Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Begitulah penderitaan warga Kecamatan Sidareja. Bagaimana tidak. Belum genap sebulan menikmati riuh rendah, senda gurau dan tinggal di rumah masing-masing akibat banjir bulan lalu, kini mereka sudah harus kembali mengungsi karena banjir.
Sambil duduk di tepian lantai pendopo, seorang perempuan terlihat melamun. Entah apa yang ada dibenaknya. Mukanya terlihat mengarah ke genangan air yang ada di jalan depan pendopo Balai Desa Sidareja. Sendirian dan tidak ada satupun orang yang mengajaknya berbincang.
Pemandangan berikutnya, ada perempuan yang lebih muda dan menggenakan jilbab menghampiri. Terdengar perbincangan dalam bahasa jawa khas banyumasan. Obrolan itu berlangsung singkat. Perempuan berjilbab kembali masuk ke ruang pengungsi. Dan perempuan setengah baya itu kembali seorang diri.
Perempuan yang belakangan diketahui bernama Rohayati ini kemudian menerima ajakan wawancara. Suaranya tenang, meski raut muka tetap menggambarkan kerisauan. Terlebih jika mengingat cucunya yang masih balita dan baru berumur 3 tahun. Tidur dan tinggal di pengungsian, bagi anak sekecil itu tidak pernah nyaman.
"Tiga cucu saya bawa ngungsi. Yang paling kecil baru tiga tahun," katanya pelan.
Dia masih ingat betul banjir yang terjadi pada September lalu. Dia bersama suami, 5 anak dan ketiga cucunya harus meninggalkan rumah pada malam buta. Tempat yang dituju adalah lokasi pengungsian dan harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 1 km. Rumahnya sudah tergenang setinggi pinggang dan harus membawa perbekalan untuk bertahan di lokasi pengungsian.
Bertahan di lokasi pengungsian, selalu membawa penderitaan tersendiri. Dia harus menahan hawa dingin karena tidur diatas lantai beralaskan kasur tipis. Selimutpun harus direlakan untuk berbagi dengan cucu dan anaknya. Tidak jarang, dia harus terjaga pada malam hari.
Urusan makan, para pengungsi mengandalkan bantuan makanan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cilacap. Lembaga swasta ataupun relawan kerap kali memberikan bantuan serupa. Makanan yang mereka dapatkan dalam kemasan kaleng. Sedangkan sayuran, harus mereka bawa sendiri atau diusahakan bersama-sama.
"Kadang patungan beli sayuran dan gas. Lalu kita masak bareng-bareng," ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Saidah. Dia bahkan sudah sangat familiar dengan muka para pemburu berita. Berulang kali pula dia diminta menjadi koordinator pengungsi yang bertahan di Koramil Sidareja. Kondisi dan penderitaan ini dia rasakan tiap kali musim penghujan tiba.
"Tiap penghujan saya pasti ngungsi hingga hafal sama wartawan yang sering kesini," ujarnya. (*/ttg)