Catatan: Jarot C. Setyoko
JIKA saya selalu mengimajinasikan, hubungan kami -- para ‘anak nakal’ Unsoed era ’98 -- dengan Prof Rubiyanto Misman seperti hubungan Pandawa dan Maharsi Bhisma, ini sama sekali tak berkait dengan relasi protagonis-antagonis dalam epik itu.
Sama sekali ini bukan soal siapa ‘bala tengen’ (posisi Pandawa) dan siapa yang ‘bala kiwe’ (posisi Kurawa) di atas pakeliran. Tetapi ini soal makna dalam hubungan itu yang sangat khas dan unik.
https://radarbanyumas.co.id/obituari-prof-rubijanto-misman-bapak-anak-anak-dari-semua-penjuru-tanah-air/
Pada satu sisi, Prof Ruby (begitu kami biasa memanggilnya) sebagai rektor di universitas negeri seringkali kami posisikan sebagai bagian kekuasaan otoritarian yang sedang kami goncang dengan keras. Pada sisi lain, kami (dan Prof Ruby tentunya) tetap menjaga kesadaran secara penuh, bahwa ia adalah guru, dan kami adalah para muridnya. Relasi yang demikian inilah yang saya sebut khas dan unik dalam latar ‘mangsan pancaroba’ politik, yang senyatanya tak mudah dilewati bangsa ini.
Hingga ketika angin pancaroba itu mereda, dan lindap jaman ‘menakdirkan’ kami bercerai-berai dalam ruang kehidupan yang beragam, toh kami tetap memiliki satu pemaknaan padanya: Prof Ruby adalah seorang mahaguru yang mengiring kami melewati serentang musim tak mudah.
Bahkan hubungan yang demikian unik ini tampaknya juga sangat membekas tandas dalam ingatan Prof Ruby. Setidaknya saya bisa niteni setiap bertemu dengannya, Prof Ruby selalu menanyakan Barid (Dr. Barid Hardiyanto, pegiat pemberdayaan sosial) dan Ory (Ory Wulandari, pengusaha batik yang ‘nyambi’ jadi pengacara).
“Barid mana Barid? Kalau Ori sekarang di mana?” Itu adalah kalimat yang sangat saya hapal setiap bertemu Prof Ruby. Tak melebih-lebihkan jika saya katakan, Barid dan Ori adalah ikon gerakan mahasiswa angkatan di bawah saya. Barid mungkin karena kemudaannya. Ia masih tergolong aktivis culun ketika eskalasi gerakan ’98 tengah mendaki klimak sejarah. Sedang Ori adalah representasi perempuan, yang senyatanya minoritas secara gender dalam komunitas anak pergerakan. Dalam penafsiran saya, Barid dan Ory adalah ‘punjer pengeling-eling’ (biar ngilmiah dalam psikologi populer disebut point of memory) bagi Prof Ruby untuk mengingat dan merindui kami semua.
https://radarbanyumas.co.id/dari-prosesi-pemakaman-mantan-rektor-unsoed-bupati-setujui-jalan-kampus-menjadi-jalan-prof-rubijanto-misman/
“Mana yang Namanya Jarot?”
Hingga 1997 pada saat Prof Ruby dilantik menjadi rektorsaya tak memiliki hubungan yang erat dengannya. Tentu sebagai mahasiswa Unsoed saya mengerti Prof Ruby adalah rektor kami yang baru saja dilantik. Sebaliknya mungkin Prof Ruby juga sudah mendengar nama-nama ‘anak ndugal’ di kampusnya, termasuk nama saya. Tetapi sekali lagi, baru sebatas itu.
Perkenalan yang intens dengan Prof Ruby baru terjadi pada paruh terakhir 1997. Hampir sepanjang tahun itu gerakan mahasiswa dalam skala nasional sedang tiarap berat, akibat situasi represif pasca peristiwa 27 Juli 1996. Saya sendiri menarik diri ke dalam kegiatan-kegiatan kesenian kampus, selain mulai magang di Kantor Biro Harian Jawa Pos.
Ditengah keadaan seperti itulah, perkenalan saya yang lebih intens dengan Prof Ruby dimulai. Saya lupa waktu persisnya, tapi sekira menjelang akhir 1997, saya bertemu Prof Ruby di lantai dasar Gedung Rektorat, dalam acara pameran lukisan karya Almarhum Sulis Setiyoko (‘anak ndugal’ Fakultas Peternakan yang kemudian menjadi kartunis dan desainer grafis media Kompas Grup).
Saat itu kami sedang udut-udutan di bawah lukisan Sulis bergambar kuda berwajah muram dengan judul “Ngupadi”.
Tiba-tiba Prof Ruby datang dan langsung berkata dengan lantang, “Mana yang namanya Jarot?”.
Seketika jantung saya berdegup kencang. Berbagai dugaan muncul di benak saya. Dalam sekilas waktu, saya berpikir mungkin Prof Ruby salah duga sayalah pelukis yang menggelar pameran. Itu karena nama akhir saya dan pelukisnya nyaris sama, Setyoko dan Setiyoko. Perkiraan lain lebih buruk, Prof Ruby mencari saya karena ‘dosa-dosa’ saya terhadap almamater sepanjang saya bergiat sebagai anak pergerakan. Meski kala itu protes jalanan tengah colling down karena kondisi represif pasca tragedi 27 Juli 1996, tetapi kenyataannya nama saya pernah tercantum sebagai ‘buron politik’ setelah peristiwa itu. Perkiraan saya, mungkin itulah yang membuat Prof Ruby penasaran mencari saya.
Hanya saja semua perkiraan saya meleset. Prof Ruby menyebut nama saya tidak terkait soal pameran atau gerakan mahasiswa. Dia justeru berbicara soal lain. Setelah ikut duduk nglesot dia berkata dengan intonasi lebih semanak, bahwa ia telah membaca semua tulisan saya yang berbentuk karya sastra, dan meminta saya untuk terus menulis. Prof Ruby juga menawarkan pembiayaan untuk penerbitan buku saya yang selanjutnya.
Setelah itu barulah saya dong kenapa Prof Ruby mencari saya. Pada 1997 itu antologi cerpen saya yang pertama “Istigfar Ki Sarju” baru saja diterbitkan. Pada tahun itu juga saya mewakili Unsoed dan memenangi lomba cipta puisi dan cerpen dalam Pekan Seni Mahasiswa Jawa Tengah. Tetapi saya tak tahu persis, karya saya yang dilombakan ataukah yang dibukukan yang telah ia baca.
Tentu pada akhir pembicaraan Prof Ruby juga menyentil aktivitas saya dalam ‘gerakan jalanan’.
“Sudahlah jangan demo-demo dulu, pemerintah ini masih terlalu kuat untuk dilawan mahasiswa seperti kalian.” Tak persis betul kalimatnya, tapi kira-kira itulah yang ia katakan.
Pada akhirnya tawaran Prof Ruby untuk membiayai penerbitan buku tidak pernah saya terima. Lebih tepatnya tidak mungkin saya terima, sebab jika itu terjadi, maka seluruh aktivis mahasiswa se-Purwokerto akan beramai-ramai mengutuk saya. Gerakan mahasiswa pada masa itu bukanlah komunitas seriang-ria gerakan pada hari ini.
Ini bukan hanya soal resiko diburu aparat hingga kos-kosan, bahkan sampai kampung halaman, tetapi juga soal batasan berhubungan dengan para pejabat. Jangankan karaokean bersama para komandan, menerima donasi Rp 50 ribu dari rektor sendiri pun akan terkena ‘pengadilan’ di komunitas gerakan.
Toh Prof Ruby tidak kecewa dengan penolakan saya. Bahkan ketika akhir 1997 ketika krisis ekonomi kembali memantik gerakan perlawanan terhadap Orde Baru, dan kawan-kawan saya kembali turun ke jalan, ia hanya berkata, “Sudahlah memang panggilan hati kalian ada di situ, yang penting jangan kemajon, biarkan mahasiswa di kampus-kampus besar memimpin issu. Kalian cukup di belakang mereka.”
Bagi kami itu tak terdengar sebagai larangan, kecuali suara kekawatiran orang tua terhadap jalan penuh resiko yang dipilih anak-anaknya. Bahkan di telinga saya itu adalah restu terselubung. (bersambung)