Mendesak, Perpu Terorisme Lebih Pas

Mendesak, Perpu Terorisme Lebih Pas

JAKARTA – Wacana yang digulirkan pemerintah soal perlunya dilakukan revisi UU Terorisme, menyusul aksi terorisme Sarinah, pada 14 Januari 2015 lalu, disambut positif sejumlah kalangan di dewan. Agar lebih cepat, pemerintah bahkan diminta mengeluarkan saja peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Anggota Badan Legislasi DPR Martin Hutabarat meyakinkan, jika pemerintah mengajukan perpu saat ini, masyarakat akan bisa menerimanya. Alasan, kepentingan yang memaksa terkait masalah penanganan terorisme terkini akan bisa dipahami masyarakat, melihat insiden terorisme terakhir ”Kalau lewat revisi undang-undang, saya pesimis akan cepat ditindaklanjuti,” kata Martin, saat dihubungi, kemarin (17/1). Dia membeber, meski sudah lama diwacanakan, revisi UU Terorisme tersebut ternyata tetap saja tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2015 lalu. Begitupun dalam daftar Prolegnas 2016 yang dalam waktu dekat akan ditetapkan. Hingga saat ini, agenda revisi UU tersebut juga masih belum masuk. Kalaupun akhirnya masuk, lanjut dia, juga tidak ada jaminan agenda revisi juga bisa segera diselesaikan. Hal terebut akan berbeda jika perppu yang dikeluarkan. Menurut dia, DPR dengan sendirinya akan dikejar untuk segera membahasnya. Sebab, konstitusi telah memberikan batasan waktu yang rigid terkait keputusan akhir menerima atau tidak perppu yang diajukan. ”Karena itu, saya berharap presiden tidak perlu ragu untuk mengeluarkan perpu ini, ini pilihan terbaik saat ini,” kata Martin, meyakinkan. Asal, tegas dia, isinya betul-betul dibicarakan secara mendalam dan menyeluruh. Pihak-pihak terkait juga dilibatkan. Mulai dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Polri, TNI,  Badan Intelijen Negara (BIN), kementerian hukum dan HAM, dan lainnya. Salah satu poin penting di UU Terorisme yang diajukan pemerintah untuk direvisi adalah penambahan kewenangan pada aparat untuk dapat menahan dan menangkap terduga teroris sebagai langkah pencegahan. Ketentuan tersebut dianggap penting berkaca pada teror Sarinah tempo hari. Meski sudah menangkap indikasi bakal dilakukannya aksi sejak Desember 2015, namun aparat keamanan tidak bisa bertindak apa-apa karena tidak memiliki payung hukum untuk mengambil tindakan. Di parlemen, tidak semua pihak memang memandang positif agenda revisi tersebut. Wakil Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq salah satu yang belum mengamini usulan revisi tersebut. Politisi PKS tersebut menganggap revisi belum mendesak saat ini. Menanggapi hal tersebut, Menkopolhukam Luhut Pandjaitan masih belum mengambil sikap lebih lanjut. Saat ini, menurut dia, pemerintah memang baru sebatas berharap ada penyempurnaan UU Terorisme yang ada. ”Yang pasti, ini penting agar kita tidak terus-menerus menjadi pemadam kebakaran,” kata Luhut. Selama ini, sejumlah pihak yang resisten dengan penambahan kewenangan pada aparat di UU Terorisme memiliki sejumlah alasan. Salah satu yang kerap diajukan adalah persoalan HAM yang bisa dilanggar jika seseorang bisa ditahan ketika baru berstatus terduga teroris. Terkait hal tersebut, anggota Komnas HAM Natalius Piggai menilai kalau seluruh pihak perlu mendudukkan terlebih dulu persoalan terorisme pada posisinya. Dia menyatakan, bahwa tindakan terorisme tidak dibenarkan oleh siapapun dan atas apapun. ”Begitupun dengan semangat penghentian teroris juga telah menjadi semangat bersama. Jadi, itulah kondisi kekinian kita hari ini,” tutur Natalius. Karena hal itu pula lah, dia bisa memahami kalau ada kebutuhan merevisi UU Terorisme. Termasuk, ketentuan tentang bisa ditahannya seseorang yang baru berstatus terduga teroris. ”Karena semangat memerangi radikalisme memang telah menjadi semangat bersama,” imbuhnya. Meski demikian, dia mengingatkan, kalau tetap ada aspek-aspek kemanusiaan yang harus pula disertakan ketika memasukkan ketentuan penahanan terhadap seseorangan yang masih terduga teroris itu. Terutama, tegas dia, bahwa harus ada pagar-pagar yang jelas dalam memperlakukan sosok terduga teroris itu. ”Dan, yang tak kalah penting harus juga diatur tentang tanggungjawab aparat atau pemerintah jika dalam waktu tertentu terduga teroris ternyata tidak terbukti,” tambahnya. Selain mengembalikan citra dan nama baik, pemerintah juga perlu memberikan kompensasi-kompensasi material pada yang bersangkutan. Celah peraturan terkait ISIS sudah didengungkan setahun belakangan. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti juga merasakan kebutuhan untuk merevisi undang-undang antiterorisme tersebut. Namun, revisi itu diupayakan untuk tidak membuat potensi pelanggaran HAM meningkat. Caranya, dengan menerapkan pidana permulaan. Seperti, pembelian bahan peledak. ”Bahan peledak ini dijual bebas, namun ada formulanya yang bila dicampur menjadi bahan peledak. Tentu, dengan asumsi itu diharapkan aturan bisa ldikonsep untuk mencegah aksi teror,’ tuturnya. Selain itu, pidana permulaan juga bisa diterapkan untuk WNI yang baru saja pulang dari Suriah. Pemeriksaan terhadap WNI dari Suriah ini seharusnya bisa dilakukan. Aturannya akan lebih baik bila penangkapan terlebih dahulu, setelah diperiksa ternyata tidak ada bukti, tentu dilepaskan. ”Kalau ada bukti ya ditahan,” ujarnya. Dia menegaskan bahwa selama aturan tidak direvisi maka langkah pencegahan aksi terorisme juga tidak akan maksimal. Sebab, akan ada berbagai celah yang bisa dimanfaatkan perencana aksi teror. ”Dengan ini diharapkan semua pihak menyadari seberapa besar kebutuhan revisi undang-undang ini,” paparnya. Sementara Pengejaran terhadap kelompok pelaku teror di Plasa Sarinah berlanjut. Selain telah menangkap 12 orang, kemarin (17/1) Densus 88 Anti Teror kembali menangkap lima orang yang diduga terlibat aksi teror tersebut. Kadivhumas Polri Irjen Anton Charliyan menuturkan, memang ada penangkapan terhadap lima orang di Tegal. ”Namun, masih dalam tahap pendalaman. Sejauh ini kelimanya belum tentu terlibat dengan aksi teror mencengangkan di jantung ibukota,” jelasnya. Upaya pengejaran para pelaku teror terus dikembangkan. Sebab, sel-sel kelompok teror yang setidaknya mengetahui rencana teror Plasa Sarinah masih ada dan bebas berkeliaran. Mereka tentu harus diamankan agar kejadian serupa tidak terulang tanah air. ”Mereka diprediksi berasal dari kelompok-kelompok kecil yang berkolaborasi. Lalu, ada tim-tim yang memiliki tugas masing-masing. Tentunya sesuai arahan kelompok besarnya,” paparnya. Selain mengejar para pelaku berdasar data intelijen dan keterangan pelaku, Polri juga menempuh jalan lainnya. Yakni, mendata dan menemui kembali para mantan napi kasus terorisme. Langkah tersebut diambil sebagai bagian dari pencegahan. ”Kami ingin mendatan dan memastikan bagaimana pada mantan terpidana itu,” ujarnya. Harapannya, dengan penyisiran para mantan terpidana kasus terorisme itu, tentu bisa setidaknya merangkul kembali atau justru malah bisa mendapatkan informasi tertentu terkait gerakan teroris di Indonesia. ”Kami hanya memastikannya saja,” terangnya. Namun, bila ternyata terdapat perencanaan aksi teror yang dilakukan napi di dalam penjara, tentunya Polri tidak bisa berbuat banyak. Sebab, penjara merupakan kewenangan dari Kementerian Hukum dan HAM. ”Tapi, kalau ada informasi itu, tentu kami akan bekerjasama,” paparnya ditemui di kantornya kemarin. Terkait jumlah pelaku aksi teror di Plaza Sarinah, polisi meralat jumlah pelaku. Bila sebelumnya, pelaku disebut ada lima orang, kali ini polisi memastikan bahwa jumlah pelaku hanya empat orang. Salah seorang korban yang sempat diduga menjadi pelaku adalah Sugito asal Karawang, Jawa Barat. Sugito tewas saat kejadian didekat pol polisi Sarinah. ”Ya, ini kami dulu menduga sebagai pelaku. Tapi, ternyata hanya korban,” jelas Anton Charliyan. Dugaan bahwa Sugito adalah pelaku teror dikarenakan, ada terduga teroris yang juga bernama Sugito. Namun, begitu ditelisik lebih dalam, ternyata dia bukan terduga teroris yang selama ini dicari. ”Jenasahnya sudah dikembalikan ke keluarganya kok,” tuturnya. Sementara itu, Ditjen Pemasyarakatan I Wayan Dusak mengungkapkan pengawasan para narapidana kasus terorisme di semua lapas kini diperketat. Termasuk sejumlah napi terorisme di lapas-lapas yang ada di Pulau Nusakambangan. Dusak tak mau disebut pihaknya teledor mengintai pergerakan para narapidana terorisme yang diduga masih bisa saling berkomunikasi dengan jaringannya dari balik jeruji besi. Menurut dia, kemungkinan komunikasi antara napi dan pihak luar kemungkinan bisa terjadi saat pembesukan. Saat ini antisipasi aktivitas narapidana terorisme dilakukan dengan pengawasan bersama pihak keamanan (Polisi dan TNI) setempat. Persoalan napi terorisme jika tidak mendapatkan pembinaan yang baik di Lapas memang bisa menjadi bom waktu. Saat ini di Indonesia tercatat ada 159 narapidana kasus terorisme. Napi kasus terorisme terbanyak antara lain berada di Rutan Kelas II B Buntok Kalimantan Tengah (26 orang), Lapas Cipinang (17), Lapas Batu Nusakambangan (17), Tangerang (11), Cibinong (8)Kembang Kuning Nusakambangan (8), Cirebon (8), dan Pamekasan (7). (dyn/idr/gun)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: