Ekonomi Tersandera Bunga Tinggi

Ekonomi Tersandera Bunga Tinggi

1    JAKARTA-  High cost economy atau ekonomi biaya tinggi yang harus ditanggung pelaku usaha, tidak hanya disebabkan minimnya infrastruktur dan berbelitnya regulasi, namun juga karena suku bunga perbankan yang tinggi. Staf Khusus Wakil Presiden bidang Ekonomi dan Keuangan Wijayanto Samirin mengatakan, faktor-faktor pemicu high cost economy itulah yang kini terus dicarikan solusinya melalui berbagai paket kebijakan ekonomi. "Khusus untuk suku bunga perbankan, pemerintah akan mengambil langkah-langkah strategis," ujarnya kemarin (8/2). Menurut Wijayanto, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sudah mengidentifikasi, jika salah satu penyebab masih tingginya suku bunga perbankan di Indonesia adalah inefisiensi, yang salah satunya tercermin dari tingginya net interest margin (NIM). NIM adalah selisih antara suku bunga simpanan yang dibayarkan bank kepada deposan dan suku bunga kredit yang dikenakan bank pada debitor. "Mudahnya, jika dibanding negara Asean lainnya, NIM perbankan Indonesia paling tinggi," kata mantan direktur eksekutif Paramadina Public Policy Institute (PPPI) tersebut. Sebagai gambaran, rata-rata NIM perbankan Indonesia per akhir 2015 lalu ada di kisaran 5,39 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan NIM perbankan di kawasan Asean lainnya, juga lebih tinggi dibanding NIM perbankan di negara-negara maju lainnya (lihat grafis). "Bahkan Bloomberg (media internasional yang banyak mengulas ekonomi dan keuangan, Red) pernah menulis kalau NIM perbankan di Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia," kata Wijayanto yang sebelumnya lama berkarir sebagai investment banker tersebut. Menurut Wijayanto, wajar jika dalam beberapa kali kesempatan, Presiden Jokowi maupun Wapres JK bersuara cukup keras menyikapi tingginya bunga perbankan di Indonesia. Sebab, selama ini kredit perbankan memang mendominasi sumber pendanaan pelaku usaha, dibandingkan akses lain melalui pasar modal, baik saham maupun obligasi. "Artinya, tingginya suku bunga kredit menjadi beban bagi pelaku usaha," ucapnya. Sebagaimana diwartakan sebelumnya, dalam pertemuan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan manajemen bank BUMN beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi tegas-tegas meminta kepada perbankan agar menurunkan suku bunga kreditnya. "Entah jurusnya seperti apa, pasti akan saya cari, pasti akan saya paksa," tegasnya. Menurut Jokowi, di era kompetisi yang kian ketat saat ini, tingginya suku bunga bank bakal menggembosi daya saing pelaku usaha di Indonesia saat harus berhadapan dengan pelaku usaha negara lain. Apalagi, seiring berlakunya skema Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Karena itu, agar bisa bersaing, perbankan di Indonesia harus bisa mengejar suku bunga yang diterapkan di negara-negara lain. "Kalau negara lain bunga banknya 4 persen, 5 persen, 6 persen, kita juga harus bisa segitu," katanya. Lantas, berapa rata-rata suku bunga kredit di Indonesia? Menurut Wijayanto, angkanya memang jauh di atas rata-rata negara lain, yakni mencapai 11,2 persen. Sementara di Thailand 7,1 persen, Filipina 5,85 persen, Singapura 5,35 persen, dan Malaysia 4,53 persen. "Kalau rata-rata di Asean sebesar 6,81 persen," sebutnya. Wijayanto mengatakan, beberapa langkah yang akan diambil pemerintah, diantaranya adalah mengurangi oligopoly perbankan dengan memberikan insentif bagi pengembangan pasar obligasi dan pasar saham, agar pelaku usaha tidak terlalu bergantung pada kredit perbankan. Langkah lainnya adalah melakukan intervensi dengan menekan suku bunga kredit mikro melalui subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) 9 persen, mendorong manajemen bank BUMN agar mengubah mindset bahwa profit yang besar bukan satu-satunya indikator sukses. "Seperti sering dikatakan Pak JK, tidak penting bagi bank BUMN mengejar untung triliunan rupiah kalau dicapai dengan membebankan bunga 20 persen untuk rakyat kecil," ujarnya. Sementara itu, Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Arbonas Hutabarat mengungkapkan bahwa kondisi suku bunga acuan (BI rate) tidak terlepas dari kondisi makroekonomi dalam negeri. "Semuanya tergantung data ekonomi dan keputusan yang diambil di Rapat Dewan Gubernur (RDB) bulanan," ujarnya kepada Jawa Pos, Senin (8/2). Arbonas menuturkan bahwa indikator-indikator makroekonomi seperti capaian inflasi maupun pertumbuhan ekonomi akan menentukan naik turunnya suku bunga. BI sebagai otoritas makroprudensial mengambil keputusan berdasar data dependent seputar kondisi ekonomi. "Kalau inflasi sampai sekarang oke, pertumbuhan ekonomi juga oke, nilai tukarnya nanti stabil, ya pasti nanti dewan gubernur akan mengambil kebijakan yang paling baik untuk suku bunga," katanya. Dia menambahkan bahwa tinggi atau tidaknya kondisi suku bunga saat ini terbilang relatif. Sebab, suku bunga yang tinggi dimaksudkan untuk menstabilkan capaian inflasi. Sebab, ketika BI menerapkan kebijakan uang ketat (Tight Money Policy) dengan menaikkan suku bunga, hal itu diharapkan dapat menyerap uang yang beredar di masyarakat karena bunga deposito yang menarik. Karena jumlah uang yang beredar di masyarakat berkurang, demand atas consumer goods menjadi turun, otomatis harga menjadi turun. Dengan menaikkan BI rate, diharapkan aliran modal asing untuk berinvestasi di Indonesia menjadi lebih meningkat. Karenanya permintaan terhadap rupiah menjadi meningkat dan otomatis nilai rupiah juga terapresiasi, karena nilai tukar mata uang juga ditentukan oleh supply and demand. Berkali-kali Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo juga mengisyaratkan pelonggaran kebijakan makroprudensial jika indikator-indikator makroekonomi sudah dirasa stabil. "Seperti kata pak Gubernur (BI) yang mengisyaratkan akan ada pelonggaran kebijakan. Tetapi kan pelonggaran kebijakan banyak macamnya, suku bunga turun adalah salah satu opsi, tapi masih ada kebijakan lainnya seperti GWM (Giro Wajib Minimum), dan lainnya," tambahnya. Suku bunga Bank Indonesia diimplementasikan melalui pengelolaan likuiditas di pasar uang, hal itu yang akan berpengaruh untuk mencapai sasaran kebijakan moneter. BI rate inilah yang menjadi acuan langsung suku bunga SBI, suku bunga Pasar Uang Antar Bank dan juga mempengaruhi suku bunga perbankan oleh semua bank-bank di Indonesia. Semua produk perbankan yang memiliki unsur bunga akan terpengaruh dengan kebijakan tersebut, baik itu suku bunga deposito maupun suku bunga kredit. Suku bunga kredit, dari mulai bunga kredit investasi, kredit konsumsi maupun KPR, hingga semua varian-varian dibawahnya. Penurunan suku bunga yang dilakukan oleh BI baru-baru ini juga akhirnya ditransmisikan oleh perbankan dengan menurunkan suku bunganya. Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang juga ketua Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) Asmawi Syam mengungkapkan bahwa pihaknya telah menurunkan suku bunga kreditnya. Suku bunga kredit di BRI  turun sejak awal Februari. Hal itu menyusul penurunan suku bunga acuan (BI rate) sebesar 25 basis poin menjadi 7,25 persen dilakukan Bank Indonesia. "Suku bunga kredit telah diturunkan 25 bps pada awal Februari 2016. Kita harapkan masyarakat akan dimudahkan dengan penurunan suku bunga kredit ini," ujar Asmawi. Dia juga mengisyaratkan bakal kembali menurukan suku bunga kredit. Namun, dia belum bisa memastikan waktu penurunannya merujuk pada evaluasi yang secara rutin akan dilakukan oleh perseroan. "Penurunan secara bertahap, kami evaluasi semuanya nanti seperti apa," tambahnya. (owi/dee)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: