JEJAK LELUHUR DAN DOA SAMUDRA: Tradisi Paruk Barit Kidul Kubeng Pitu 2025 di Pantai Jetis, Cilacap
Jejak leluhur, doa samudra, dan syukur yang tak pernah pudar. Di Pantai Jetis, Cilacap, masyarakat pesisir kembali menapaki tradisi sakral Paruk Barit Kidul Kubeng Pitu perpaduan antara ritual laut dan hasil bumi, simbol harmoni antara petani dan nelayan.--
Masyarakat pesisir Pantai Jetis, Kecamatan Nusawungu, Kabupaten Cilacap, kembali menggelar tradisi adat tahunan yang meriah sekaligus sarat makna, yakni Festival Paruk Barit Kidul Kubeng Pitu. Acara ini merupakan perpaduan antara ritual larung sesaji (sedekah laut) dan ungkapan syukur atas hasil bumi dan laut, serta menjadi ajang untuk mengenang warisan leluhur.
Keunikan dan kekhidmatan ritual ini sukses menarik perhatian warga lokal maupun wisatawan, menjadikan Pantai Jetis Eksotis bukan hanya sekadar destinasi alam, tetapi juga pusat pelestarian budaya. Festival Paruk Barit Kidul Kubeng Pitu adalah upacara adat turun-temurun yang secara harfiah berarti 'mengelilingi tujuh'. Inti dari tradisi ini adalah ritual syukuran tahunan yang menggabungkan dua elemen utama masyarakat setempat yakni nelayan dan petani.
Acara ini ditandai dengan arak-arakan sesaji dan pusaka leluhur yang puncaknya adalah prosesi ritual Kubeng Pitu sebelum sesaji dilarung ke Laut Selatan. Sesaji yang disiapkan melambangkan kemakmuran dan keseimbangan. Rombongan arak-arakan membawa jolen, sebuah tandu berhias janur kuning, yang memuat simbol-simbol penting, seperti sebilah keris pusaka dan kendi tanah liat berisi air dari tujuh sumber.
Simbol-simbol ini dipercaya melambangkan kekuatan, keseimbangan, dan kesucian yang menjadi penopang kehidupan di wilayah tersebut.Tradisi ini dilaksanakan oleh segenap masyarakat pesisir Pantai Jetis dan sekitarnya, meliputi para nelayan, petani, sesepuh adat, dan tokoh budaya setempat. Namun, sosok sentral yang dihormati dalam ritual ini adalah Panembahan Suryanegara.
Menurut kisah yang diyakini secara kolektif oleh warga pesisir, Panembahan Suryanegara adalah seorang bangsawan dari masa Kerajaan Mataram yang memilih jalan spiritual untuk membuka pemukiman di wilayah selatan, yang pada awalnya hanya berupa hutan bakau dan pasir panjang. Beliau dihormati sebagai pelindung spiritual dan tokoh leluhur yang berjasa dalam mengembangkan Jetis dan sekitarnya menjadi desa yang subur dan harmonis antara kehidupan petani dan nelayan. Para sesepuh desa, lengkap dengan pakaian adat lurik hitam, ikat kepala, dan kain jarit batik, memimpin arak-arakan sebagai penghormatan tertinggi kepada beliau.
Pusat pelaksanaan Festival Paruk Barit Kidul Kubeng Pitu ini adalah di Pantai Jetis Eksotis, yang secara spesifik berlokasi di Kawasan Pantai Bungso, Kecamatan Nusawungu, Cilacap rangkaian acara diawali dengan suasana hikmat di Pendopo Panembahan Suryanegara di mana ritual pembuka dan doa izin dilakukan. Arak-arakan kemudian bergerak menyusuri jalan berpasir ke arah selatan, menuju Pantai Bungso. Kawasan ini dikenal karena letaknya yang berada di tepi Sungai Bodok, menjadi titik pertemuan yang sempurna antara daratan (simbol petani) dan lautan (simbol nelayan).
Tradisi ini dilakukan setiap Mangsa Kapat, Kamis Wage 9 Oktober 2025, tradisi tahunan ini rutin digelar berdasarkan kalender tradisional Jawa. Acara ini diselenggarakan setiap tahun pada perhitungan mangsa Kapat dalam kalender Pranatamangsa. Pada tahun 2025, perayaan berlangsung pada hari Kamis Wage, 9 Oktober 2025. Sejak pukul 12:30 WIB, kawasan Bungso sudah mulai ramai, dihiasi bendera warna-warni, janur kuning, dan irama gamelan yang menyambut dimulainya pesta budaya. Prosesi yang penuh sukacita dan kidung doa terus berlangsung hingga senja perlahan tiba, menutup rangkaian acara.
Tujuan utama dari Festival Barit Kidul Kubeng Pitu adalah sebagai ungkapan syukur dan ritual memohon keselamatan atau pitulungan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Seperti yang diungkapkan oleh sesepuh setempat, acara ini adalah naluri adat nelayan yang dilaksanakan setiap tahun pada mangsa Kapat, Ritual ini secara mendalam merefleksikan kearifan lokal masyarakat Nusawungu, yang menyakini bahwa hubungan antara manusia dengan alam adalah bentuk ibadah.
Prosesi ini tidak hanya melibatkan nelayan pinggiran yang menangkap ikan menggunakan jaring dan tambang ulur, tetapi juga petani yang membawa hasil bumi, menyimbolkan bahwa menjaga laut dan sawah adalah sama artinya dengan menjaga kelangsungan kehidupan. Rangkaian festival dilaksanakan dengan tertib dan sakral. Setelah pusaka leluhur diterima dari makam dan didoakan, arak-arakan yang dipimpin oleh mobil SAR sebagai pembuka jalan menuju ke Pantai Bungso. Sepanjang perjalanan, bau dupa dan bunga melati mengiringi langkah para warga yang berjalan penuh hikmat. Setibanya di Pantai Bungso, ritual dilanjutkan dengan Upacara Penyatuan Barit Ngalor Ngidul, di mana perwakilan petani dari utara bertemu dengan perwakilan nelayan dari selatan.
Puncak ritual adalah Kubeng Pitu, yaitu aksi berjalan mengelilingi sesaji sebanyak tujuh putaran, melambangkan permohonan pitulungan (pertolongan) kepada Sang Pencipta. Pada saat mengelilingi sesaji, lantunan syair kidung tulak bala menggema, menjadi pengingat kuat akan pentingnya menjaga diri dari mara bahaya. Festival ini ditutup dengan larung sesaji ke laut dan doa penutup, menegaskan pesan bahwa semangat kebersamaan dan gotong royong yang ditanamkan Panembahan Suryanegara akan terus diwariskan dari generasi ke generasi. (Ima Rodliyyatul Asnawiyah)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


