Banner v.2
Banner v.1

Yogi Sutrisno, Pengrajin Jam Tangan Kayu Larangan: Merawat Waktu dari Sebuah Bengkel Kecil

Yogi Sutrisno, Pengrajin Jam Tangan Kayu Larangan: Merawat Waktu dari Sebuah Bengkel Kecil

Pengrajin jam tangan kayu dari Desa Larangan, Pengadegan, Yogi Sutrisno tengah bekerja di bengkelnya.-Alwi Safrudin/Radarmas-

DI Desa Larangan, Kecamatan Pengadegan, denting waktu tidak lahir dari mesin besar, melainkan dari serpih-serpih kayu yang disentuh tangan dan ketekunan seorang pemuda bernama Yogi Sutrisno. Dari bengkel sederhana di belakang rumahnya, Yogi menekuni kerajinan jam tangan kayu yang kini menembus pasar nasional, bahkan sampai ke Singapura.

ALWI SAFRUDIN, Purbalingga

Padahal, beberapa tahun lalu ia sama sekali belum tahu seperti apa bentuk jam tangan kayu. Ia hanya bergelut dengan usaha jam dinding kayu, hingga seorang rekan di Bandung menyampaikan bahwa ada produsen yang mulai membuat jam tangan dari kayu.

Di situlah ide itu muncul. Tanpa dasar keterampilan, Yogi belajar selama satu setengah tahun, sepenuhnya otodidak, sejak 2017. Ia dibantu seorang teman untuk teknik pertukangan, sementara selebihnya ia gali sendiri dari proses jatuh bangun.

Hari ini, Yogi mampu memproduksi sekitar 20 jam tangan per hari untuk desain standar. Untuk desain rumit, jumlahnya di bawah 10 picis. Setiap satu jam tangan melewati proses detail yang membuatnya terasa seperti karya personal, bukan barang pabrikan.

BACA JUGA:Salma, Gadis Mipiran yang Tak Pernah Bermimpi Jadi Atlet Tembak, Kini Ukir Emas Popnas 2025

Namun jalannya tidak mudah. Di Purbalingga sendiri, jam tangan kayu belum dikenal. Bahkan Yogi sempat diremehkan, disebut-sebut produknya mudah rusak.

"Untuk meyakinkan pembeli, saya beri garansi satu tahun. Kalau rusak bisa diganti, ongkir juga gratis," ujarnya. Keberanian itu justru menjadi pintu masuk kepercayaan pembeli.

Kini penjualan online menjadi tumpuan utama, mencapai 70-80 picis per bulan. Namun penjualan offline tidak kalah tinggi, terutama untuk kebutuhan souvenir perusahaan, dengan penjualan 100-200 picis. Omzetnya stabil di angka Rp 30-35 juta per bulan.

Bahan kayu yang digunakan adalah sonokeling dan maple Kanada. Sonokeling memberi warna gelap dan elegan, sedangkan maple memberikan kesan cerah dengan serat yang halus. Keduanya dipilih karena kekuatannya yang setara dengan jati. Jam tangan bermerek Halba itu dibekali mesin Miyota buatan Jepang, dengan harga jual di kisaran Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu.

BACA JUGA:Singgah Menikmati Es Duren Bancar di Purbalingga, SBY: Ini Mengobati Rasa Rindu Saya

Jika pesanan membludak, Yogi melibatkan warga sekitar, termasuk ibu-ibu yang mengerjakan strap kulit dari rumah. Usaha yang mulanya kecil ini kini ikut menggerakkan ekonomi lingkungan sekitar.

Camat Pengadegan, Widodo, mengapresiasi kreativitas Yogi. "Saya bangga dan senang kepada Mas Yogi yang punya kreativitas dan melek terhadap animo masyarakat terhadap jam tangan kayu. Ini bisa meningkatkan income warga sekitar. Beberapa kali kegiatan juga kami libatkan, seperti pada gelaran UMKM kecamatan," katanya.

Dari Desa Larangan, jam tangan kayu buatan Yogi kini banyak dikirim ke Jawa Barat, Sulawesi, hingga menembus pasar Singapura. Dari sebuah bengkel kecil, Yogi membuktikan bahwa karya dari desa pun bisa merebut perhatian dunia, selama dikerjakan dengan kesabaran, kreativitas, dan keberanian membaca peluang. (*)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: