Banner v.2

Negara di Balik Layar: Ketika Digitalisasi Pelayanan Publik Menguji Keadilan

Negara di Balik Layar: Ketika Digitalisasi Pelayanan Publik Menguji Keadilan

Atik Luthfiyah, Magister Adminstrasi Publik, Universitas Jenderal Soedirman--

Opini — Administrasi Publik Kontemporer

Oleh: Atik Luthfiyah, Mahasiswa Program Magister Administrasi Publik Unsoed dan Anggota DPRD Banyumas

DIGITALISASI administrasi publik kerap dipromosikan sebagai bukti kemajuan negara. Aplikasi layanan daring, dashboard kinerja, dan sistem berbasis data ditampilkan sebagai simbol birokrasi yang modern, efisien, dan transparan. Di banyak forum kebijakan, transformasi digital bahkan diposisikan sebagai solusi hampir semua persoalan pelayanan publik. Namun, di balik narasi kemajuan tersebut, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: apakah negara yang semakin digital otomatis menjadi negara yang semakin adil? Ataukah tanpa disadari, negara justru memindahkan ketimpangan lama ke ruang baru bernama ruang digital?

Dalam perspektif administrasi publik kontemporer, pertanyaan ini bukan semata teknis, melainkan etis. Administrasi publik tidak lagi cukup dipahami sebagai mesin pelayanan yang netral dan prosedural, tetapi sebagai institusi moral yang menentukan siapa yang dilayani, siapa yang harus menunggu, dan siapa yang sama sekali tidak terlihat. 

Di titik inilah konsep Smart Digital Equity Governance menemukan relevansinya—bukan sebagai jargon akademik, melainkan sebagai cara berpikir tentang bagaimana negara seharusnya hadir di tengah warganya.

Digitalisasi birokrasi dapat dianalogikan sebagai pembangunan mercusuar digital. Cahayanya terang dan menjanjikan kemudahan. Namun cahaya yang terlalu menyilaukan juga dapat membuat sebagian orang kehilangan arah. Mereka yang tidak memiliki literasi digital, akses internet memadai, atau keberanian berhadapan dengan sistem elektronik sering kali merasa terasing dari negara yang semakin “online”. Negara, tanpa niat buruk sekalipun, berisiko berubah dari pelayan publik menjadi penjaga gerbang digital yang menentukan siapa yang boleh masuk dan siapa yang tertinggal di luar.

Pengalaman implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) di daerah, termasuk di Kabupaten Banyumas, memperlihatkan dilema tersebut secara nyata. Layanan administrasi kependudukan daring, pajak daerah elektronik, dan kanal pengaduan publik memang mempercepat proses birokrasi. 

Namun efisiensi sistem tidak selalu sejalan dengan keadilan akses. Dalam praktik advokasi sosial, saya berulang kali berhadapan dengan situasi di mana data yang rapi justru menutup realitas penderitaan warga.

Dalam satu kasus, saya mendampingi seorang penyandang disabilitas yang secara kasat mata mengalami keterbatasan fisik, tetapi tidak memperoleh bantuan sosial apa pun. Alasannya terdengar sederhana sekaligus menyakitkan:  Sistem hanya membaca data, bukan kondisi manusia. Negara hadir melalui layar, tetapi absen di hadapan kenyataan. 

Proses pembaruan data memerlukan waktu, sementara kebutuhan hidup tidak dapat ditunda.

Kasus lain memperlihatkan wajah berbeda dari persoalan yang sama. Seorang warga tercatat dalam Kartu Keluarga sebagai karyawan swasta dengan pendidikan sarjana. Faktanya, ia sudah lama tidak bekerja karena sakit berat yang menyebabkan kelumpuhan. Namun sistem tetap mengenalinya sebagai warga “mampu”. Data administratif yang tidak pernah diperbarui menguncinya dalam identitas lama yang tidak lagi mencerminkan kondisi hidupnya hari ini, sekaligus menutup aksesnya terhadap bantuan sosial.

Pengalaman berikutnya bahkan lebih paradoksal. Seorang warga memiliki BPJS PBI yang secara normatif ditujukan bagi kelompok tidak mampu. Namun ketika hendak digunakan, status kepesertaan ternyata nonaktif. Solusi yang ditawarkan sistem adalah datang ke Mal Pelayanan Publik dengan membawa sejumlah berkas administratif. 

Bagi warga sehat dan memiliki biaya transportasi, prosedur ini mungkin terasa wajar. Namun bagi warga sakit atau berpenghasilan minim, prosedur tersebut menjelma menjadi tembok administratif yang sulit ditembus. 

Negara hadir sebagai sistem, tetapi terasa jauh sebagai pelindung. Kasus lain yang tak kalah memilukan adalah seorang anak yatim piatu dari luar provinsi yang ingin melanjutkan sekolah di Banyumas. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: