Fungsi-fungsi penting yang sebelumnya terintegrasi kini dipisah ke beberapa dinas. Padahal lembaga tersebut selama ini menjadi pusat koordinasi berbagai program perlindungan anak, pemberdayaan perempuan, hingga pengendalian penduduk.
Kebijakan ini menimbulkan paradoks: regulasi untuk ketahanan keluarga diperkuat, tetapi organ pelaksana yang seharusnya menjadi ujung tombak justru dilemahkan.
Efisiensi yang Berujung Tidak Efisien
Alasan pembubaran OPD adalah penyederhanaan birokrasi. Namun dalam praktik, fungsi yang sebelumnya berada di bawah satu atap kini tersebar dan kurang terkonsolidasi.
Program keluarga, perlindungan anak, pemberdayaan perempuan, hingga KB kini berjalan sendiri-sendiri. Garis koordinasi kabur, dan pekerjaan lapangan berisiko tumpang tindih. Alih-alih efisiensi, kebijakan ini justru membuka potensi inefisiensi baru.
Regulasi Bukan Akhir, Justru Awal Tantangan
Raperda Ketahanan Keluarga diproyeksikan selesai pada akhir 2025, sementara struktur organisasi yang baru berlaku mulai 2026.
Tantangan terbesar bukan pada penyusunan aturan, melainkan implementasi di lapangan.
Tanpa kelembagaan yang kuat, Perda berisiko hanya menjadi dokumen yang bagus di atas kertas, tetapi minim dampak bagi masyarakat.
Langkah yang Perlu Diprioritaskan
Untuk menghindari ketidaksinkronan kebijakan dan kelembagaan, ada beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan:
Membentuk badan koordinasi ketahanan keluarga di bawah Sekretariat Daerah agar fungsi lintas dinas tidak terpecah.
Mengembangkan sistem data terpadu berbasis BKKBN sebagai dasar kebijakan berbasis bukti.
Mengadopsi pendekatan family budgeting dalam perencanaan program di seluruh OPD.
Mengoptimalkan peran PKK, PUSPAGA, lembaga keagamaan, dan perguruan tinggi dalam sinergi pembangunan keluarga.
Memperkuat pengawasan DPRD agar pelaksanaan kebijakan tidak berhenti pada laporan administratif.