Banner v.2

DPR Paksakan Revisi KPK

DPR Paksakan Revisi KPK

grafis KPK Menolak Diskusi Tanpa Komisioner JAKARTA – Penolakan badan legislasi (baleg) DPR membahas revisi UU KPK karena tak adanya komisioner yang hadir dinilai banyak pihak sekedar alasan. Sikap itu dinilai hanya bentuk alasan untuk memaksakan revisi UU KPK. Pernyataan itu disampaikan penelitis pusat studi hukum dan kebijakan (PSHK) Indonesia Miko Susanto Ginting di Jakarta, kemarin (5/2). Miko mengatakan absennya pimpinan KPK tak bisa dianggap sebagai ketidakseriusan membahas UU KPK bersama DPR. ’’KPK sudah terlihat serius dengan mengirim tim berisi orang-orang yang sesuai bidangnya. Mereka itu juga mewakili institusinya,’’ ujar Miko. Jika DPR serius ingin membahas revisi bersama KPK, harusnya dikomunikasikan dengan baik. Misalnya dengan menunda pembahasan dengan menyesuaikan jadwal para pimpinan KPK. Bukan dengan sepihak membatalkan dan tidak membuka lagi ruang diskusi dengan KPK. Miko menjelaskan, posisi KPK sangat penting untuk diajak membahas revisi UU. Sebab KPK menjadi pihak yang akan diatur oleh UU tersebut. ’’Bukan hanya DPR, Pemerintah sejak awal harusnya melibatkan KPK,’’ terangnya. Sementara itu, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengelak disebut para komisioner sengaja menghindari diskusi dengan DPR. Menurut dia, semua pimpinan memang ada jadwal yang sudah direncanakan jauh hari dan tidak mungkin dibatalkan. ’’Sama saja, tim yang datang kemarin itu juga punya kompetensi dan mewakili sikap resmi KPK. Yakni menolak revisi,’’ tegas Saut. Menurut dia, intinya KPK ingin bekerja dengan menitik beratkan pada proses pengikisan perilaku korupsi. Nah hal itu yang tidak tercermin dalam sebagian besar draf revisi UU KPK. Keinginan untuk melemahkan KPK dinilai datang bukan hanya dari DPR saja. Menurut Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas, pemerintah turut ambil andil. Sebab, hingga saat ini pemerintah justru memilih diam dan menunggu hasil revisi dari DPR. Padahal, sebelumya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah mengeluarkan statement akan menarik revisi UU KPK. ”DPR jelas.Tapi pemerintah kalau gayanya gaya meyar-meyur lemes kayak gini ya mengundang untuk dinilai diam-diam setuju,” tutur Busyro saat ditemui di Kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, kemarin (5/2). Penilaian ini tentu bukan tanpa alasan. Mengingat, pemerintah merupakan representasi dari partai politik, yang notabenenya ingin maju kembali di pemilhan umum presiden (pilpres) 2019. Menurutnya, untuk berburu kekuasaan di 2019 tentu membutuhkan dana. ”Bagi yang ingin berburu dengan menggunakan atm-isasi sektor perekonomian dan keuangan negara, maka KPK ancaman berat bagi mereka,” paparnya. Padahal, lanjut dia, hal ini tidak seharusnya terjadi. Sebab pemerintah dan KPK adalah mitra yang harus menjaga. ”Tapi menjaganya harus yang jujur, kalo katakan tarik ya tarik. Gak seperti sekarang, presiden pun tidak tegas,” ujar pria kelahiran Jogjakarta, 63 tahun lalu itu. Oleh karenanya, dia pun mempertanyakan kekonsitensian janji presiden. Bila memang berniat untuk menghentikan revisi UU KPK, seharusnya dilakukan sekarang. ”Pemerintah menyatakan ketegasan lebih cepat kan lebih bagus. Pemerintah mengambil sikap moral politik untuk tidak mengagendakan revisi UU KPK, gitu,” tegasnya. Busyro sendiri sejak awal telah menyatakan bila draf revisi KPK secara totalitas melemahkan KPK. Menurutnya, bila satu dari empat poin diloloskan, maka impactnya akan panjang baik bagi KPK dan penanganan kasus. ”Poin satu dan yang lain sama-sama melemahkan. Jadi sempurna,” tutur alumni Universitas Gajah Mada itu. Sebagaimana diketahui, publik saat ini beraksi atas syahwat DPR yang kembali mengebu ingin mengubah UU KPK. Parahnya, keinginan merevisi itu dilakkan dengan memasukan ’’racun-racun’’ yang bisa membunuh superbodi lembaga pemberatansan korupsi Sebut saja perubahan pada Pasal 11 tentang kerugian negara. KPK diatur hanya bisa menyidik kasus korupsi di atas Rp 25 miliar. Kalau di bawah itu, maka kasus wajib dilimpahkan ke penegak hukum lain. Ada juga pasal pasal 12 A ayat 1 poin b mengenai pengaturan penyadapan yang harus seizin dewan pengawas. Padahal dewan pengawas ini juga dianggap sebagai portal untuk KPK. Selama ini struktur ini tidak ada di KPK. Lembaga antirasuah itu hanya dikontrol oleh Penasihat. Berbagai pihak khawatir Dewan Pengawas yang tidak jelas figurnya hanya sebagai alat meredam keganasan KPK memberantas koruptor. (gun/mia)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: