Kerap Bocor, UU Perlindungan Data Pribadi Dinilai Mendesak

Kerap Bocor, UU Perlindungan Data Pribadi Dinilai Mendesak

Anggota Komisi I DPR Taufiq R Abdullah JAKARTA – Kasus bocornya data pribadi kerap kali terjadi di Indonesia. Jika sebelumnya ada dugaan kebocoran data jutaan pengguna marketpalce Tokopedia, belakangan muncul dugaan kebocoran data pasien Covid-19 yang diambil peretas dan dijual di forum online. Anggota Komisi I DPR Taufiq R Abdullah mengatakan, kerahasiaan data pribadi merupakan sesuatu yang mutlak, terutama data yang memungkinkan untuk diperjualbelikan. Seperti data soal tanggal lahir dan nama orang tua (ibu kandung) yang biasanya dijadikan sebagai kunci untuk membuka data di perbankan. "Memang selama ini sudah terlanjur bahwa data masyarakat di-share ke pihak lain, beberapa lembaga bisnis. Karena itu, menjadi tugas negara, untuk mengidentifikasi lembaga-lembaga yang selama ini memiliki data-data pribadi warga negara itu, agar tidak diperjualbelikan atau digunakan tidak semestinya. Dalam hal ini diperlukan kerja sama antar beberapa lembaga negara misalnya Bank Indonesia, Kominfo, BIN, BSSN, dan Polri" katanya kepada wartawan, Rabu (24/6/2020). Dikatakan Taufiq, lembaga-lembaga yang menyimpan data pribadi masyarakat harus melaporkan kepada negara sehingga nanti manajemen data ini benar-benar bisa diatur sebaik mungkin. “Dengan begitu nanti akan ketahuan bahwa ketika ada orang atau lembaga yang mengkomersilkan data itu akan dengan gampang kita tangani,” paparnya. Politikus PKB ini mengatakan, dengan melihat berbagai kasus kebocoran data pribadi belakangan ini maka keberadaan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dinilai mendesak. ”Perintah atas perlindungan data ini belum ada payung hukumnya. Belum jelas mandatnya diberikan kepada siapa, dengan pola seperti apa, tata aturannya seperti apa. Ini yang memang harus diatur melalui undang-undang,” tuturnya. Taufiq mengatakan, UU ini nantinya bisa menjadi pelindung terhadap banyak hal. Mulai dari perlindungan aset, kekayaan, bahkan nyawa masyarakat. Karena itu, Komisi I telah mengagendakan untuk melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan berbagai stakeholder, termasuk dengan melibatkan para pakar untuk memberikan masukan dalam penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). “RUU ini inisiatif pemerintah dan kita akan menggelar RDP dan RDPU dengan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil, OJK, BI, pakar termasuk Dewan Pers, NGO, YLKI, dan lainnya untuk membahas ini,” katanya. Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, di era digital seperti sekarang, perlindungan data pribadi menjadi isu yang perlu dipikirkan. Karena itu, dia berharap RUU PDP bisa diselesaikan. ”Data menyangkut semua kehidupan bangsa, masyarakat, dan negara. Implikasi yang muncul saat ini mempertegas bahwa kita harus menyelesaikan payung hukum data,” ujar Plate dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, Senin (22/6/2020). RUU tersebut, kata Plate, menggunakan konvensi General Data Protection and Regulation (GDPR) Uni Eropa sebagai acuan. Di dalamnya, terdapat 72 pasal yang berisi perlindungan data tidak hanya sebatas perlindungan terhadap individu, tapi juga kedaulatan data negara. ”Tugasnya pemerintah untuk mengawasi dan menjaga data masyarakat. Jika masyarakat tidak percaya kepada pemerintah, bagaimana masyarakat berani menyerahkan datanya ke pihak berbasis profit,” ujar Plate. (drn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: