Kasus Ahok Momentum Perbaikan, MUI Tuntut Pemerintah Adil

Kasus Ahok Momentum Perbaikan, MUI Tuntut Pemerintah Adil

JAKARTA— Kasus penistaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama menjadi ujian untuk pemerintah dan masyarakat. Bila sukses melewati ujian atas keadilan, Pemerintah Indonesia dinilai akan memiliki perbaikan hukum. Masyarakat juga akan terus memperbaiki diri dalam kesejahteraan dan perekonomian. Kemarin (9/11) Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar konferensi pers yang merespon perkembangan proses hukum dan berbagai isu seputar kasus dugaan penistaan agama tersebut. Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin menuturkan, kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ini menjadi momentum perbaikan untuk semua elemen, pemerintah dan masyarakat. ”Untuk negara ini, ada ujian apakah dalam kasus penistaan agama pemerintah bersikap adil,” paparnya. Kalau bersikap adil, maka pemerintah kedepan akan mendapatkan kepercayaan masyarakat yang begitu besar. Namun, kalau ketidakadilan yang justru terjadi, maka semua akan melihat. ”Kami ini ingin bersama-sama menjaga negara yang majemuk ini,” ungkapnya. Menurut Din, kasus penistaan agama dan aksi 4 November merupakan salah satu manifestasi atau perwujudan dari banyaknya ketidakadilan yang terjadi. ”Ini belum puncaknya, baru manifestasi,” ujarnya. Untuk masyarakat sendiri, terutama umat Islam, ada perbaikan diri yang harus dilakukan. Yakni, memperbaiki kesejahteraan dan perekonomian. Dia menuturkan, saat ini ada indikasi penguasa ekonomi yang mulai mendikte secara politik. ”Kita ini mau didikte dalam mencari pemimpin,” tuturnya. Dia menegaskan, maka masyarakat harus meningkatkan perekonomiannya. Tak hanya itu, penguasaan dalam teknologi dan semua bidang perlu untuk ditingkatkan. ”Tentu, kita tak mau didiktekan,” paparnya. Lalu, bagaimana kalau ternyata Ahok bebas dan tidak ditemukan pidananya? Salah satu anggota Dewan Pertimbangan MUI Haji Inayah menjelaskan, sesuai dengan sikap MUI bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama. Kalau, dalam gelar perkara ternyata tidak ditemukan adanya pidana, maka terdapat kezaliman yang terencana dan terstruktur. ”Jangan merekayasa sesuatu yang sudah sangat terang,” tegasnya. Din Syamsuddin menambahkan, terlihat adanya pemilihan saksi ahli dari beberapa kelompok. Terutama, untuk saksi ahli agama dan tafsir. Padahal, MUI ini merupakan majelis yang bersatu dari berbagai kelompok agama Islam. ”Tidak ada yang lebih berdasar dari pada saksi ahli dari MUI,” ujarnya. Sementara itu, salah satu anggota Dewan Pertimbangan MUI utusan Al Irsyad Umar Husin menjelaskan, saat ini pemerintah dan kepolisian ingin membuat gelar perkara terbuka. Padahal, gelar perkara itu hanya merupakan kebiasaan dalam penyelidikan. ”Tidak ada dalam undang-undang diatur soal gelar perkara,” ungkapnya. Artinya, gelar perkara itu hanya kebutuhan internal kepolisian untuk menentukan adanya pidana atau tidak. ”kalau soal terbuka terserahlah, yang utama itu adalah isi dari gelar terbuka,” tuturnya. Kalau gelar perkara tertutup, tapi tidak ada settingan, sama sekali tidak ada masalah. Namun, gelar perkara terbuka tapi disetting, tentunya sama sekali tidak ada gunanya. ”Jadi, jangan terlalu berharap pada apa yang belum Nampak seperti gelar perkara terbuka ini,” ujarnya. Dia menegaskan, jangan pernah bermain-main dalam kasus dugaan penistaan agama dengan terlapor Ahok tersebut. Harus ditegakkan hukum secara adil. ”Kalau tidak adil maka yakinilah ada Allah SWT yang akan menerapkan keadilannya di sini dan di akhirat,” ungkapnya. Sementara Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Brigjen Agus Andrianto menuturkan bahwa pemeriksaan saksi akan fokus pada pekan ini. Baik dari saksi pelapor, ahli dan terlapor. ”Mereka juga memiliki saksi ahli yang diajukan,” tuturnya. Kalau untuk saksi ahli dari kepolisian, hanya tinggal dari Kementerian Agama yang belum diperiksa. Menurutnya, hari ini (10/11) pemeriksaan saksi ahli dari Kemenag akan dilakukan. ”Secepatnya selesai,” ungkapnya. Sementara Juru Bicara Divhumas Polri Kombespol Rikwanto menuturkan, gelar perkara akan dilakukan dengan seobyektif mungkin. Polri yang baru kali pertama melakukan gelar perkara terbuka akan menyusun semuanya. ”Mekanismenya akan disusun dulu,” tuturnya. Dengan gelar perkara terbuka, masyarakat bisa melihat secara langsung. Sehingga, proses hukum ini dilakukan dengan benar-benar transparan. ”Ya, jadwalnya pekan depan, tapi belum ditentukan tanggalnya,” ujarnya. Sementara itu, aksi Damai 4 November ternyata berbuntut panjang untuk sejumlah orang. Setelah, musisi sekaligus Calon Wabup Bekasi Ahmad Dhani, kini giliran Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang dilaporkan karena diduga berlebihan saat berorasi. Bahkan, laporan yang dilakukan Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) menduga Fahri ingin melakukan makar. Perwakilan Bara JP Bilgado menuturkan, dalam demonstrasi yang dilakukan 4 November itu, Fahri diduga berorasi dan menyebut soal dua cara menggulingkan Jokowi. Yakni, parlemen ruangan dan parlemen jalanan. ”Karena orasi itulah, massa kemudian mengarah pada penggulingan Jokowi,” ungkapnya. Hal tersebut tentunya, sangat tidak etis dilontarkan oleh seorang Wakil Ketua DPR yang terhormat. Menurutnya, ada sejumlah video yang dibawa sebagai bukti untuk kasus tersebut. ”Videonya itu ada, sudah kami serahkan ke Bareskrim,” tuturnya. Laporan terhadap Fahri diterima kepolisian dengan surat tanda bukti lapor bernomor LP/1122/XI/2016 tertanggal 9 November 2016. Selain diduga berupaya makar, Fahri juga diduga ingin menghasut masyarakat yang berdemonstrasi. Sebelumnya, Ahmad Dhani juga dilaporkan karena diduga menghina Presiden Jokowi dengan mengucapkan kata-kata kasar saat berorasi dalam demonstrasi tersebut. Belum diketahui, kapan Ahmad Dhani akan dipanggil untuk pemeriksaan. Ditemui terpisah, Fahri menilai pelaporan terhadap dirinya tidak relevan. Lebih jauh, dia memandang, kalau pelaporan dirinya menunjukkan kalau banyak nasehat yang masuk pada presiden berasal dari pihak yang tidak memahami peta konstitusi dan UU. Terutama, pasca amandemen UUD ke-4.   ”UUD 1945 kita adalah konstitusi manusiawi yang meletakkan manusia lebih penting dari apapun. Oleh sebab itu, pemerintah Jokowi jangan lagi menggunakan kosakata yang sudah hilang di era demokrasi ini,” tegas Fahri. Dia lalu membeberkan, bahwa pasal makar sebagian besar sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Hal itu sebagai bentuk penyesuaian dengan UUD 1945 hasil amandemen.  (idr/dyn/acd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: