Nilai Rupiah Melemah Lagi, Satu Dolar Kini Bisa Menyentuh Rp. 17.000!

Nilai Rupiah Melemah Lagi, Satu Dolar Kini Bisa Menyentuh Rp. 17.000!--
RADARBANYUMAS.CO.ID - Nilai tukar rupiah kembali jadi sorotan setelah merosot tajam hingga menyentuh level yang bikin geleng-geleng kepala. Banyak yang bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi hingga si Garuda melempem di hadapan dolar AS?
Berdasarkan data terkini, kurs rupiah terhadap dolar AS sempat menembus angka Rp17.261—angka yang jadi rekor terendah sepanjang sejarah. Bahkan di jam-jam tertentu, nilainya sempat berkisar di Rp16.950 dan Rp16.883 tergantung dari platform referensi yang digunakan.
Pakar ekonomi dari Universitas Islam Indonesia, Listya Endang Artiani, menyebut penurunan ini bukan tanpa sebab. Kombinasi faktor eksternal dan internal membuat rupiah semakin kehilangan tenaga untuk bertarung di pasar mata uang global.
Dari sisi luar negeri, penyebab utamanya adalah penguatan dolar akibat naiknya suku bunga acuan The Fed. Ketika imbal hasil di Amerika lebih menggiurkan, para investor global pun ramai-ramai menarik dana mereka dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
BACA JUGA:Jurus BNI Jaga Kinerja di Tengah Pelemahan Rupiah
BACA JUGA:Ini Dia Penyebab Rupiah Drop, Tembus Level Terendah Sepanjang Masa!
Pelemahan ini tidak hanya soal angka di layar bursa, tetapi punya dampak nyata ke kantong masyarakat. Pelaku usaha jadi kesulitan menyesuaikan harga, dan nilai utang luar negeri yang berdenominasi dolar otomatis membengkak seperti balon udara.
Apalagi menjelang Lebaran dan musim pembayaran utang luar negeri perusahaan, permintaan terhadap dolar melonjak drastis. Kondisi ini menambah tekanan pada rupiah yang sudah lebih dulu kelelahan menghadapi gempuran sentimen negatif global.
Tak hanya soal ekonomi luar, kondisi domestik juga memberi kontribusi terhadap kelesuan rupiah. Neraca perdagangan yang kurang kinclong, cadangan devisa yang tergerus, hingga isu stabilitas politik menjadi faktor-faktor yang memperkeruh suasana.
Menurut Listya, jika kondisi ini tak segera direspons dengan kebijakan yang tepat dan komunikasi yang jelas dari Bank Indonesia maupun pemerintah, bisa memicu efek domino. Mulai dari inflasi barang impor, defisit transaksi berjalan, hingga hilangnya kepercayaan investor asing bisa terjadi dalam waktu singkat.
BACA JUGA:ShopeePay Bagi-Bagi THR Hingga 5 Juta Rupiah! Begini Cara Ikutannya Biar Kamu Nggak Ketinggalan
Yang lebih mengkhawatirkan, pasar juga merespons kebijakan The Fed yang belum berniat menurunkan suku bunga dalam waktu dekat. Hal ini makin memperkuat posisi dolar dan memperlemah posisi mata uang negara berkembang seperti rupiah.
Analis pasar keuangan, Ibrahim Assuabi, menambahkan bahwa data ketenagakerjaan AS yang di atas ekspektasi juga memperkuat indeks dolar. Daya tarik dolar sebagai aset aman pun meningkat di tengah ketidakpastian global yang tak kunjung reda.
Salah satu penyebab tambahan adalah kebijakan dagang Presiden AS Donald Trump yang kembali membara dengan tarif impor baru terhadap berbagai negara, termasuk Indonesia. Perang dagang yang kembali memanas ini seperti bara dalam sekam bagi perekonomian dunia.
