desa/Kecamatan Ayah itu, menyuguhkan tumbuhan bakau yang begitu luas, hijau nan rimbun. Namun keindahan alam tersebut, tidak diimbangi dengan pelayanan yang baik. Sebab wisata favorit baru masyarakat Kebumen itu dikeluhkan banyak wisatawan. Hal ini lantaran para pengunjung ditarik retribusi tiket masuk ke obyek wisata sebanyak dua kali. Seperti yang dialami oleh Fitri (27), warga Karanganyar. Saat itu dia bersama enam orang temannya dari Yogyakarta, mereka kepincut keindahan wisata hutan mangrove Ayah yang dilihatnya dari media sosial. Karena penasaran, keenam orang temannya itu lantas berkunjung ke Kebumen untuk menikmati keindahan kawasan wisata tersebut, Minggu (1/1) lalu. Namun siapa sangka, niat hati Fitri ingin menikmati dan mengenalkan wisata Hutan Mangrove kepada teman-temanya, justru dibuat kecewa oleh pelayanan di tempat wisata tersebut. Fitri dan keenam temannya harus membayar sebanyak dua kali bila ingin masuk ke kawasan wisata hutan mangrove. Pertama, saat di pintu gerbang masuk ke area Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Logending. Dia diminta membayar sebesar Rp 4500, per orang. Kedua, saat masuk ke kawasan hutan Mangrove, dikenakan tarif Rp 5000 per orangnya. Hal tersebut tentu membuat Fitri kecewa. Apalagi tidak diimbangi dengan pelayanan wisata yang memuaskan. "Kalau saat masuk yang depan itu resmi karena ada karcisnya. Kalau yang belakang kita tidak dikasih karcisnya," kata Fitri, kepada Kebumen Ekspres, Rabu (4/1). Tak hanya itu, , pengelola juga seakan tidak peduli dengan keselamatan pengunjung seperti tidak ada pembatasan jumlah pengunjung saat melintas di jembatan "jogging track", maupun saat berada di rumah mangrove. Padahal jika kelebihan beban bisa berbahaya bagi keselamatan pengunjung. "Sebenarnya kami juga ingin ada penjelasan tentang keberadaan mangrove. Tapi ternyata memang pengelola sepertinya acuh saja," sesalnya. Dia berharap pengelola segera memperbaiki pelayanannya agar obyek wisata tersebut tidak ditinggalkan oleh wisatawan karena kecewa dengan pelayanan dari pengelola. Terpisah, Pembina Kelompok Peduli Lingkungann (KPL) Pansela, Sukamsi mengatakan, wisata hutan mangrove Ayah saat ini dikelola oleh kelompok masyarakat setempat. Sejak beberapa bulan terakhir, KPL Pansela memang tidak lagi terlibat pada pengelolaan wisatanya. "Kami sekarang fokusnya pada sisi konservasinya dan pembibitan mangrove," tegas Sukamsi saat dihubungi melalui ponsel pribadinya, kemarin. Sukamsi enggan berkomentar lebih jauh terkait adanya keluhan wisatawan terhadap pelayanan obyek wisata. "Lebih baik kita diam dan fokus di konservasi saja. Setiap Selasa kami aktif di konservasi dan pembibitan. Kecuali kalau ada tamu yang menginginkan dilayani dan berbagi pengalaman tentang tanaman mangrove atau studi banding, kami yang melayani mereka," ujarnya. Sukamsi meminta Pemkab Kebumen mengambil langkah taktis dan secepatnya menetapkan hutan mangrove Ayah sebagai kawasan lindung. Selain itu, juga segera menetapkan pengelola yang sah terhadap hutan mangrove tersebut. "Ini penting biar jelas dan tidak ada lagi pengunjung yang kecewa. Tidak harus Pansela, siapa saja yang itu legal," tandasnya. Untuk diketahui, setelah ramai dikunjungi oleh wisatawan, keberadaan hutan mangrove di kawasan Pantai Logending,mulai dipersoalkan. Sejumlah warga yang mengatasnakam masyarakat sekitar, mempermasalahkan pengelolaan kawasan mangrove oleh KPL Pansela, yang dinilai tidak melibatkan masyarakat setempat. Masalah ini mulai muncul saat libur lebaran tahun lalu, wisata edukasi mangrove Ayah dikunjungi oleh ribuan wisatawan. Sedangkan sekelompok warga setempat yang mengklaim turut merintis hutan mangrove sebelum KPL Pansela, tidak dilibatkan. Mereka kecewa dan menyayangkan pengelolaan hutan mangrove. Apalagi, para pegiat KPL Pansela yang mengelola wisata hutan mangrove merupakan warga dari desa lain, bukan dari Desa Ayah sendiri. (ori)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: