Butuh Rp 5,07 T untuk Saksi TPS

Butuh Rp 5,07 T untuk Saksi TPS

Komisi II Ajukan Pendanaan dari APBN JAKARTA – Setelah gagal melalui jalur UU Pemilu, Komisi II DPR mengajukan dana saksi pemilu lewat jalur UU APBN. Alasannya, dana yang dibutuhkan untuk membiayai semua saksi itu teramat besar jika harus ditanggung partai politik. Yang dikhawatirkan, partai-partai kecil tidak memiliki saksi di TPS. Berdasar daftar pemilih tetap (DPT) yang ditetapkan pada 5 September lalu, jumlah TPS di dalam negeri mencapai 805.075 unit. Berdasar simulasi yang dibuat Jawa Pos, 16 partai nasional membutuhkan sekitar 25 juta saksi TPS. Asumsinya, satu TPS diisi dua saksi yang bekerja dengan sistem sif. Itu hampir 14 persen dari total jumlah pemilih di DPT. Bila bayaran saksi adalah Rp 200 ribu per orang, dibutuhkan anggaran Rp 5,07 triliun untuk membiayai mereka semua. Namun, ketika dikonfirmasi, Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali buru-buru berkilah. ’’Saya kira tidak besar dibandingkan proses demokrasi yang akan kita korbankan di situ (bila tidak dibiayai negara),’’ ujarnya di sela rapat dengar pendapat bersama KPU, Bawaslu, dan Kemendagri di DPR kemarin (16/10). Ada sejumlah alasan yang disampaikan Amali terkait pentingnya saksi dibiayai negara. Menurut dia, kemampuan partai dalam menyediakan saksi berbeda-beda. Dengan kondisi tersebut, akan ada kejadian di sejumlah TPS tidak terdapat saksi parpol. Dari simulasi Jawa Pos, PKB yang jumlah dapilnya lengkap 80 memerlukan 1.610.150 saksi. Biayanya mencapai Rp 322,03 miliar. Bila saksi tidak lengkap, lanjut Amali, tidak ada yang bisa menjamin suara parpol di TPS. Dia menyebut pengawas TPS yang dimiliki Bawaslu tidak akan bisa mengawasi seperti yang dilakukan saksi parpol. ’’Tidak bisa dia menjadi representasi berbagai partai politik,’’ jelas politikus Partai Golkar itu. Sebab, parpol harus mengamankan suara masing-masing dan melihat bila ada kecurangan. Jika dana itu disetujui, Amali mengusulkan pengelolanya adalah Bawaslu, bukan parpol. ’’Karena toh mereka ada saksi TPS dari Bawaslu yang sudah dianggarkan resmi,’’ ujarnya. Bila dikelola parpol, pertanggungjawabannya akan rumit. Usulan itu, tutur Amali, sudah masuk ke Badan Anggaran DPR dan akan dibahas bersama pemerintah. Karena itu, menurut dia, kuncinya ada di pemerintah. ’’Kalau pemerintah bilang tidak ada anggaran, ya sudah,’’ ucapnya seraya mengangkat bahu. Sebelumnya, usulan dana saksi itu bergulir saat pembahasan UU Pemilu tahun lalu. Namun, usulan tersebut kandas lantaran Fraksi PDIP, Golkar, dan Nasdem menolak. Kala itu, pansus RUU pemilu justru sepakat memperkuat saksi TPS yang berasal dari Bawaslu. Namun, Amali memastikan, kali ini semua fraksi sudah sepakat untuk mengajukan dana saksi. Dalam konsep yang diajukan, saksi yang dibiayai negara hanyalah saksi parpol. Saksi paslon presiden-wakil presiden maupun DPD dibiayai sendiri oleh setiap kandidat. Saksi yang dibiayai negara juga hanya saksi di TPS. Tidak termasuk saksi di PPK, KPU kabupaten/kota, dan level di atasnya. Komisi II, lanjut Amali, juga tidak menyebut nominal tertentu dalam proposal dana saksi. Hanya, pihaknya menyatakan bahwa pemerintah perlu membiayai saksi parpol di TPS. ”Kalau tidak, pasti tidak semua partai bisa mengirim saksinya,’’ tambahnya. Dengan demikian, dasar hukum dana saksi itu nanti bukan lagi UU Pemilu, melainkan UU APBN. Sementara itu, Ketua Bawaslu Abhan hanya tersenyum dan berlanjut dengan tertawa saat ditanya tentang kesiapan mengelola dana saksi parpol. Sebab, saat pembahasan pertama lewat UU Pemilu, pihaknya sudah menyatakan bakal kesulitan untuk mengelola dananya. ’’Nanti kami diskusikan lagi,’’ ucapnya singkat. Yang jelas, saat ini UU Pemilu hanya mengamanatkan Bawaslu untuk memberikan pelatihan kepada saksi-saksi parpol. Tidak sampai pada membiayai kehadiran saksi parpol di TPS. ’’Kita lihat nanti apakah Menkeu menyetujui atau tidak,’’ lanjutnya, lantas kembali tertawa. (byu/c7/fat)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: