Bom Panci Geret Mahasiswa

Bom Panci Geret Mahasiswa

Jika Terbukti Terlibat Terorisme Langsung Dipecat SUKOHARJO – Jaringan bom panci menyeret beragam profesi. Setelah tukang cukur di Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, dan buruh serabutan di Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, terduga teroris lainnya diketahui berstatus sebagai mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di kota Solo. Adalah Khafid Fathoni alias KF, 22, yang ditangkap anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri di Desa Walikukun, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi, Minggu (11/12). Wakil Rektor III IAIN Surakarta Syamsul Bakri membenarkan nama KF terdaftar di database mahasiswa IAIN Surakarta. ”Memang ada (nama KF, Red). Tapi perlu dicek dulu apakah benar yang dimaksud adalah Khafid Fathoni yang ada di kampus kami. Belum dapat surat dari pihak kepolisian juga berkaitan penangkapan itu,” katanya. Bila benar KF merupakan mahasiswa IAIN Surakarta dan menjadi terduga teroris, pihak kampus langsung mengeluarkan surat Drop Out (DO). Karena telah melakukan aktivitas melawan negara. Tentang keseharian nama KF yang terdaftar dalam database mahasiswa IAIN Surakarta, lanjut Syamsul, dia memiliki karakter pendiam. Jika sampai terlibat kasus terorisme, itu lantaran pergaulan di luar kampus. Wakil rektor mengklaim pengawasan pergaulan dalam kampus seperti organisasi sangat terpantau. Sementara itu, kemarin, Densus dibantu anggota Polres Sukoharjo dan Polresta Surakarta menggeledah tempat kos KF di Kampung Keputren RT 2 RW 8, Kelurahan/Kecamatan Kartasura, Sukoharjo sekitar pukul 11.00. Tiba di lokasi, aparat melakukan penyisiran dan memasang garis polisi dilanjutkan menggeledah kamar kos KF. 1,5 jam kemudian polisi keluar kamar kos dengan membawa barang bukti puluhan botol berisi cairan kimia, laptop, rice cooker, dan lainnya. Kapolres Sukoharjo AKBP Ruminio Ardano menjelaskan, penggeledahan kamar kos KF berkaitan dengan penangkapan terduga teroris di Ngawi. ”Saya tidak bisa berbicara banyak. Ini ranah Densus 88 Antiteror. Kita (Polres Sukoharjo, Red) hanya mem-backup,” kata dia. Penjaga kos Mutiah Mujiati mengatakan, KF tinggal di tempat tersebut sejak 3 bulan lalu. Selama ini tidak ada gelagat mencurigakan dari aktivitas KF. ”Pendiam orangnya. Bayar kos juga tertib,” ungkap Mutiah. Dia kali terakhir bertemu KF di kos, Sabtu (10/12). Tidak lama kemudian KF pamit untuk pergi bermain. Pemilik rumah kos Agus Setyawan menegaskan telah memercayakan pengelolaan kos kepada Mutiah. Tugasnya hanya menarik uang kos dan mengecek kondisi fisik bangunan. ”Saya tidak kenal (KF, Red). Pengelolaan kos sudah saya pasrahkan,” tutur Agus. Pantauan Jawa Pos Radar Solo, penggeledahan kamar kos KF menyita perhatian warga sekitar. Mereka menunggu hingga aparat meninggalkan lokasi. ”Sing endi sih kamare (yang mana kamarnya, Red),” celetuk seorang warga. Lurah Kartasura Didik tidak menyangka wilayahnya menjadi target penggeledahan Densus 88. ”Saya akan tertibkan lagi untuk administrasi warga kos. Untuk yang belum menikah bisa mengumpulkan KTP. Sedangkan yang sudah menikah, harus ada KTP dan surat nikah,” tegasnya. Sementara itu, keluarga Wawan Prasetya alias (WP), terduga teroris warga Desa Troketon, Kecamatan Pedan mempertanyakan penangkapan WP. “Sampai saat ini kita belum ada pemberitahuan tentang alasan penangkapannya. Makanya itu keluarga besar mau melakukan diskusi terlebih dahulu untuk langkah selanjutnya. Belum tahu mau ke Polsek Pedan apa langsung ke Polres Klaten,” ucap kakak ipar Wawan Sri Widodo. Mereka khawatir peristiwa yang menimpa terduga teroris Siyono warga Desa Pogung, Kecamatan Cawas terulang. Yaitu pulang tinggal nama setelah ditangkap Densus. “Banyak sekali kasus-kasus seperti itu. Untuk posisi Wawan ada di mana, keluarga besar juga belum mengetahuinya. Makanya itu kita juga akan menanyakan ke aparat kepolisian,” tegasnya. Pasca-penangkapan WP, sang istri A bersama putranya yang masih berumur satu tahun dibawa ke kerabatnya di Solo. Sedangkan orang tua WP, Sakiman (65), dan Partini (60), mengalami shock berat. Sukiman melihat langsung bungsu dari empat bersaudara itu ditangkap. Yakni ketika memotong kayu di utara kediamannya Widodo. Dengan cepat WP dibawa masuk ke dalam mobil berwarna putih dan langsung meninggalkan lokasi. “Penangkapan terjadi begitu cepat. Alat untuk memotong kayu ikut dibawa ke dalam mobil,” terang Widodo. Di mata keluarga, WP dikenal pekerja keras sebagai tukang pasang plafon. Tidak ada kegiatan yang mencurigakan. “Di beberapa kegiatan perkumpulan kampong, Wawan aktif menjadi sekretaris hingga bendahara. Di kegiatan kepemudaan dia ditunjuk menjadi seksi agama. Memang sepengetahuan saya tidak ada yang menjurus pada hal-hal mencurigakan,” urai Widodo. Salah seorang tetangga iti Suratmi, 60, tak menyangka WP harus berurusan dengan Densus 88. “Wawan yang selama ini saya kenal hanya bekerja memasang plafon rumah. Sama sekali tidak ada yang mencurigakan,” jelasnya. Temuan bom panci di Bekasi, Jawa Barat menambah panjang daftar kasus terorisme di tanah air. Pengamat aksi terorisme Universitas Indonesia (UI) Solahudin mencatat, dari 2002 hingga 2016, lebih dari 260 serangan dan 1.050 orang ditetapkan sebagai tersangka maupun terpidana. Diterangkan Solahudin, pemain lama tidak berhenti melakukan regenerasi menyebarkan paham radikalisme. Mereka menyasar kawula muda. “Misalnya pemuda yang tinggal jauh dari keluarga dan memiliki banyak masalah, ditambah emosinya yang labil,” jelasnya kemarin (12/12). Semakin mudah ketika penyebaran radikalisme tersebut menyasar orang-orang muda yang mempunyai kekecewaaan besar terhadap pemerintahan. “Kalau sudah tahap ini di-omongi apa saja maka akan diterima. Bahkan mereka siap mati atas nama agama,” terang Solahudin. Apakah media sosial bisa disalahgunakan menyebarkan radikalisme? Solahudin menuturkan tidak menutup kemungkinan untuk itu. Namun sekarang potensinya sangat tipis karena kepolisian telah membentuk tim cyber crime. “Sekarang cukup sulit, web berbau radikal, polisi akan segera melaporkan ke Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika,Red) untuk segera di blokir,” ungkapnya. Lebih lanjut diterangkan Solahudin, aksi terorisme dipengaruhi oleh persaingan 5 kelompok besar jaringan ISIS. “Masing-masing memiliki pemimpun yang inigin menunjukkan menunjukkan kekuatan di mata pemimpin pusat. Untuk itu mereka berlomba-lomba menebar teror di Indoneia,” terangnya. Dari mana para pelaku mendapatkan ilmu merakit bom? Solahudin menduga memakai cara klasik, yakni telegram. Meskipun terkesan lawas, tapi cara ini sulit dideteksi aparat. Terkait beragam profesi para terduga teroris, Solahudin mengatakan hal tersebut hanya untuk penyamaran. “Mereka harus mampu menutupi identitasnya dan dan memiliki kehidupan layaknya masyarakat umum. Tapi kelemahannya kurang bisa beradaptasi terutama bila tinggal di wilayah yang tidak sejalan dengan pola pikir mereka,” urai dia. Anggota Komisi III DPR RI Mohamad Toha mengingatkan generasi muda agar tidak mudah terbujuk dengan paham radikal yang mengarah pada terorisme. Hal itu disampaikan Toha saat menjadi pembicara dalam sosialisasi empat pilar kebangsaan di kawasan Mangkubumen, Kecamatan Banjarsari, Senin (12/12). Menurutnya terduga terorisme didominasi oleh kaum muda dengan tingkat intelektual di atas rata-rata. Tingginya intelegensia tersebut menjadi bumerang setelah doktrin keagamaan ditanamkan. Pria yang pernah menjabat sebagai wakil bupati Sukoharjo itu menyebut pemerintah harus menanamkan ideologi Pancasila sebagai dasar hidup bernegara lewat beragam cara. Namun yang paling ampuh adalah dari keluarga. “Orang tua harusnya tahu bagaimana pemikiran sang anak dan apa saja yang dilakukan,” imbuhnya. Faktor ekonomi, kata Toha, disebut sebagai akar terjadinya kejahatan. Kondisi ekonomi yang relatif sulit serta terbatasnya lapangan pekerjaan membuat masyarakat putus asa dan mudah dipengaruhi paham radikal. Dari sisi regulasi, pembahasan revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Terorisme masih dalam tahap penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM). Di internal panitia khusus (pansus) cukup alot membahas pelanggaran Hak Asasi Manusia(HAM) ketika menangkap orang yang masih terduga teroris. Persoalan ini cukup pelik mengingat ada standar ganda yang harus dilakukan pihak kepolisian khususnya dalam menjaga stabilitas keamanan. “Kita tidak bisa menangkap orang sebelum dia melakukan tindakan. Tetapi menjadi bahaya ketika sudah duaarrr (meledak,Red) baru ditangkap. Ini yang menurut kami pentingnya mencegah,” papar Toha. Budayawan kota Solo Tundjung W Sutirto menilai, peran masyarakat sangat penting meminimalkan pengaruh radikalisme. "Peran masyarakat mulai kendor makanya terorisme bisa berkembang,” ungkapnya. Kondisi tersebut, imbuh Tundjung dipengaruhi oleh kemunduran fungsi-fungsi social. Kesadaran dalam bermasyarakat mulai terkikis. “Dari pemberitaan, gelagat terduga teroris sebenarnya sudah terendus warga. Misalnya jarang menghadiri pertemuan di tingkat RT RW maupun kelurahan," katanya.  Ketika masyarakat peka, kecurigaan tersebut bisa diteruskan ke RT, RW, kelurahan dan aparat. Tapi karena saling acuh, baru kebakaran jenggot setelah ada penangkapan atau penggeledahan oleh aparat. (atn/irw/ves/yan/ren/wa)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: