Jalan Pengabdian Guru, Hadapi Laut Pasang Tiga Jam Agar Bisa Mengajar, Paling Menakutkan saat Ada Angin Kencan

Jalan Pengabdian Guru, Hadapi Laut Pasang Tiga Jam Agar Bisa Mengajar, Paling Menakutkan saat Ada Angin Kencan

JALAN PENGABDIAN: Syukron Sahir (tengah) dalam perjalanan menuju Pulau Mandangin, Sampang, Rabu (24/11). Tiap hari, selama belasan tahun, Syukron Sahir harus menghabiskan tiga jam di atas laut untuk pergi pulang mengajar. JUNAIDI PONDIYANTO, Sampang Syukron Sahir membuka rutinitas hariannya di pelabuhan. Menanti kapal, berkejaran dengan air laut pasang, agar bisa sampai ke pulau seberang. Menemui murid-muridnya. ”Kalau air surut, kapal tak bisa bersandar. Otomatis, saya harus nyebur untuk bisa ke kapal,” katanya kepada Jawa Pos Radar Madura (Radar Banyumas Group). Dan, itu baru sebagian kecil saja risiko yang dihadapi guru kelas VI SDN Mandangin 8 tersebut selama pergi pulang mengajar. Padahal, tiap hari dia harus menghabiskan setidaknya tiga jam di atas laut. Belasan tahun sudah dia melakoni semua itu dalam kapasitasnya sebagai pendidik. ”Saya mengabdi di SDN Mandangin 8 sejak 2004 sampai sekarang,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya di Kecamatan Polagan, Kabupaten Sampang, Jawa Timur. Mandangin merupakan nama desa dan pulau yang masuk wilayah Sampang, Madura. Dari Pelabuhan Tanglok, Sampang, dibutuhkan 1,5 jam perjalanan menuju pulau yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan tersebut dengan naik kapal motor. Menurut jurnalis lepas Edy Firmansyah dalam tulisan perjalanannya di Jawa Pos, Mandangin sejatinya dianugerahi keindahan alam. Tetapi kurang tergarap. Mungkin karena masa lalunya yang dikenal sebagai pulau lepra. ”Pada zaman Orde Baru, pulau tersebut menjadi tempat pembuangan orang-orang pengidap lepra di Madura,” tulis Edy tentang kunjungannya ke Mandangin pada 2014 itu. Kapal motor menjadi satu-satunya akses ke Mandangin dari Sampang. Dan, lantaran memilih menetap di daratan Madura bersama istri dan ketiga anaknya, Syukron otomatis harus melewati perjalanan laut itu tiap hari. Pada musim-musim tertentu, pria 40 tahun tersebut harus siap menghadapi terjangan ombak saat cuaca buruk. ”Paling menakutkan itu ketika angin kencang dan ombak tinggi saat masih di atas kapal,” ungkap suami Yekti Martikowati tersebut. Namun, panggilan jiwa untuk menjadi guru mengalahkan semua kecemasan ketika berhadapan dengan ombak lautan selama perjalanan. ”Guru memiliki tanggung jawab moral karena setiap yang dilakukan akan dicontoh muridnya. Melakukannya tidak cukup sebatas menggugurkan tanggung jawab atas profesi yang diemban,” jelasnya. Karena itu, lanjut Syukron, seorang pendidik dituntut memiliki dedikasi tinggi dan siap mengabdi untuk membagi ilmu. ”Harus berjiwa besar, telaten, sabar, dan pastinya berpengetahuan,” tuturnya. Alumnus Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Negeri Surabaya itu menjadi guru atas restu ibunda. Setelah lulus dari SMAN 1 Sampang pada 1999, oleh sang ibunda, Syukron diarahkan untuk melanjutkan pendidikan tinggi jurusan PGSD. Panggilan jiwa untuk menjadi pengajar itu dirasakannya sejak masih kanak-kanak. Dia kerap bermain di salah satu ruang kelas sekolah yang tidak jauh dari rumahnya. Sendirian, menuliskan sesuatu di papan tulis yang seolah-olah dirinya sedang mengajar. Padahal, saat itu, di ruang kelas itu tidak ada siapa-siapa. https://radarbanyumas.co.id/kurikulum-baru-diberlakukan-tahun-depan-nadiem-janjikan-platform-pelatihan-guru/ Karena itu, sampai kapan pun, apa pun risikonya, dia akan tetap mengajar. Tidak terkecuali, tantangan melewati perjalanan laut tiap hari. Dalam tulisan yang sama, Edy Firmansyah menyatakan, ketika air laut tidak bersahabat, perjalanan dari dan menuju Mandangin begitu berat. ”Kapal motor diombang-ambingkan gelombang. Kadang tempias air laut sesekali mengenai wajah. Kepala puyeng dan muntah. Kawan saya saja yang tumbuh dan besar di pulau yang berpenduduk hanya 15 ribu jiwa itu masih sering mabuk kalau kondisi laut sedang garang,” tulisnya. Belasan tahun mengajar di Mandangin, Syukron tentu saja akrab dengan semua itu. Namun, dia ikhlas menjalaninya: membuka hari pada pukul 05.00, bersama sejumlah kolega guru yang bertugas di tempat yang sama, menunggu kapal menuju Mandangin. ”Sekalipun setiap hari harus menyeberangi laut dengan segala tantangannya, saya akan terus siap untuk mengabdi,” katanya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: