Sempat Putus Asa Saat Depo Habis Disapu Banjir

Sempat Putus Asa Saat Depo Habis Disapu Banjir

Perjuangan Arif Suharto Membangun Bisnis Arif Suharto bertekad kuat membangun bisnis di bidang Galian C. Jatuh bangun dalam berbisnis berkali-kali dirasakannya. Dia sempat berkali-kali menjual depo. Bahkan dia sempat bangkrut dan putus asa. Modal yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun habis, saat depo di Desa Wanakarsa Kecamatan Wanadadi habis tersapu banjir. Sehingga dia tidak bisa menambang. Ditengah keputusasaannya, dia sempat "banting stir" menjadi petani. Darno, BANJARNEGARA Kesuksesan Arif Suharto dalam berbisnis tidaklah datang dengan tiba-tiba. Pendiri PT. Bumi Pasir Sejahtera ini pernah merasakan getirnya jatuh bangun membangun usaha. Arif mengawali binsis pertambangan Galian C di Somagede Kulon, Banyumas pada tahun 1980 lalu. Saat itu, penambangan masih dilakukan secara manual dengan gethek ke tengah kali. Karena serba manual, penambang harus menyelam untuk mengambil pasir di dasar sungai menggunakan krenyeng yang terbuat dari tutup drum. Karena tergiur dengan potensi yang lebih besar, usahanya yang ditekuninya selama  1,5 tahun dijual sekitar Rp 500. Alasannya saat itu tanahnya masih nyewa. Uang hasil penjualan, kemudian diinvestasikan untuk usaha serupa di Somagede Wetan. Jalinan pertemanan menjadikan dia terdorong melakukan inovasi. Dia membeli perahu bekas nelayan dari temannya di Cilacap. Perahu bekas ini dimodifikasi dengan mengganti bagian bawahnya dengan papan. Tujuannya agar muat banyak dan lebih stabil saat mengangkut pasir. Usahanya di Somagede Wetan ini tidak berlangsung terlalu lama. Pada tahun 1983, dia kembali menjual usahanya  Rp 600 ribu. Kabar baik kemudian datang menghampirinya. Setelah menjual usaha di Somagede Wetan, dia memperoleh informasi ada kontraktor besar yang memerlukan material untuk membangun jalan dari Pasar Gumiwang Kecamatan Purwanegara sampai Gemuruh Kecamatan Bawang. Mendengar informasi ini, dia kemudian membangun depo di  Desa Sirkandi, Kecamatan Purwareja Klampok.     Namun dia harus membangun jalan ratusan meter dari sungai ke jalan raya di Pertigaan Gandulekor Kecamatan Mandiraja. Usahanya di Sirkandi ini terbilang sukses. Dia berhasil melayani kebutuhan kontraktor hingga selesai. Setelah itu, dia dipercaya menyuplai batu dan pasir untuk perluasan kantor PLTA Mrica. Dia lalu membuat depo lagi di Desa Boja yang kini terendam Waduk Mrica. Karena lokasi sungai tempat mengambil material cukup jauh dari jalan raya, dia kembali harus membuat jalan dari Mantrianom sampai Jolang. Saat itu Jembatan Jolang yang menghubungkan Kecamatan Bawang dengan Kecamatan Wanadadi belum hanyut. Pembangunan depo di Boja ini menelan biaya besar. Sebab untuk membangun menuju lokasi jaraknya mencapai 650 meter. Tidak hanya itu, ia juga harus melebarkan empat jembatan sekaligus. Saat itu, apapun yang bisa diuangkan dijual. Sehingga sepeda motor miliknya harus dijual. Akibatnya, dia harus berjalan kaki dari depo menuju ke rumah di Semampir. Saat itu, pertambangannya buka siang dan malam. Sehingga dia baru pulang dini haru. Jam setengah tiga pagi biasanya dia baru sampai ke rumah. Istirahat sebentar di rumah, lalu jam tujuh pagi dia berangkat lagi ke depo. Hal ini dilakoninya selama sekitar setengah tahun. Namun kali ini nasib apes yang menghampirinya. Saat, baru memperoleh uang bersih Rp 250 ribu, banjir bandang membuat usahanya terhenti total. Banjir menghanyutkan jembatan menuju depo miliknya. Sebenarnya bukan jembatan yang dibangunnya yang hanyut. Namun tanah urugan di sebelah jembatan hanyut terbawa banjir. Sehingga meskipun jembatan masih utuh, tidak bisa dilewati truk. Banjir ini membuat modal yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun habis hingga membuatnya bangkrut. Akhirnya, Suharto memutuskan menjadi petani. Selain menggarap sawah milik sendiri, dia meminta ikut menggarap bengkok milik kakaknya yang menjadi Sekretaris Desa. Imbalannya, hasil panen dibagi dua. Usaha pertanianya terus berkembang. Keinginan kembali ke usaha pertambangan kembali datang saat Waduk Mrica tergenang. Saat itu, sedimen pasir menumpuk hingga ke lahan orang tuanya di Semampir. Tempat dia biasa menggembalakan kerbau. Banyaknya tumpukan pasir ini membuatnya tergerak kembali menggeluti galian C. Pada tahun tahun 1987, dia meminta izin ke Kepala Desa Semampir saat itu untuk membuat jalan raya menuju Sungai Serayu. Seringnya banjir, membuat sedimen yang menumpuk bukan hanya pasir, namun juga kerikil dan batu kecil. Melihat peluang yang besar ini, kemudian dia mengajukan izin pertambangan. Namun, mendapatkan izin tidak semudah seperti yang diharapkan. Setelah memeroleh izin dari RT, RW, Desa, perizinan selanjutnya terganjal oknum perizinan yang ogah memberikan izin. Namun berkat kegigihannya, akhirnya izin terbit juga. Permasalahan izin kelar tahun 1992. Giliran masalah modal yang menjadi ganjalan. "Izin sudah punya, biaya nggak punya," kenangnya. Sebab modal habis untuk mondar-mandir mengurus perizinan. Seiring perjalanan waktu, sedmientasi menumpuk kian tinggi. Nasib baik kembali menghampirinya. Temannya membutuhkan material dalam jumlah besar untuk membuat jalan dari Perempatan Semampir sampai RSUD Hj Annah Lasamanah Banjarnegara.  Permintaan material ini menjadi "nafas" baru baginya. Tahun berus berjalan dan usahanya terus berkembang. Kini dia memperkerjakan hingga 70 orang. Namun dia enggan menyebut jumlah truk yang dimilikinya. Usaha yang digelutinyapun merambah ke persewaan alat berat. Saat ini ada sembilan alat berat untuk melayani kontraktaktor yang membutuhkan.(*/acd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: