Pukul Menyapu, Tradisi Lebaran Ekstrem di Maluku yang Sarat Makna
Tradisi Lebaran Ekstrem di Maluku -Travelingyuk-
Mereka menggunakan alat pukul yang terbuat dari sapu lidi panjang 1,5 meter yang kuat namun lentur, biasanya dibuat dari pohon enau. Sebelum ritual dimulai, para peserta akan menjalani serangkaian ritual dan diberkati oleh tetua adat.
Tanda awal atraksi ditandai dengan peniupan suling dan penyalakan obor Kapitan Telukabessy. Peserta akan berdiri berhadapan dengan lawan di tengah lapangan sambil memegang sapu lidi, yang akan segera diganti jika rusak atau patah.
Setiap kelompok kemudian bergantian memukul lawan dari dada hingga perut. Yang menarik dari tradisi ini adalah bahwa peserta tidak menghindari pukulan lawan; sebaliknya, mereka angkat tangan setinggi mungkin saat giliran dipukul dan pasrah untuk menerima pukulan dengan sapu lidi.
BACA JUGA:Intip 5 Tradisi Unik Pranikah yang Ada di Indonesia!
BACA JUGA:Tradisi Unik Saat Menyambut Ramadan yang Ada di Indonesia
Di sisi lain, peserta yang melakukan pemukulan melakukannya dengan penuh antusiasme, menggunakan seluruh kekuatan mereka untuk menghantam lawannya dengan sapu lidi, sampai-sampai tubuh mereka memar dan berdarah. Akibatnya, perut dan dada setiap peserta akan penuh dengan luka dan darah.
Namun yang menarik, tidak ada satu pun dari mereka yang merasa marah atau dendam karena mereka menganggap luka tersebut sebagai simbol perjuangan dalam melawan penjajah.
Meskipun para pemuda tersebut mengalami luka, tidak ada rasa kemarahan atau dendam di antara mereka. Luka dan darah tersebut dianggap sebagai simbol dari perjuangan melawan penjajah.
Tradisi lebaran ekstrem di Maluku ini semakin meriah dengan pengiringan musik dari rebana, suling, dan tentu saja, sorakan dari penonton. Acara ini juga dimeriahkan dengan atraksi bambu gila, tarian cakalele, dan tarian adat Morella.
BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Dawet Ayu Banjarnegara, Tradisi dan Kelezatan yang Tak Tergantikan
BACA JUGA:Mengenal Tradisi Nyadran, Cara Unik Masyarakat Banyumas Sambut Ramadhan
Tradisi yang dapat dianggap ekstrem ini terus berlanjut dari generasi ke generasi, mengingatkan masyarakat tentang peristiwa penting selama masa penjajahan Portugis dan VOC di Maluku. Tradisi ini berawal dari perjuangan Kapitan Telukabessy dan pasukannya dalam Perang Kapapaha melawan VOC Belanda dari tahun 1636 hingga 1646.
Benteng Kapapaha, yang merupakan benteng alam dari bukit batu terjal di hutan Morella, akhirnya jatuh ke tangan Belanda setelah pasukan Telukabessy kalah. Sebagai tanda kekalahan, mereka saling mencambuk menggunakan sapu lidi hingga berdarah.
Setelah itu, mereka berpelukan dan berjanji untuk selalu mengenang momen perjuangan tersebut setiap tahun pada tanggal 7 Syawal.
Tradisi lebaran ekstrem di Maluku ini selalu berhasil menarik perhatian masyarakat dan wisatawan. Diselenggarakan setiap tahun, tidak hanya sebagai sarana hiburan tapi juga edukasi, memperkenalkan petuah dan rekonstruksi perjuangan melawan penjajah. Bahkan, pukul manyapu telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia.(amp)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: