Penulis:
1. Bachtiar Khadafi Wibowo
2. Fikri Afifudin
3. Imam Mutaqin
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA KUSUSMA PURWOKERTO
Dosen : DR. ETI MUL EROWATI., SH., M.HUM.
Kasus hukum jual beli tanah sengketa di Indonesia seringkali melibatkan isu-isu kompleks terkait keabsahan transaksi, hak atas tanah, dan penyelesaian sengketa.
Kasus Jual Beli Tanah Sengketa
1. Kasus Pembeli Melawan Pembeli
- Dalam Putusan Nomor 952/K/Pdt/2016, terjadi sengketa antara dua pembeli yang mengklaim hak atas satu bidang tanah yang sama. Penggugat, yang telah membeli tanah dari penjual (tergugat III) dan mendapatkan sertifikat hak milik, tidak dapat menguasai tanah tersebut karena dikuasai oleh tergugat I yang juga mengklaim hak atas tanah itu. Pengadilan memutuskan bahwa penggugat adalah pemilik sah karena telah melakukan transaksi di hadapan PPAT dan memenuhi semua prosedur hukum yang diperlukan. Hakim menilai bahwa transaksi yang dilakukan oleh tergugat I tidak memenuhi syarat sahnya peralihan hak, sehingga penggugat berhak atas ganti rugi[1].
2. Proses Jual Beli Tanah Tidak Sesuai Prosedur
- Banyak sengketa muncul akibat jual beli tanah yang tidak mengikuti prosedur hukum yang benar. Misalnya, jika jual beli dilakukan tanpa kehadiran PPAT atau tidak didaftarkan secara resmi, hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian hukum. Data menunjukkan bahwa antara 2018-2020 terdapat 8.625 kasus sengketa tanah yang sebagian besar disebabkan oleh proses jual beli yang tidak sesuai[3].
3. Tanah sebagai Objek Sita Jaminan
- Dalam beberapa kasus, tanah yang sedang dalam sengketa juga dijadikan objek jaminan untuk pinjaman bank. Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) huruf e Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, pendaftaran peralihan hak atas tanah tidak dapat dilakukan jika tanah tersebut merupakan objek sengketa di pengadilan[4]. Oleh karena itu, transaksi jual beli atas tanah yang sedang dalam sengketa dianggap batal demi hukum.
Dasar Hukum dalam Hukum Jaminan
1. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA
- UUPA No. 5 Tahun 1960 mengatur hak-hak atas tanah di Indonesia dan menetapkan bahwa setiap peralihan hak harus dilakukan dengan akta otentik di hadapan PPAT.
2. Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah
- Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 mengatur tentang pendaftaran tanah dan menetapkan bahwa peralihan hak atas tanah harus didaftarkan untuk memberikan kepastian hukum.
3. Ketentuan Hukum Jaminan
- Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah objeknya harus tertentu. Tanah yang sedang dalam sengketa tidak memenuhi syarat ini sehingga transaksi jual belinya batal demi hukum.
Kesimpulan
Kasus hukum jual beli tanah sengketa menunjukkan pentingnya kepatuhan terhadap prosedur hukum dalam transaksi jual beli untuk mencegah sengketa di masa depan. Transaksi harus dilakukan secara sah di hadapan PPAT dan didaftarkan untuk memastikan keabsahan hak atas tanah. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui jalur litigasi atau mediasi dengan mempertimbangkan dasar hukum yang berlaku.
Daftar Pustaka
1. Agus Widjayanto, R.B. "Pembeli Melawan Pembeli dalam Sengketa Jual Beli Tanah." Jurnal Yudisial.