Terdeteksi sebelum Ledakan

Terdeteksi sebelum Ledakan

[caption id="attachment_96757" align="aligncenter" width="100%"] Kapolri Jenderal Pol. Badrodin Haiti menunjukkan barang bukti pistol yang digunakan pada teror Thamrin di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (22/1/2016). Sebanyak 9 pucuk senjata jenis pistol pabrikan yang diperoleh dari 6 tersangka bom Thamrin diamankan pihak Polri yang merupakan hasil dari beberapa pengembangan. FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS[/caption] Terbentur Aturan, Polisi Tidak Menangkap JAKARTA – Polri ternyata jauh-jauh hari sudah mengetahui dan mendeteksi kelompok teroris yang beraksi di depan Plaza Sarinah, 14 Januari lalu. Namun, karena aturan yang tidak representatif untuk pencegahan aksi terorosme, membuat korps Bhayangkara tersebut harus menahan diri. Pelaku pun tidak ditangkap dan leluasa beraksi. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengakui, sebelum terjadinya ledakan bom, polisi sudah memantau pergerakan kelompok teroris yang didanai ISIS tersebut. Kelompok tersebut terhubung dengan Bahrun Naim. Namun, saat itu jejaring Bahrun Naim tidak melakukan tindakan pidana apapun. ‘’Mereka (sudah) diketahui, tapi saat itu kami tidak mendeteksi adanya pidana yang dilakukan,’’ jelas Badrodin, kemarin (22/1).  Alhasil, polisi saat itu tidak menangkap satupun anggota kelompok tersebut. Sebab itu, lanjut Badrodin, pencegahan yang seharusnya menjadi jurus ampuh justru melempem. Kata dia,Polri tidak bisa menangkap seseorang yang tidak melakukan pidana apapun meski ada informasi intelijen yang menyebut mereka akan melakukan pidana. ”Kelompok diketahui, tapi dimana dan kapan aksi teror, siapa yang bisa menebak,” tegasnya. Bukti paling kuat bahwa polisi sudah tahu kelompok Bahrun Naim sebagai pelaku adalah kecepatan dalam mengungkap aksi teror Sarinah. Kata Badrodin, polisi hanya butuh 11 menit untuk melumpuhkan pelaku, serangkaian penangkapan juga hanya butuh 1-5 hari. ”Yang terakhir, Polri butuh seminggu untuk menetapkan tersangka dan menguak bagaimana peran 18 orang tersangka yang terlibat aksi teror langsung dan tidak langsung,” tuturnya. Dia menegaskan, dengan begitu pemerintah dan masyarakat bisa mengetahui seberapa pentingnya revisi UU Antiterorisme tersebut. Sehingga, diharapkan kepolisian dapat didukung untuk bisa memperbaiki kinerja. ”Kami bisa cegah bila ada dukungan, baik peraturan, sarana dan prasara, serta pendanaan,” tuturnya. Sementara Polri sudah blak-blakan terkait siapa saja yang terlibat dalam aksi teror Plaza Sarinah dan aksi-aksi lainnya yang dirancang ISIS. Setidaknya ada 18 tersangka yang dipastikan berasal dari dua kelompok atau tim teror yang berbeda. Tim pertama ada enam orang yang dipastikan terlibat langsung dengan aksi teror Sarinah, yakni DS alias YY alias IA, AA alias AI alias AM, C alias D Alias AS, J alias JJ, AM alias LL alias AL dan A alias AZ alias AB.”Enam orang ini berperan membeli tabung gas untuk bom, membeli senjata api dan mengetahui proses perakitan bom,” terang Badrodin Haiti. Lalu, ada tim kedua yang terdiri dari tujuh orang, yakni AF alias H Alias AJ, SF alias C alias MM, S alias ATM alias A, B alias AM alias BB, WFB alias U alias AU dan terakhir MFS alias F. Tim Kedua ini tidak melakukan aksi teror di Plaza Sarinah, namun berencana melakukan aksi teror di tempat yang lainnya. ”Saat ditangkap itu, mereka sedang menghimpun kekuatan untuk bisa melakukan aksi teror. Salah satunya dengan berupaya mendapatkan senjata, makanya ada Sembilan senjata yang mereka miliki. Saat itu ditangkap mereka belum memiliki amunisi,’ ungkapnya. Kelompok kedua ini tidak hanya menyiapkan aksi teror, namun juga berencana untuk memperkuat posisi Kelompok Teroso Santoso cs. Mereka berkomunikasi dan ingin bergabung dengan kelompok yang telah bertahun-tahun di kejar di Poso tersebut. ”Kami masih menelusuri dukungan seperti apa yang akan diberikan pada Santoso cs,” tegasnya. Terakhir, ada lima napi kasus teror yang ternyata juga terhubung dengan tim teror kedua. Lima napi ini juga telah menjadi tersangka karena membantu mengadakan senjata yang dilakukan tim teror kedua. ”Mereka masih diperiksa dan ada sebagian yang dikembalikan ke penjara. Tapi, persidangan akan dilakukan untuk pidana yang satu ini,” paparnya. Apakah masih ada tim teror lain yang berkeliaran? Badrodin mengakui masih ada kelompok teror lainnya yang dikejar. Namun, semua belum bisa diungkapkan. ”ada orang yang terhubung kelompok satu dan dua masih bebas, tapi ada juga kelompok diluar keduanya yang juga masih bebas,” tuturnya. Sementara Wakapolri Komjen Budi Gunawan menjelaskan, ada dua pilihan dalam revisi UU antiterorisme, yakni perluasan lingkup pidana dan perluasan lingkup pencegahan, serta deradikalisasi. ”Yang pasti, siapa yang berbuat apa dan yang bertanggungjawab menjadi jelas. Lembaga yang mencegah dan menindak menjadi lebih jelas,” paparnya. Salah satunya, revisi paling penting adalah soal pencucian otak dan juga ajakan-ajakan untuk bergabung dengan ISIS yang beredar di media sosial. Ajakan untuk bergabung dengan ISIS itu diharapkan bisa dipidana dengan revisi UU tersebut. ”Untuk pencegahan tentu ada perluasan waktu penahanan,’ tuturnya. Dia juga berjanji bahwa revisi UU antiterorisme ini telah mempertimbangkan sisi hak asasi manusia. Revisi ini akan dirancang dengan mencegah kemungkinan pelanggaran HAM terjadi. ”Kami sudah memikirkannya, bagaimana penindakan dilakukan, tanpa HAM yang dilanggar,” tuturnya. Rencana pemerintah merevisi UU Antiterorisme tinggal selangkah lagi. Jika tidak ada aral melintang, draf perubahan itu akan diserahkan pemerintah ke DPR Selasa pekan depan (26/1). Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pembahasan draf revisi saat ini sudah mencapai 80 persen. "Tinggal finalisasi dalam dua hari ini. Sudah itu nanti kami Selasa akan finalisasi, sudah itu kita selesai, kita ke parlemen," kata Luhut usai melakukan koordinasi dengan kementerian lembaga dibawahnya di Kantor Kemenkopolhukam kemarin (22/1). Tapi, apakah nantinya berbentuk Perppu atau revisi UU, Luhut mengaku belum menentukannya. Menurutnya, hal itu sebatas cara saja. Yang terpenting, draf tersebut sudah bisa segera diselesaikan. "Jadi kalau kita feeling enak dengan revisi kita revisi," imbuhnya. Namun dia tidak menampik, jika yang paling cepat prosesnya, itulah yang akan dipilih. Sebab menurutnya, masalah teroris menjadi persoalan yang harus segera diselesaikan dengan cepat. Terkait poin perubahannya, mantan Kepala Staf Kepresidenan itu menolak untuk menyebutkan secara rinci. Luhut hanya mengatakan ada sepuluh bab yang sedang disiapkan. Salah satunya soal kewenangan kepolisian, khususnya Densus 88 Antiteror, yang akan lebih besar dalam mencegah dan memberantas aksi yang menjurus ke terorisme. Sementara soal kekhawatiran LSM-LSM soal adanya kemungkinan pelanggaran HAM dalam revisi tersebut, Luhut tidak mau ambil pusing. Menurutnya, yang harus dilakukan negara adalah memberi dan menjamin rasa aman bagi warganya. "Prancis aja (mengatakan) yang penting kami aman," imbuhnya. Dia juga menambahkan, jika aturan yang ada direvisi tersebut tidak akan seketat negara-negara tetangga. "Kita nggak akan sekeras di Malaysia atau di Singapora. Belum ke situ," terangnya. Berbeda dengan UU Antiterorisme, Luhut mengatakan UU Intelejen tidak akan dirubah. Menurutnya, BIN berfungsi sebagai alat Intelejen Negara, bukan untuk menangkap. Dalam revisi UU Antiterorisme, info Intelejen bisa dijadikan bukti permulaan untuk menangkap. Selain itu, program deradikalisasi juga akan lebih disempurnakan. Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menambahkan, poin penahanan, penangkapan dan pencabutan paspor WNI yang melakukan kegiatan terorisme di luar negeri dipastikan masuk dalam revisi. Lebih lanjut lagi, Yasona mengatakan pihaknya juga sudah mendapat permohonan pencekalan dari BIN, BNPT, Densus 88 terhadap nama-nama yang terduga terkait terorisme di luar negeri. "Ya nggak usah spesifiklah. Pokoknya ada, lumayan," kata Yasona sebelum memasuki mobil. (far/agm/idr) Judul Sambungan: Kewenangan Densus Bakal Diperbesar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: