Upah Minimum Provinsi Tahun 2019 Naik 8,03 Persen.

Upah Minimum Provinsi Tahun 2019 Naik 8,03 Persen.

JAKARTA- Pemerintah menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) di tahun 2019 mendatang yakni sebesar 8,03 persen. Prosentase kenaikan ini menurun jika dibandingkan tahun 2018 sebesar 8,71 persen, dan tahun 2017 sebesar 8,25 persen. Kenaikan UMP ini dituliskan dalam Surat Edaran (SE) kepada Gubernur di seluruh indonesia tertanggal 15 Oktober 2018. Menteri Tenaga Kerja Hanief Dhakiri mengatakan, kenaikan UMP sebesar 8,03 persen tidak dilakukan tanpa dasar. Dalam hal ini, pihaknya menjadikan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan sebagai dasar rujukan. Di mana aspek inflasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi instrumen pertimbangan. "Jadi ini bukan keputusan dari menteri tenaga kerja," ujarnya usai menghadiri rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan Jakarta, kemarin (16/10). Berdasarkan data yang diterima dari Badan Pusat Statistik (BPS), lanjutnya, inflasi ada di angka 2,88 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,15 persen. "Sehingga kalau dikombinasikan antara angka inflasi dengan pertumbuhan ekonomi itu sebesar 8,03 persen," imbuhnya. Data tersebut, lanjutnya, sudah disampaikan kepada gubernur yang memiliki kewajiban untuk menetapkan upah minimum provinsi per 1 november. Dia berharap gubernur bisa memproses penetapan UMP tahun 2019 masing-masing sesuai ketentuan PP 78/2015. Meski demikian, sejumlah provinsi masih diperbolehkan melakukan penyesuaian KHL (Kualitas Hidup Layak). "Tetapi basic dari peningkatan UMP tahun 2018 ini yang akan dilaksanakan tahun 2019 adalah 8,03 persen," tuturnya. Terkait potensi adanya pro kontra dari pengusaha atau serikat pekerja, politisi PKB itu berharap kedua kelompok sudah bisa sudah memahami konten dari PP 78/2015. Sebab, salah satu fungsi PP tersebut adalah memudahkan kedua kelompok dalam memperkirakan kenaikan upah. Pengusaha misalnya, mudah memprediksi kenaikan upah dengan melihat tren pertumbuhan dan inflasi. Sementara pekerja selalu mendapatkan kepastian kenaikan upah setiap tahun. "Gak perlu demo, gak perlu rame-rame, upah naik," tuturnya. Sementara itu, PP 78/15 yang dijadikan dasar dalam perhitungan upah terus menerus mendapatkan penolakan dari kalangan buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai, selama PP 78 masih ada, hak berunding serikat buruh untuk menentukan upah minimum hilang. "PP ini melanggengkan rezim upah murah, harus segera dicabut," jelasnya. Iqbal menekankan, seharusnya UMP ditentukan berdasarkan kriteria hidup layak (KHL). Bukan indikator ekonomi makro nasional (inflasi dan pertumbuhan ekonomi). "Harusnya penentuan UMP dilakukan berdasarkan rekomendasi kepala daerah dan dewan pengupahan," jelasnya. Selain itu, kata Iqbal, kenaikan UMP dengan prosentase ini tidak sebanding dengan laju kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Hal ini akan turut menurunkan daya beli masyarakat. Senada, pelaku usaha mengaku terkejut karena penetapan kenaikan upah dilakukan saat pembahasan tripartit di daerah belum selesai. "Pembahasan di daerah seakan-akan tidak dipertimbangkan. Kita terkejut kenapa sudah dikeluarkan vonis UMP saat pembahasan tripartit di daerah belum selesai," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardan kemarin. Meski demikian, Danang mengaku pihaknya tak ada keberatan karena keputusan kenaikan tersebut didasari perintah PP 78. Danang menambahkan bahwa ke depannya pelaku usaha berharap perlu ada perbaikan di masa depan untuk mendorong minat investasi yang merata di seluruh daerah. Sehingga, komposisi kenaikan UMP nantinya sebaiknya tidak agregat nasional, tapi prosentasenya dihitung dari regional. "Artinya kita berharap dimasa depan tidak semua daerah itu prosentase kenaikannya sama," tambahnya. Pengusaha mengaku khawatir jika dalam perhitungan UMP, pemerintah menggunakan indikator ekonomi makro secara nasional. Menurut Danang, indikator perekonomian di setiap daerah tidak bisa dipukul rata karena kondisi ekonominya berbeda-beda. "Tidak semua industri memiliki forecast SDM yang sama rata. Provinsi-provinsi yang industrinya belum kompetitif, mestinya ada kearifan bahwa di sana belum cakap secara industri sehingga UMP-nya disesuaikan berdasarkan perhitungan regional," pungkasnya. (far/tau/agf)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: