Pelaku industri luar negeri menilai bahwa Bank Indonesia kerap merilis kebijakan tanpa melalui proses diskusi yang inklusif. Ketidakhadiran konsultasi yang melibatkan pelaku usaha dari luar negeri membuat kebijakan terasa berat sebelah.
Perusahaan pembayaran asal AS menyatakan kekhawatiran bahwa kebijakan ini akan menghambat penggunaan sistem pembayaran elektronik dari Amerika Serikat. Mereka menganggap Indonesia terlalu menutup diri terhadap inovasi global dalam industri pembayaran.
BACA JUGA:One Way Nasional Resmi Diberlakukan, Arus Balik Lebih Terkendali
USTR berharap agar ke depan Indonesia bisa lebih terbuka terhadap masukan dari pelaku usaha internasional. Tujuannya adalah menciptakan ekosistem pembayaran digital yang inklusif, kompetitif, dan bisa terhubung secara global.
Kritik terhadap QRIS bukan hanya tentang teknis implementasi, tetapi juga soal prinsip transparansi dan kolaborasi global. Jika QRIS ingin menjadi sistem pembayaran digital yang sukses dan digunakan secara luas, maka penting untuk membuka ruang dialog lintas negara.
Selain sistem pembayaran, laporan USTR juga menggarisbawahi hambatan lain yang dihadapi pelaku usaha AS di Indonesia. Isu pajak menjadi sorotan utama, terutama dalam hal transparansi penilaian dan proses restitusi.
Proses audit pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak dianggap terlalu rumit dan tidak transparan. Pelaku usaha asing mengeluhkan denda yang tinggi dan lamanya waktu penyelesaian sengketa di Pengadilan Pajak.
BACA JUGA:Transfez, Aplikasi Transfer Uang Internasional Terbaik untuk Semua Kebutuhanmu
Bahkan untuk minuman dengan kadar alkohol tinggi, perbedaannya bisa mencapai 52 persen lebih mahal bagi produk luar. Ini dianggap sebagai bentuk proteksi yang tidak adil dan bisa melanggar prinsip perdagangan bebas.
Kebijakan fiskal lain seperti kenaikan tarif PPh Pasal 22 atas barang impor juga tak luput dari perhatian. USTR menilai langkah ini membebani pelaku usaha asing dan menyulitkan proses bisnis di Indonesia.
PMK No. 41/2022 yang memperluas cakupan barang yang dikenai PPh Pasal 22 dinilai sebagai penghalang arus barang masuk. Pelaku usaha juga mengalami kesulitan dalam proses pengembalian pajak yang telah dibayar di muka saat impor.
Tak jarang proses restitusi pajak ini bisa memakan waktu bertahun-tahun, membuat pelaku usaha menanggung beban finansial tambahan. Melihat berbagai sorotan ini, tampaknya Indonesia perlu meninjau ulang sejumlah kebijakan yang berpotensi menghambat kerja sama internasional.
BACA JUGA:Festival Gunung Slamet Kembali Masuk Kalender Even Nasional
BACA JUGA:Dompet Digital untuk Transaksi Internasional