BPIP Rawan Jika Pakai Perpres

BPIP Rawan Jika Pakai Perpres

Jokowi dengan latar belajang Pancasila. Foto Istimewa JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menuai penolakan dari banyak pihak. DPR masih menunggu sikap resmi pemerintah. Presiden Joko Widodo menegaskan bicara soal ideologi, berarti tentang bagaimana menjaga Pancasila sampai kapan pun. "Kami bicara perkembangan kekinian yang hangat dibahas di tengah-tengah masyarakat. Soal RUU HIP juga dibahas," kata Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (8/7). Menurutnya, pada 16 Juni 2020, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah tidak mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR sebagai tanda persetujuan pembahasan legislasi terhadap RUU HIP. DPR adalah pihak yang mengajukan RUU HIP tersebut. "MPR ingin menanyakan posisi pemerintah. Secara tegas presiden menyampaikan bahwa sampai saat ini pemerintah masih melakukan kajian berdasarkan masukan-masukan masyarakat. Menkopolhukam yang akan melaksanakan hal itu. Presiden juga menegaskan idelogi dan Pancasila harus dijaga sampai kapan pun," jelas Bambang. Presiden, lanjutnya, ingin agar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memiliki payung hukum undang-undang. "Pak Jokowi menyampaikan sangat riskan kalau lembaga yang memiliki tugas melakukan pembinaan Pancasila hanya berpayung Perpres," ucapnya. Meski MPR tidak ikut dalam pembahasan RUU, namun punya tugas memberikan penjelasan kepada rakyat. "Karena tugas MPR seharusnya menjadi mesin pendingin, yang mendinginkan situasi, menjaga situasi politik tetap kondusif di tengah situasi yang tidak normal ini," terangnya. Seperti diketahui, RUU HIP diusulkan oleh DPR dan ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas tahun 2020. Latar belakang RUU HIP, karena saat ini belum ada UU, sebagai sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai Haluan Ideologi Pancasila sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, RUU HIP memicu penolakan banyak pihak. Mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), PP Muhammadiyah, akademisi hingga para purnawirawan. Sejumlah alasan yang dikemukakan adalah karena ada istilah yang tidak lazim dalam RUU HIP. Misalnya pasal 6 RUU HIP yang menyebutkan ciri pokok Pancasila adalah Trisila yang terkristalisasi dalam Ekasila yang dapat menciptakan bias Pancasila. Pakar hukum tata negara Universitas Jenderal Soedirman, Muhammad Fauzan mengatakan jika ditujukan untuk memperkuat BPIP, hal tersebut tidak masalah. "Tetapi, jangan pembahasan RUU HIP menafsirkan kembali Pancasila dengan memunculkan Trisila atau Ekasila. Itu sejarah yang sudah selesai tanggal 22 Juni 1945 yang diawali dengan pidatonya Muhammad Yamin. Kemudian dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945 oleh sembilan orang tokoh termasuk Soekarno," ujar Fauzan. Dikatakan, persoalan Pancasila, Trisila atau Ekasila itu memang diungkapkan oleh Soekarno. Tetapi begitu Panitia Sembilan terbentuk, rumusannya menjadi Pancasila. "Intinya jika untuk memperkuat kelembagaan BPIP tidak masalah. Sehingga lembaga tersebut tidak hanya didasarkan pada keputusan presiden," terangnya. Sebab, jika BPIP didasarkan oleh keppres, suatu saat bisa bisa diganti dengan mudah sesuai selera presiden. Bahkan, presiden yang akan datang dapat saja mengganti atau membubarkan BPIP melalui keppres. Tetapi, jika lembaga negara itu berdasarkan undang-undang, perubahannya harus dilandasi oleh kesepakatan dua lembaga negara. "Dengan demikian, BPIP posisinya menjadi lebih kuat. Karena diatur undang-undang. Jaminan Pancasila sebagai Dasar Negara itu menjadi terjamin karena ada lembaganya," tukasnya.(rh/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: