Ramadan, Melandingkan Islam ke Dalam Hati
Oleh: Dr. Wage, M.Ag. Terjadi fenomena menarik setiap datang bulan Ramadan. Coba anda perhatikan. Di semua desa dan kawasan di bulan suci ini masjid dan mushala dipadati jamaah. Sesuatu yang tidak terjadi di luar bulan Ramadan. Tetapi begitu Ramadan usai, jamaah tadi ikut menghilang. Fenomena ini terjadi dan terus terjadi setiap tahun. Tentunya para tokoh agama dan takmir masjid selalu dibuat gembira dengan banyaknya orang yang datang ke masjid/mushala selama Ramadan, namun setelah itu mereka segera dibuat kecewa, karena jamaah yang begitu antusias selama Ramadan segera menghilang berbarengan dengan berakhirnya Ramadan. Para jamaah ini seperti siluman saja, datang tak diundang, pergi tanpa pamit. Bagi sebagian orang yang berpikir fenomena Ramadan tarasa aneh. Bagaimana tidak, mereka yang saat melakukan salat tarawih begitu bersemangat, namun begitu mudah kehilangan minat untuk pergi ke masjid/musala begitu Ramadan selesai. Oleh karenanya masjid dan mushala dibuat kembali merana begitu bulan Ramadan berakhir. Gejala apakah ini? Sebenarnya siapakah mereka? Itulah ciri khas muslim Indonesia. Jumlah mereka cukup fantastis dan mendominasi, 85 %! Namun sebenarnya itu hanyalah kuantitas. Jumlah sebesar itu belum mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya dari muslim yang dimaksudkan oleh Allah dan RasulNya. Gambaran mereka ada pada al-Quran surat Al Hajj ayat 11: “Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah dari tepi, maka jika memperoleh kebajikan ia merasa mantap dengan imannya, namun jika memperoleh cobaan ia berpaling ke belakang. Rugilah ia di dunia dan akhirat...” Muslim kuantitas atau muslim KTP (Kartu Tanda Penduduk). Disebut demikian karena mereka mencantumkan identitas keagamaannya di KTP sebagai beragama Islam. Itu berarti secara formal agama mereka adalah Islam. Mereka juga akan dikhitan ketika menjelang akil baligh. Ini berarti mereka merasa diri 100 % muslim. Mereka juga akan menikah secara Islam, di KUA (Kantor Urusan Agama), tempat menikah khas muslim. Dalam pernikahannya mereka juga disyahadatkan kembali oleh sang Naib. Tidak lupa sang Naib juga memberi nasihat agar yang bersangkutan menjadi muslim yang baik setelah menikah, antara lain dengan teguh mendirikan shalat dan membina rumah tangga atas dasar ajaran Islam. Bahkan mas kawin mereka rata-rata ada unsur al-Quran dan seperangkat alat shalat. Sungguh sangat islami dan religius. Namun demikian setelah acara resepsi selesai mereka tetap dalam keseharian mereka. Bagi yang terbiasa jauh dari agama (abangan) maka nasihat pak Naib, mas kawin berupa al-Quran dan seperangkat alat shalat hanya sebagai bagian dari adat, bukan sesuatu cerminan dari apa yang ada dalam hati. Islam KTP atau abangan adalah bagian terbesar dari muslim Indonesia. Persisnya berapa persen, sampai kini tidak ada yang tahu. Tetapi jelas bahwa mereka amat mendominasi. Justeru karena itu ketika para tokoh Islam menginginkan sumbangsih mereka, misalnya dalam bentuk suara dalam pemilu, sampai kini para tokoh ini dibuat kecewa. Mereka bukan menolak menjadi seorang muslim, namun mereka juga tidak mau terlibat intens dengan agama mereka. Ketika ada proyek pembangunan masjid atau mushala, mereka akan dengan senang hati ikut membantu pembangunan itu misalnya dengan menyumbangkan tenaga, ikut menyumbang uang atau material dalam jumlah besar. Ketika ada upacara keagamaan mereka juga berada di barisan terdepan, misalnya acara Tahlilan, Nyadran, Padusan menjelang datangnya Ramadan dan peringatan hari-hari besar Islam. Cuma masalahnya, ketika diajak masuk ke dalam, untuk mengamalkan Islam dalam taraf yang lebih intens mereka tidak mau. Sehingga tidak aneh jika mereka menolak ketika diajak mengaji secara rutin untuk memperdalam al-Quran dan Hadits. Di rumahnya mereka tidak mau melaksanakan shalat sehari-hari. Secara otomatis mereka juga tidak mau untuk menjadi pemakmur masjid dengan cara menjadi anggota jamaah shalat Lima Waktu. Anak-anak mereka juga tidak didorong untuk menjadi penganut Islam yang baik dengan disekolahkan di TPA/TPQ atau madrasah diniyah atau disuruh menjalankan shalat. Mereka Memiliki pandangan bahwa anak ngaji atau anak masjid itu akhirnya menjadi pemalas, tidak mau membantu orang tua melaksanakan pekerjaan. (Memang kenyataan banyak yang seperti itu, sih). Berbeda dengan anak yang tidak sekolah dan tidak mengaji, mereka akan menjadi anak yang nurut kepada orang tua saat disuruh melakukan suatu pekerjaan. Mereka juga mengambil jarak dengan kaum santri. Karena faktor-faktor itulah ketika ada Pemilu misalnya, maka pilihan partainya adalah yang sekuler. Maka tidak heran jika di negara yang mayoritas pendudukanya muslim, partai berlabel Islam tidak pernah menang Pemilu. Kondisi seperti digambarkan di muka tentunya tidak boleh dibiarkan. Pertanyaannya adalah bagaimana agar kondisi tersebut dapat dirubah? Tentu hal itu merupakan pekerjaan berat yang membutuhkan kerja keras dan pengorbanan. Untuk dapat mewujudkan keinginan tersebut ada beberapa prasyarat, di antaranya ada SDM (sumber daya manusia) yang mumpuni dan ikhlas berjuang. Tugas dari mereka adalah menalarkan kepada umat tentang pentingnya menjadi muslim yang baik. Bahwa dua kalimah syahadat atau kalimah tahlil yang sudah biasa mereka ucapkan baik ketika shalat maupun ketika melaksanakan dzikir itu, agar diterima Allah maka harus dipahami maksudnya dan berimplikasi terhadap sikap dan perbuatan. Jika tidak maka meskipun mereka mengucapkannya ribuan kali tidak diterima oleh Allah SWT. Dengan dua kalimah syahadat atau kalimah tahlil itu seseorang diakui sebagai muslim, maksudnya adalah bersedia hidup di dalam dan mau diatur dengan ajaran Islam. Fungsi dua kalimah syahadat sebenarnya adalah untuk membuang segala macam tuhan selain Allah (thaghut) yang bersemayam di dalam hati, untuk digantikan dengan tuhan yang sesungguhnya, yaitu Allah SWT semata. Coba perhatikan al-Quran surat al-Baqarah ayat 256 ada ayat yang berbunyi “Yakfur bi al-thaghuut wa yu’min bi Allah”(ingkar terhadap thaghut dan iman terhadap Allah). Walhasil jika ikrar dua kalimah syahadat dipahami dengan benar dan diilmui maka akan menyulap pengucapnya dari seseorang yang musyrik menjadi muwahid, dari seseorang yang islamnya setengah-setengah menjadi muslim yang penuh antusias dan tangguh. Guna mengubah kaum muslimin agar tidak selalu berada dalam keimanan yang stagnan dan pinggiran, maka bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah dan kebaikan, bulan hidayah, perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya mumpung umat kita lagi rajin menyambangi masjid. Dalam pada itu bisa dipersiapkan kegiatan semacam pengajian singkat. Para tokoh agama setempat bisa mempersiapkan kegiatan kajian singkat setiap hari (waktunya bisa di sela-sela antara setelah shalat Isya dan sebelum shalat Tarawih dan bakda subuh). Pilih pemateri yang mampu menggugah hati, insya Allah jamaah akan tercerahkan kan sehingga selesai Ramadan ada penambahan keimanan di hati mereka. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: