Mengenal Dalang Ki Tulus “Owah” Pangudi Asal Kaligondang
*Mainkan Karakter Wayang Humor dengan Bahasa Banyumasan *Nguri-Nguri Budaya Adiluhung Pakem atau pedoman cerita pewayangan klasik biasanya sangat kental dengan bahasa halus yang kadang orang biasa tidak begitu paham. Hanya lakon dan penampilan wayang kulitnya saja yang ditonton dan biasanya atraktif. Namun Purbalingga memiliki dalang wayang humor yang pakem bahasanya lebih dominan Ngapak Banyumasan. ATRAKTIF : Ki Dalang Tulus Owah memainkan wayang humor khas Banyumasan saat acara di alun-alun Purbalingga, belum lama ini. (AMARULLAH NURCAHYO/RADARMAS) AMARULLAH NURCAHYO, Purbalingga Berperawakan kurus tinggi dan suaranya yang khas serta ketawanya yang nyaring, membuat orang mudah mengenali pria berkulit sawo matang ini. Ya, dialah Tulus Pangudi yang saat ini menjadi dalang dengan nama Ki Tulus Owah. Penampilannya yang lebih mengedepankan humor yang berbobot, menjadikan selalu ditunggu. Misalnya ketika tampil menghibur buruh di alun-alun Purbalingga belum lama ini. Tokoh pewayangan yang ditampilkan selain tokoh pakem asli wayang kulit juga ada tokoh pewayangan modifikasi. Ada pohon, hewan, perempuan, laki- laki dan ornamen lainnya. Menggunakan busana layaknya dalang senior, dia mengawali lakon dengan suluk. Yaitu memaparkan gunungan dan memasang beberapa tokoh. Namun ada kekhasan dalam penampilan, yaitu menyinggung tema buruh maupun penampilan pelawak yang ikut meramaikan acara. Satu persatu tokoh ditampilkan dengan berbagai karakter. Dua pelawak yang juga khas menyambut lawakan dalang dengan bahasa Banyumasan ngapak. Bahkan kadang ada yang menyindir penguasa dan kehidupan pada umumnya. Menurut Tulus, penggunaan bahasa ngapak lebih kepada fungsi sebagai pemersatu masyarakat yang saat ini semakin lupa bahasa sendiri. Sehingga selain nguri-uri budaya adiluhung, juga mengenalkan kembali bahasa yang Purbalingga sekali. “Bahasa ngapak bukan berarti kasar. Namun semedulur (kekeluargaan). Mudah akrab dan langsung mengena ke sasaran. Misalnya kepada teman dekat yang sebaya, tetap bisa digunakan dan kepada yang lebih tua, agak halus sedikit namun ngapak,” tuturnya. Gending-gending gamelan yang mengalun juga murni membuat budaya karawitan tetap lestari. Termasuk sinden juga bisa berkarya dan melantunkan tembang jawa khas yang bagi sebagian telinga orang akan asing mendengarnya. Namun dengan pembawaan dalang, tembang dan lakon menggunakan bahasa Ngapak Banyumasan memperjelas maksud pitutur dalam tembang maupun lakon yang dimainkan. “Jangan malu menggunakan bahasa Ngapak Banyumasan, ini bahasa tua dan wajib dilestarikan. Bukan berarti ngapak itu kalangan bawah, justru terhormat karena masih bisa semedulur itu,” tambah PNS di salah satu dinas ini. Pementasan wayang biasanya tidak lama, kurang lebih dua jam. Namun makna humor yang ada juga tidak kosong lelucon. Biasanya tetap diselipi pitutur atau pituah dari para kyai dan tokoh pemerintahan. Misalnya sosialisasi keamanan lingkungan dan hidup bertetangga serta beragama. (*/sus)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: