Banner v.2

Program MBG, Ekses Dan Implikasi Hukumnya

Program MBG, Ekses  Dan  Implikasi Hukumnya

Dr.H.Teguh Purnomo,SH,MH,MKn--

Dr.H.Teguh Purnomo,SH,MH,MKn

Pimpinan Gedung Putih Tower Kebumen

Ketua DPC Peradi Kebumen/ Dosen Hukum Beberapa Perguruan Tinggi

Ratusan pelajar di Kabupaten Kebumen dan Banyumas, Jawa Tengah,  beberapa pekan lalu mengeluhkan gejala keracunan makanan usai menyantap makanan bergizi gratis atau MBG. Di Kebumen, puluhan siswa masih dirawat inap hingga Jumat (26/9/2025). Sementara itu di Banyumas, dua sekolah menolak penyaluran MBG sampai ada evaluasi terkait program ini. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan sebagai intervensi kebijakan publik besar-besaran untuk mengatasi masalah gizi, menurunkan angka stunting, dan meningkatkan capaian pendidikan melalui penyediaan makanan bergizi bagi anak sekolah serta kelompok rentan lain. Pemerintah mengalokasikan anggaran besar dan merancang MBG sebagai program nasional yang menjangkau jutaan penerima, serta menempatkan program ini sebagai prioritas kesehatan masyarakat dan ketahanan pangan. Namun, skala dan kompleksitas pengadaan serta distribusi makanan membuat MBG rentan terhadap masalah tata-kelola, mutu pangan, dan pengawasan operasional(Saptati, 2025).

Sejak pelaksanaan awal ada laporan insiden keracunan makanan yang menimpa peserta MBG di beberapa daerah — dari kasus puluhan anak yang mengalami mual dan muntah hingga laporan ribuan kasus yang kemudian terakumulasi di tingkat nasional. Insiden-insiden ini memunculkan kekhawatiran publik terhadap standar keamanan pangan di dapur-dapur penyedia, praktik penyimpanan dan distribusi, serta kapasitas pengawasan lembaga terkait. Badan-badan kesehatan masyarakat dan LSM kemudian mendorong evaluasi dan bahkan permintaan penghentian sementara program sampai ada perbaikan signifikan. Berita-berita investigatif internasional dan nasional juga menyorot keterkaitan antara cepatnya skala program dengan lemahnya sertifikasi higienis dan pengalaman penyedia makanan(Kate Lamb, 2025).

Secara regulasi, pelaksanaan MBG berinteraksi dengan sejumlah ketentuan hukum tentang pangan dan kesehatan — antara lain Undang-Undang Pangan, peraturan BPOM tentang pengawasan pangan olahan, serta pedoman teknis yang diterbitkan kementerian kesehatan dan lembaga terkait untuk standar gizi dan keamanan menu. Meskipun kerangka hukum ini tersedia, tantangan muncul pada implementasi di tingkat lapangan: sertifikasi dan audit hygiene penyedia yang belum merata, kapasitas pengawasan daerah yang terbatas, hingga potensi penyimpangan pengadaan. Oleh karena itu, insiden keracunan menimbulkan pertanyaan tentang bentuk pertanggungjawaban hukum (administratif, perdata, dan pidana) yang dapat dituntut terhadap penyedia, pejabat pelaksana, atau pihak ketiga dalam rantai pasok (BPOM, 2024).

Tanggung jawab hukum (legal accountability) dalam ranah kebijakan publik berarti bahwa tindakan pemerintah dan penyelenggara publik harus dapat dipertanggungjawabkan menurut kerangka hukum ketika kebijakan tersebut menimbulkan kerugian atau risiko terhadap warga negara. Prinsip ini berakar pada konsep negara kesejahteraan dan fungsi negara untuk melindungi hak dasar warga—termasuk hak atas kesehatan dan keselamatan pangan—sehingga kegagalan pelaksanaan kebijakan yang menimbulkan bahaya publik berpotensi menempatkan pejabat atau penyelenggara pada kewajiban hukum. Dokumen-dokumen akademik dan analisis governance menekankan bahwa akuntabilitas publik mensyaratkan transparansi, pengawasan (audit), serta mekanisme sanksi administratif dan remedial hukum untuk korban (Setyagama, 2022). 

Aspek administratif mencakup kewajiban birokrasi (pusat maupun daerah) untuk memastikan proses perencanaan, pengadaan, distribusi, dan pengawasan mutu makanan dalam program publik memenuhi standar hukum dan teknis. Akuntabilitas administratif diwujudkan melalui regulasi operasional, pemeriksaan internal/eksternal (mis. inspektorat, audit BPK), pemberian sanksi disipliner terhadap pejabat yang lalai, dan perbaikan prosedur pelaksanaan. Kajian tentang penegakan administratif di bidang keamanan pangan menemukan adanya celah pengawasan dan koordinasi antar-instansi yang seringkali menyebabkan lemahnya penanganan kasus keamanan pangan pada tingkat lokal — hal penting ketika menilai kegagalan program MBG (Putri, 2022).

Dalam ranah perdata, korban keracunan atau pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi atas dasar wanprestasi, perbuatan melawan hukum, atau dasar perlindungan konsumen. Regulasi perlindungan konsumen serta ketentuan undang-undang pangan memberi dasar tuntutan ganti rugi terhadap pelaku usaha/pemasok yang menyediakan makanan tidak aman; keadaan ini juga membuka peluang tindakan perdata terhadap pihak penyelenggara program apabila terbukti kelalaian pengelolaan pengadaan atau distribusi makanan. UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999) dan UU Pangan (UU No. 18/2012) merupakan rujukan utama untuk hak-hak kompensasi serta kewajiban pelaku usaha/penyelenggara (Presiden Republik Indonesia, 1999).

Di sisi pidana, pihak-pihak yang memenuhi unsur tindak pidana (mis. memasarkan/menyajikan pangan yang berbahaya, melakukan pemalsuan, atau kelalaian yang menyebabkan cidera/kematian) dapat dikenai tuntutan pidana berdasarkan ketentuan UU Pangan dan peraturan terkait. Penegakan pidana berfungsi sebagai deterrent (pencegah) tetapi efektifitasnya bergantung pada kapasitas investigasi, bukti kelalaian, dan koordinasi antar-penegak hukum. Studi dan kajian implementasi menunjukkan adanya tantangan dalam menegakkan sanksi pidana secara konsisten pada kasus keamanan pangan skala lokal (Presiden Republik Indonesia, 2012).

Kasus keracunan terkait MBG, pendekatan hukum yang komprehensif harus mempertimbangkan kombinasi mekanisme: (1) sanksi administratif terhadap pejabat/pengelola yang lalai, (2) gugatan perdata/kompensasi bagi korban, dan bila memenuhi unsur, (3) tanggung jawab pidana terhadap penyedia/pihak yang menyebabkan bahaya. Selain penuntutan, kajian praktis merekomendasikan penguatan pengawasan rantai pasok, prosedur pengadaan yang transparan, standard operating procedure berbasis risiko pangan, pelatihan higienitas kepada penyedia, dan mekanisme pengaduan cepat untuk mengurangi dampak kesehatan dan mempermudah pembuktian hukum. Temuan-temuan terkait enforcement gap dan rekomendasi penataan aparat pengawas relevan untuk rencana perbaikan MBG(Putri, 2022).

Lemahnya pengawasan rantai pasok sebagai penyebab utama insiden

Analisis kasus-kasus keracunan yang terjadi pada pelaksanaan MBG menunjukkan pola umum: banyak dapur penyedia (kitchen hubs / Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) yang baru beroperasi, tidak tersertifikasi hygiene/halal/sehat, dan pengawasan terpusat belum mampu melakukan inspeksi rutin ke seluruh lokasi limpahan distribusi. Investigasi media dan pernyataan pejabat pengawas menyebutkan bahwa kelemahan pengawasan (monitoring & auditing) menyebabkan penggunaan bahan yang sudah dekat/melewati masa layak pakai, ketidaksesuaian waktu memasak, serta keterlambatan distribusi makanan — semua faktor yang meningkatkan risiko kontaminasi mikrobiologis. Pernyataan publik dan laporan awal investigasi pemerintah juga menegaskan korelasi langsung antara kurangnya supervisory control dan lonjakan kasus keracunan (Ananda Teresia, 2025).

Ketidaksesuaian standar penyimpanan dan praktik distribusi 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: