Majikan Dukung Penuh dan Jadi Tester Pertama

Majikan Dukung Penuh dan Jadi Tester Pertama

[caption id="attachment_95757" align="aligncenter" width="100%"] KREATIF: Kania Putri (kiri) mempersilakan rekan-rekannya sesame buruh migran di Hongkong menjajal kerupuk lele (27/12/2015).
MUHAMMAD ALI/Jawa Pos[/caption] Para Buruh Migran di Hongkong yang Rintis Bisnis dari Hasil Belajar BMC Kelompok belajar entrepreneurship Business Model Canvas mendorong sejumlah buruh migran di Hongkong untuk jeli melihat peluang di sekitarnya. Jadi pegangan kala kelak pulang kampung. Berikut laporan wartawan Jawa Pos NORA SAMPURNA yang baru balik dari Hongkong. KANIA Putri hanya punya satu tujuan ketika memutuskan berangkat ke Hongkong: bekerja sebagai buruh migran untuk mengumpulkan uang buat keluarga. Sesederhana itu. Tidak terlintas sedikit pun untuk memiliki usaha. Namun, perkenalan dengan kelompok belajar Business Model Canvas (BMC) mengubah pemikiran Kania. BMC yang digagas Winarsih Satuman dan Tri Sumiyatik ”Zoplo”, dua buruh migran senior di Hongkong, itu memang getol menyebarkan mindset entrepreneurship kepada sesama rekan. BMC juga bisa diartikan Buruh Migran Cerdas. Di salah satu kelas BMC yang rutin diadakan setiap Minggu di taman Festival Walk, Kowloon Tong, Hongkong, dikenalkan tentang masalah, kebutuhan, peluang (MKP) yang bisa dijadikan dasar untuk mencari ide bisnis. ”Pertemuan pertama, kedua, saya masih bingung, diam saja,” kata Kania yang tiba di Hongkong empat tahun silam itu. Tetapi, materi tentang MKP tersebut terngiang terus. Perempuan lulusan madrasah tsanawiyah (setingkat SMP) itu lantas teringat, ketika cuti dan pulang ke tanah air, dirinya dan suami sangat suka makan ikan lele. Nah, sekembali ke Hongkong, ketika kelas BMC hampir selesai, setiap murid diberi tugas menyusun bisnis masa depan. ”Saya buka lagi pelajaran yang saya dapat, memulai usaha tidak harus dengan modal besar, tidak harus berpendidikan tinggi, peluang ada di sekitar kita,” urai perempuan kelahiran Kendal, Jawa Tengah, 14 Januari 1978, itu. Kania lantas berdiskusi dengan suami, M. Faizun Ulu Rosad. Di samping rumah ada lahan kosong yang selama ini tidak dimanfaatkan. ”Kenapa lahannya nggak dibikin budi daya lele saja,” tutur Kania mengenang awal menggeluti dunia usaha. Ide bisnis ikan lele itu pula yang lantas diikutkannya dalam BMC Business Plan Competition yang digelar Universitas Ciputra Entrepreneurship Centre (UCEC). Kania membuat proposal konsep bisnis kerupuk lele dan berhasil menjadi juara kelima. Karena ide bisnis yang baik itu adalah ide yang dijalankan, setelah wisuda BMC pada November, Kania benar-benar merealisasikan proposalnya itu. Kebetulan, ikan lele juga ada di pasar tradisional Hongkong. Karena tinggal di rumah majikan, perempuan berkerudung tersebut mengutarakan niatnya kepada sang majikan dan meminta izin untuk membuat kerupuk lele. Untung, dia mendapat persetujuan, bahkan sangat didukung. ”Majikan saya tahu kalau saya belajar entrepreneurship tiap Minggu. Dia juga tahu mentornya dari Universitas Ciputra, jadi di-support banget,” papar Kania. Maka, Kania membuat kerupuk olahan lele itu di rumah sang majikan. Menjemurnya di rooftop dan di dekat tempat menjemur pakaian. ”Tester pertamanya majikan saya. Dia suka kerupuk udang, lalu setelah mencoba, kerupuk lele juga suka,” lanjut dia. Selain daging lele, kulitnya juga bisa dijadikan kerupuk. Kania memasarkan produk kerupuk lelenya dalam bentuk mentah dan matang. Yang mentah dijual HKD 13 (sekitar Rp 23.100) sebungkus, yang matang dalam kemasan kecil-kecil HKD 5 (Rp 8.900) untuk satu bungkus dan HKD 13 bila membeli tiga bungkus. Dalam waktu singkat, melalui pemasaran via Facebook dan WhatsApp, Kania banyak mendapat pesanan dari teman-teman dan warga setempat. Order juga datang dari negara sekitar Hongkong seperti Taiwan dan Korea Selatan (Korsel). ”Tapi, bergantung cuaca. Minggu-minggu ini order saya stop dulu karena cuaca hujan, tidak ada matahari,” kata Kania. Setelah merasakan serunya berbisnis, Juni nanti Kania berencana pulang ke tanah air dan membesarkan usahanya di Kendal. Dia juga berencana mematenkan usahanya dan mengurus izin produksi. ”Juni nanti pas empat tahun saya di Hongkong, sudah nggak usah balik lagi. Jadi pengusaha lele aja,” harapnya. Bukan hanya Kania, murid BMC lainnya yang sudah merintis bisnis adalah Yani atau yang lebih dikenal dengan nama Zeezoo Alinna di antara sesama teman buruh migran di Hongkong. Zee yang asal Rembang, Jawa Tengah, itu memiliki usaha budi daya jamur kuping di Salatiga. Selain bergabung dengan BMC, perempuan 38 tahun tersebut juga mengikuti komunitas pertanian Dynasty Group di tanah air. Sejak Oktober lalu, dia yang bermitra dengan seorang teman memulai budi daya jamur kuping (jamping) dengan modal Rp 35 juta untuk 10 ribu log jamur. Modal itu termasuk untuk menyewa lahan selama dua tahun, membeli peralatan, dan membuat rumah jamur. Untuk merawat rumah jamur di Salatiga tersebut, dia dibantu Kulafakurosidin, pembimbingnya. Desember lalu dia panen perdana. Hasilnya, 490 kilogram dengan harga per kilogram basah Rp 9.000. ”Sepuluh hari lagi panen kedua dengan jumlah insya Allah dua kali lipat atau sekitar 980 kilogram,” beber Zee. Karena baru merintis, Zee belum memikirkan keuntungan yang diperoleh. Yang terpenting, tabungan dari hasil gajinya bekerja di Hongkong tidak mengendap begitu saja. Di Hongkong, gaji buruh migran sekitar HKD 4.100 (Rp 7 juta). ”Yang lebih utama lagi, membuka lapangan kerja. Saya ada beberapa karyawan yang merawat rumah jamur itu,” ungkapnya. Bekal ilmu dari kelas entrepreneurship yang didapatkan di BMC, Mandiri Sahabatku, dan Sekolah Kehidupan UCEC sangat bermanfaat. Ada pula kelas BMC online yang memudahkan setiap murid untuk belajar dari mana saja. ”Dulu saya pernah buka usaha soto lamongan sebelum berangkat ke Hongkong, tapi ya gagal karena belum punya ilmu manajemen bisnis,” tutur dia. Salah satunya, tentang alokasi dana dan pos-pos keuangan, segmentasi, dan pemasaran. Kelak, saat kontrak kerjanya berakhir di Hongkong pada 2017, Zee memastikan ingin pulang dan membesarkan usaha jamurnya. ”Sekarang saya sudah terpikir untuk membuat bakso jamping. Lagi cari-cari resep yang pas,” kata dia. Bergabung dengan komunitas entrepreneurship seperti BMC membuatnya memiliki support group dan tempat bertanya jika menemui kendala dalam bisnis. ”Tekad kita sukses berjamaah, cepat pulang ke tanah air jadi pengusaha,” ucapnya. Yang segera pulang dalam waktu dekat adalah Nurul Kristiana. Perempuan yang akrab disapa Delrio itu punya Toko Bakery Sahara di Malang yang dijalankan sang suami sejak 2013. ”Tanggal 24 Januari ini saya pulang ke Malang, ingin membesarkan Sahara dengan ilmu yang didapat di kelas BMC,” ucapnya. Selama ini, dia kerap membagikan ilmu yang didapat kepada Hasyim, sang suami. Mulai mengenai inovasi produk, strategi pemasaran, sampai bagaimana ”mengikat” pelanggan. Ibu dua anak tersebut menuturkan, omzet bisnis rotinya per bulan mencapai Rp 32 juta. Sering mendapat pesanan dalam jumlah ribuan. ”Nanti begitu saya pulang, segera merealisasikan program member card, sistem stempel diskon, serta menambah pilihan roti,” tekadnya. Selain mereka, masih banyak para buruh migran yang ulet dan berjiwa entrepreneur. Ada Wahyu Tri Winarti yang memiliki warung bakso di Kalimantan Barat; Nurul Hidayati yang punya usaha las listrik di Madiun, Jawa Timur; Kitin Kurniawati yang berbisnis keripik tempe di Sambas, Kalimantan Barat; dan Sri Wiratmi yang memiliki usaha Sekarsari Mart di Boyolali, Jawa Tengah. Ada pula yang belajar via BMC online, Gito Aditya dari Bali, yang memiliki usaha audio car service. Yang bidang usahanya paling berbeda, barangkali, yang digeluti Ena Chandra. Dia memiliki usaha kapal layar penangkap ikan di Pantai Prigi, Trenggalek. Usaha itu dia rintis karena tergelitik sebuah pertanyaan dalam kelas bisnis Mandiri Sahabatku pada 2012. ”Apa yang ada di sekelilingmu?” Demikian bunyi pertanyaan itu. Ena pun menjawab laut, teringat kawasan sekitar daerah asalnya di tepi pantai. Dari situ dia mengamati prospektifnya usaha kapal layar untuk menangkap ikan. Modalnya tentu tidak sedikit, sekitar Rp 500 juta. ”Saya jelas nggak punya uang sebesar itu. Maka, saya cari partner yang memiliki modal,” ucapnya. Saat ini dia memiliki 25 tenaga kerja untuk berlayar serta 5 orang untuk mekanik dan servis kapal. ”Anak saya yang mengurus transaksi dan pembukuan, saya ajari mengelola bisnis ini,” tutur Ena yang selalu terharu bila mengingat perjalanan bisnis serta ilmu yang didapat dari BMC maupun para mentor. ”Saya sangat berterima kasih kepada bapak Ir Ciputra yang melahirkan program ini, Antonius Tanan yang tak kenal lelah memberikan ilmunya, juga Mbak Winarsih dan Mbak Tri Zoplo, mentor kami di BMC,” lanjut dia. Ena berharap teman-teman sesama buruh migran yang lain secepatnya merintis bisnis. ”Mulailah merintis usaha di tanah air agar ketika pulang nanti sudah lebih kuat. Ada pegangan supaya nggak perlu kembali bekerja di luar negeri,” pesannya. (*/c10/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: