Peningkatan suhu global tak lepas dari lonjakan gas rumah kaca seperti karbon dioksida, metana, dan nitrogen oksida. Ketiganya kini jauh melampaui kadar normal sejak zaman pra-industri.
Menurut Organisasi Meteorologi Dunia, kandungan karbon dioksida naik 151 persen dibanding era pra-industri. Sementara metana bahkan melonjak 265 persen, menjadikannya ancaman besar bagi stabilitas iklim global.
BACA JUGA:Hari Bumi, Kampus UMP Bebas Asap Kendaraan
BACA JUGA:Ratusan Warga Kalilunjar Banjarnegara Mandi Lumpur Peringati Hari Bumi
China saat ini menduduki peringkat pertama sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi. Amerika Serikat berada di posisi kedua, sementara Indonesia juga termasuk dalam daftar sepuluh besar.
Padahal dunia telah sepakat melalui Kesepakatan Paris 2015 untuk menahan suhu global tetap di bawah 1,5 derajat Celsius. Namun, kenyataannya, angka ini telah terlewati pada tahun 2024 lalu.
Dampak yang Makin Terasa
Dampak nyata dari pemanasan global terlihat dari kenaikan permukaan air laut yang semakin cepat. Dalam sepuluh tahun terakhir, angka kenaikannya hampir dua kali lipat dibanding periode sebelumnya.
Bencana alam seperti badai, banjir, dan kekeringan makin sering terjadi dan semakin merusak. Selain itu, penyebaran penyakit tropis kini mulai merambah wilayah yang sebelumnya aman.
BACA JUGA:Hari Bumi, Sumanto Ikut Bersih Sungai
BACA JUGA:Wajib Pajak Bumi dan Bangunan di Banyumas Naik 10 Ribu Orang
Bencana ini berpotensi memicu konflik sosial, kelangkaan pangan, hingga migrasi besar-besaran. Kota-kota pesisir berisiko tenggelam, memaksa jutaan orang kehilangan tempat tinggal.
Kegagalan menahan suhu global dalam batas aman menandakan bahwa bumi sudah masuk ke fase "tipping point". Di tahap ini, perubahan iklim bisa menjadi permanen dan sulit dipulihkan.
Hari Bumi dan Generasi Masa Depan
Generasi muda menanggung beban besar dari kesalahan dan kelalaian generasi sebelumnya. Studi Kompas menunjukkan bahwa Generasi Y, Z, dan Alpha harus berjuang menekan emisi karbon dengan sisa jatah yang semakin menipis. Padahal, mereka bukan pelaku utama dari kerusakan tersebut.
Krisis iklim membawa berbagai risiko mulai dari rusaknya lahan pertanian hingga hilangnya akses pendidikan. Bencana alam merusak infrastruktur penting yang berdampak langsung pada kualitas hidup generasi muda. Tak hanya itu, paparan zat beracun dan polusi udara turut mengancam kesehatan fisik dan mental mereka.
BACA JUGA:Pengemis Penyundut Rokok Dipulangkan ke Bumiayu, Pernyataannya Berubah-Ubah di Hadapan Petugas