Kumpulkan Jaringan dengan Belanda, Janji Bertindak Melawan Lupa
Mengenal Kurniasih, Pemerhati Sejarah Cilacap Menyusun sejarah, di mata Kurniasih (39), sesungguhnya adalah tindakan melawan lupa. Ketertarikannya pada sejarah, utamanya tentang daerah kelahirannya, Cilacap, mulai terpantik ketika ia berusia 25 tahun. Saat itu, ia membaca buku "Nusakambangan dari Pulau Bui Menuju Pulau Wisata" yang ditulis M Unggul Wibowo. ABDUL AZIZ RASJID, Cilacap Buku itu membabar sejarah Benteng Pendem dan Karang Bolong. Buku itu pula yang membuat ia ingin belajar tentang banyak hal terkait masa lampau. Ia pun mendatangi bangunan tua peninggalan kolonial Belanda itu untuk memulai menuntaskan rasa penasaran. Tapi yang terjadi, justru sebaliknya, angka-angka tahun yang tertera di Benteng Pendem justru melontarkannya pada rasa penasaran yang makin luas tentang rangkaian sejarah Cilacap di zaman kolonial. "Kebetulan antara tahun 1992-2001 banyak wisatawan mancanegara asal Eropa yang transit di pelabuhan Sleko dan Lomanis. Saat itu, saya juga mengasah kemampuan bahasa inggris dengan berinteraksi bersama mereka. Di antara mereka, ada yang kemudian bercerita tentang Benteng Pendem dan pengawas pemabnagunan benteng," kata Kurniasih pada Radar Banyumas, Jum'at (5/2) kemarin. Tak pernah disangka oleh Kurniasih, informasi itu lalu mengantarkannya ke Pemakaman Kerkhof Tjilatjap. Di pemakaman itu, kurang lebih terdapat 109 makam, yang salah satunya JWF Scott, si pengawas pembangunan benteng yang wafat di Cilacap 24 Juni 1870. Rasa keingintahuannya pun makin meluas, ingin mendalami identitas masing-masing warga belanda yang dimakamkan di tempat tersebut. "Saya merasa dengan mengetahui dan meneliti lebih jauh, saya bisa melengkapi rangkain sejarah yang hilang di Cilacap. Menurut saya, epitaph (tulisan pada nisan) merupakan jejak eksistensi seseorang, yang bisa menggambarkan bagaimana situasi Cilacap di masa kolonial," ujar Kurniasih yang merupakan lulusan Fakultas Peternakan Unsoed ini. Ia pun lalu membangun jaringan dengan beberapa orang Belanda untuk mengetahui latar belakang identitas yang tertera di epitaph. Pada tahun 2004-2014, informasi ia kumpulkan dari berbagai pihak dan kerabat yang berkaitan dengan keturunan komunitas Eropa yang dimakamkan di Kerkof Cilacap. Dari informais yang ia himpun semisal, ia lantas mengetahui wabah malaria pernah menjadi momok ganas di Cilacap sampai-sampai seorang dokter bedah asal Denmark, Oscar Kuhr, meninggal di tahun 1886. "Pemakaman ini mendokumentasikan sejarah panjang Kabupaten Cilacap. Salah satunya terkait kisah ganasnya malaria terbesar di Jawa Tengah yang menewaskan puluhan orang-orang asing di masa silam. Sedang terkait prasasti nisan yang masih ada, tertera makam tertua atas nama Therese Von Lutzow tahun 1852 dan terakhir Egbert De Jong tahun 1952," ujar Kurniasih hafal di luar kepala. Pada Kamis (4/2) kemarin, di tengah hujan rintik-rintik, Kurniasih menunjukkan pada Radar Banyumas, makam-makam yang telah ditelitinya hampir 15 tahun. Kurniasih menenteng map merah berisi identitas, kliping-kliping koran dari Belanda terkait identitas dan denah pemakaman. Ia bercerita, sangat bersyukur ketika ada upaya menjadikan kerkhof dan banguna-bangunan tua di Cilacap lainnya sebagai cagar budaya. "Saya kira, baik kerkhof atau bangunan peningalan kolonial lainnya tak hanya berkaitan dengan nilai sejarah. Tapi juga bisa menjadi media diplomasi antar negara. Hal ini juga penting bagi kita untuk melawan lupa. karena tanpa pelestarian maka sama saja kita membiarkan beberapa rangkaian sejarah hilang," ujarnya. Kesabaran Kurniasih mengumpulakn serpihan-serpiahan sejarah Cilacap itulah yang kini diupayakan dilanjutkan, oleh keikutsertaan Pemerintah Kabupaten Cilacap. Dari informasi-informasi yang dihimpun Kurniasih, Pemkab Cilacap mulai bergerak untuk melakukan revitalisasi kawasan Pemakaman Kerkhof Tjilatjap yang terletak di Jalan Karang sebelah selatan kelurahan Cilacap ini. Rencananya kawasan ini akan dipugar, diperindah dengan dilengkapi diorama sejarah kolonial di Cilacap. Tujuan besarnya agar dapat menjadi salah satu magnit pelestarian pusaka (heritage) sebagai strategi utama pengembangan kota. Tindakan Kurniasih menunjukkan bahwa posisi sejarah sejatinya begitu penting, meski sering disepelekan dalam zaman yang lebih mengutamakan pembangunan-pembangunan lahan ekonomi. Kerja Kurniasih mengingatkan kita, bahwa yang lampau tetaplah bagian penting dari proses yang berlangsung sampai waktu kini. (ziz/ttg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: