Paradoks Ketahanan Keluarga di Banyumas: Regulasi Maju, Lembaga Justru Menghilang
Atik Luthfiyah, Magister Adminstrasi Publik, Universitas Jenderal Soedirman--
Oleh:
Atik Luthfiyah – Program Magister Administrasi Publik
Universitas Jenderal Soedirman
[email protected]
Keluarga sering disebut sebagai benteng pertama sebuah masyarakat. Dari rumah, anak belajar nilai, karakter, dan cara hidup. Tetapi di Banyumas, fondasi yang seharusnya kokoh itu justru sedang goyah.
Dalam empat tahun terakhir, Kabupaten Banyumas mencatat rata-rata lebih dari 4.000 kasus perceraian setiap tahun. Jika dirata-rata, angka itu setara dengan 11–12 perceraian per hari—atau satu pasangan bercerai setiap dua jam.
Data dari Pengadilan Agama menunjukkan mayoritas gugatan datang dari pihak istri, terutama karena persoalan ekonomi, pertengkaran berkepanjangan, atau pasangan yang meninggalkan rumah.
Di saat angka perceraian masih tinggi, jumlah pasangan yang menikah justru menurun. Sebaliknya, permohonan dispensasi kawin meningkat, umumnya karena kehamilan di luar nikah. Fenomena ini menandakan rapuhnya pondasi sosial di tingkat keluarga.
-Ledakan Kasus Kekerasan dan Pergaulan Berisiko
Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Banyumas mencatat lebih dari 200 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2024. Angka itu naik sekitar 25 persen dari tahun sebelumnya, termasuk beberapa kasus incest yang membuat publik geram.
Masalah kesehatan reproduksi juga mengkhawatirkan. Banyumas berada di posisi kedua kasus HIV/AIDS tertinggi di Jawa Tengah sepanjang 2024, dengan 209 kasus baru, sebagian besar berasal dari kelompok mahasiswa dan pekerja swasta.
Tak hanya itu, Polresta Banyumas mengungkap 164 tersangka kasus narkoba, mayoritas berusia produktif. Sementara angka stunting masih di kisaran 19,6 persen, jumlah anak putus sekolah mencapai lebih dari 13 ribu, dan kemiskinan tetap di atas 11 persen. Bahkan ribuan penerima bansos dicoret karena terindikasi judi online.
Rangkaian fakta ini menunjukan gambaran yang sama: keluarga di Banyumas sedang menghadapi tekanan berat dari berbagai sisi ekonomi, moral, hingga kesehatan.
-Saat Kebijakan Bergerak Maju, Lembaga Justru Dipangkas
Melihat kondisi tersebut, DPRD Banyumas tengah menyusun Raperda Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga. Aturan ini diharapkan menjadi pedoman bagi semua pihak dalam memperkuat ketahanan keluarga.
Namun ironisnya, pada saat regulasi ingin diperkuat, Pemerintah Kabupaten Banyumas justru menghapus Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan KB (DPPKBP3A) melalui perubahan struktur organisasi.
Fungsi-fungsi penting yang sebelumnya terintegrasi kini dipisah ke beberapa dinas. Padahal lembaga tersebut selama ini menjadi pusat koordinasi berbagai program perlindungan anak, pemberdayaan perempuan, hingga pengendalian penduduk.
Kebijakan ini menimbulkan paradoks: regulasi untuk ketahanan keluarga diperkuat, tetapi organ pelaksana yang seharusnya menjadi ujung tombak justru dilemahkan.
Efisiensi yang Berujung Tidak Efisien
Alasan pembubaran OPD adalah penyederhanaan birokrasi. Namun dalam praktik, fungsi yang sebelumnya berada di bawah satu atap kini tersebar dan kurang terkonsolidasi.
Program keluarga, perlindungan anak, pemberdayaan perempuan, hingga KB kini berjalan sendiri-sendiri. Garis koordinasi kabur, dan pekerjaan lapangan berisiko tumpang tindih. Alih-alih efisiensi, kebijakan ini justru membuka potensi inefisiensi baru.
Regulasi Bukan Akhir, Justru Awal Tantangan
Raperda Ketahanan Keluarga diproyeksikan selesai pada akhir 2025, sementara struktur organisasi yang baru berlaku mulai 2026.
Tantangan terbesar bukan pada penyusunan aturan, melainkan implementasi di lapangan.
Tanpa kelembagaan yang kuat, Perda berisiko hanya menjadi dokumen yang bagus di atas kertas, tetapi minim dampak bagi masyarakat.
Langkah yang Perlu Diprioritaskan
Untuk menghindari ketidaksinkronan kebijakan dan kelembagaan, ada beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan:
Membentuk badan koordinasi ketahanan keluarga di bawah Sekretariat Daerah agar fungsi lintas dinas tidak terpecah.
Mengembangkan sistem data terpadu berbasis BKKBN sebagai dasar kebijakan berbasis bukti.
Mengadopsi pendekatan family budgeting dalam perencanaan program di seluruh OPD.
Mengoptimalkan peran PKK, PUSPAGA, lembaga keagamaan, dan perguruan tinggi dalam sinergi pembangunan keluarga.
Memperkuat pengawasan DPRD agar pelaksanaan kebijakan tidak berhenti pada laporan administratif.
Menjaga Fondasi Sosial Banyumas
Situasi di Banyumas adalah cermin bagi banyak daerah lain. Ketahanan keluarga tidak bisa hanya dipandang sebagai urusan domestik, tetapi sebagai pilar utama pembangunan sosial.
Jika keluarga rapuh, efeknya menyebar ke seluruh aspek kehidupan: pendidikan anak, kesehatan reproduksi, kriminalitas, hingga kemiskinan. Karena itu, kebijakan publik harus memastikan keluarga menjadi pusat perhatian pembangunan, bukan hanya pelengkap administratif.
Reformasi birokrasi seharusnya memperkuat kemampuan pemerintah dalam menjaga keluarga, bukan sebaliknya. Dari keluarga yang kuat, lahirlah masyarakat yang berdaya dan daerah yang tangguh.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