Tak hanya itu, Trump juga menyampaikan niat memberlakukan tarif "besar-besaran" untuk sektor farmasi dan produk dari Tiongkok. China pun tak tinggal diam, mereka mengajukan permintaan konsultasi ke WTO dan siap dengan jurus balasan yang tak kalah sengit.
BACA JUGA:Aliran Dana Ratusan Miliar Rupiah Dari Luar Negeri ke Rekening 21 Bendahara Parpol Dibongkar PPATK
Efek dari kebijakan Trump ini pun terasa langsung di pasar keuangan. Investor menjadi lebih berhati-hati dan banyak yang memilih keluar dari pasar negara berkembang untuk menghindari risiko yang tak terprediksi.
Di dalam negeri, masalah penerimaan pajak yang seret juga turut menambah tekanan terhadap fiskal negara. Dalam dua bulan pertama 2025, APBN tercatat mengalami defisit hingga Rp31,2 triliun, sementara penarikan utang mencapai Rp220 triliun.
Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan, menyebut bahwa kondisi fiskal ini menjadi lampu kuning bagi investor yang mengincar aset rupiah. Ketika risiko fiskal membayangi, minat terhadap surat utang negara pun bisa ikut menurun.
Selain itu, efek libur Lebaran juga membawa dampak psikologis terhadap pasar. Saat bursa tutup, pasar global tetap bergerak, dan saat kembali dibuka, terjadi penyesuaian harga yang membuat rupiah terkejut seolah baru bangun dari tidur panjang.
BACA JUGA:IndiHome Gelar Content Creation Competition Berhadiah Ratusan Juta Rupiah
BACA JUGA:Duh, Rupiah Melemah Lagi, Kini Sudah Diangka Rp 15.575 Per dolar AS
Maybank Indonesia Economic Research menyatakan bahwa bukan hanya rupiah yang melemah, tapi juga mata uang Asia lainnya seperti ringgit Malaysia, yuan China, dan dolar Taiwan. Jadi, pelemahan rupiah ini bukan sekadar masalah domestik, tapi juga cerminan kondisi global yang sedang tidak stabil.
Data menunjukkan bahwa arus keluar dana asing dari pasar keuangan Indonesia cukup besar. Investor asing mencatat net sell sebesar US$227,95 juta, yang tentu saja menekan nilai tukar rupiah lebih dalam.
Level support dan resistance USD/IDR saat ini berada di kisaran Rp16.804 dan Rp17.000. Jika tekanan terus berlanjut tanpa intervensi berarti, bukan tidak mungkin rupiah akan menembus batas psikologis baru.
Maka dari itu, diperlukan strategi konkret untuk memulihkan kepercayaan pasar. Baik dari sisi kebijakan moneter yang bijak, maupun kebijakan fiskal yang efisien dan transparan.
BACA JUGA:Sindiran UAS, Unggah Karikatur Patung Singa Sambut Gembira Tikus-tikus yang Membawa Rupiah
BACA JUGA:Lebih Hemat, Beli Produk Xiaomi Berkesempatan Raih “Lucky Draw” Senilai Total Miliaran Rupiah
Pemerintah juga perlu mempercepat reformasi struktural agar ekonomi lebih tahan terhadap guncangan global. Diversifikasi ekspor, peningkatan investasi lokal, dan perbaikan iklim usaha adalah kunci agar rupiah tak terus-terusan melemah.
Rupiah memang pernah berjaya, tapi bukan berarti kini harus selalu jadi bulan-bulanan dolar. Dengan sinergi yang kuat antara otoritas moneter, fiskal, dan pelaku usaha, bukan hal mustahil bagi rupiah untuk kembali mengangkat kepala.
Karena sejatinya, mata uang bukan sekadar alat tukar, tapi juga simbol kepercayaan sebuah bangsa. Dan saat kepercayaan itu dijaga, rupiah bisa kembali menguat—bukan hanya di pasar uang, tapi juga di hati rakyatnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: