Hikmah Puasa Ramadhan
Oleh: Dr. H. Soediro, S.H., LL.M Puasa atau shaum adalah rukun Islam yang ke-4 yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin dan muslimat. Sebagai sebuah kewajiban, maka barangsiapa menjalankannya maka akan memperoleh pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya bukan karena udzur, maka dia akan mendapat siksa karena telah berbuat dosa. Dalil puasa sebagai sebuah kewajiban, terdapat dalam Al Qur’an, Surat Al Baqarah ayat 183 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” Dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Hukum puasa adalah wajib, 2. Puasa diwajibkan juga kepada umat sebelum Islam datang, 3. Puasa akan mengantarkan kaum mukminin menjadi muttaqin, atau kaum yang beriman menjadi kaum yang bertakwa. Jaminan bagi orang yang berpuasa dengan benar adalah hapusnya dosa yang telah dilakukannya. Rasulullah SAW menjamin dalam haditsnya sebagai berikut: “Barangsiapa berpuasa pada Bulan Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari No. 38 dan Muslim No. 760). Yang dimaksud berpuasa atas dasar iman yaitu berpuasa karena meyakini akan kewajiban puasa. Sedangkan yang dimaksud ihtisab adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala. (Lihat Fathul Bari, 4: 115). Dalam buku yang sama, Al Khottobi berkata, “Yang dimaksud ihtisab adalah terkait niat yaitu berpuasa dengan niat untuk mengharap balasan baik dari Allah. Jika seseorang berniat demikian, ia tidak akan merasa berat dan tidak akan merasa lama ketika menjalani puasa.” Kata kunci menjalankan puasa dengan iman dan ihtisab adalah membersihkan niat puasa dari keinginan dipuji orang (riya’), atau adanya tendensi dalam hati sehingga tidak ikhlas dalam menjalaninya. Jika orang berpuasa karena mengingnkan sesuatu, maka itu pertanda tidak adanya keikhlasan, dan bukan termasuk dalam pengertian hadits di atas. Mereka yang berpuasa karena iman dan mengharap ridho Allah, maka hatinya akan merasa tenang, lapang dan bahagia. Meskipun lapar dan dahaga sebenarnya tidak menyenangkan, namun akan terasa ringan bagi mereka yang menjalankannya dengan iman dan ihtisab. Beberapa hikmah puasa selain yang tersebut di atas adalah yang pertama, mensyukuri nikmat Allah SWT. Dengan merasakan lapar dan dahaga, maka orang menjadi bisa mensyukuri nikmatnya makanan dan minuman. Jika di hari-hari biasa orang cenderung makan sebelum lapar dan minum sebelum haus, maka kenikmatan makanan dan minuman hampir tak dapat dirasakan dengan penuh penghayatan. Dengan berpuasa, maka orang akan mersa bersyukur ketika berbuka. Dan dengan bersyukur, maka bukan saja manfaat makanan dan minuman dirasakan oleh tubuh kita, namun secara batinpun kita akan merasakan kenikmatan. Dan pada muaranya, syukur yang kita ungkapkan justru akan menyebabkan Allah berkenan menambah kenikmatan yang kita terima. Sebagaimana firman Allah SWT, “Barangsiapa mensyukuri nikmat Allah, maka Allah akan menambah nikmat tersebut. Dan barangsiapa kufur nikmat, adzab Allah sangat pedih (Q.S Ibrahim:7). Hikmah yang kedua dari berpuasa adalah sikap simpati kepada kaum miskin, karena ternyata kekurangan makanan dan minuman adalah hal yang tidak menyenangkan. Sikap ini jika dikembangkan akan menumbuhkan semangat membantu sesama, kepedulian kepada mereka yang menderita. Jika ini dilakukan, maka benteng pertahanan suatu bangsa menjadi kuat. Jika si mampu membantu si miskin, maka jurang pemisah menjadi tertutup, kesenjangan menjadi teratasi. Dengan demikian maka persatuan dapat dicapai dengan mudah. Hikmah ketiga, yaitu melatih kejujuran. Meskipun tak ada orang yang melihat, namun dalam keadaan berpuasa, orang tidak akan makan atau minum, karena yakin bahwa Allah tahu apa yang dilakukan. Jika sikap seperti ini terus dijaga di luar bulan Ramadhan, maka tak ada lagi orang yang korupsi, mencuri harta negara, melakukan perbuatan zina, dan lain-lain perbuatan maksiat yang dilarang oleh Allah SWT. Jika orang sadar bahwa ada CCTV ilahiah yang mengawasinya, maka perbuatan yang salah tak akan dilakukannya. Hikmah keempat adalah melatih kesabaran. Puasa mengajarkan kepada manusia cara menahan diri dari makan, minum, dan hubungan intim suami istri pada siang hari, merupakan metode yang tepat untuk melatih kesabaran. Jika belum waktunya berbuka, maka hal-hal yang dilarang dalam berpuasa tak akan dilakukan. Itu artinya, jika semangat puasa dapat mewarnai kehidupan di luar puasa, maka tidak ada orang yang terburu-buru melakukan sesuatu yang semestinya belum boleh dilakukan. Termasuk juga kemampuan mengendalikan emosi dalam keadaan lapar, sangat tepat untuk melatih kesabaran. Hikmah kelima diperolehnya kesehatan yang prima. Menurut para dokter, jika seseorang makan dengan rakus atau makan tanpa kendali, maka ia bisa terkena penyakit lambung yang akut. Sebagaimana kata-kata hikmah dari al-Haris bin Kaldah, dokter Arab yang masyhur, “Lambung adalah gudang penyakit, diet adalah obatnya yang utama, dan berikanlah hak pada badan untuk memulihkan dirinya.” Para ahli hikmah mengatakan, “Barang siapa yang makannya banyak, maka minumnya juga banyak, barang siapa yang minumnya banyak maka bawaannya ngantuk, dan barang siapa banyak tidur maka ia menyia-nyiakan umurnya.” Dalam tafsir an-Nasafi diceritakan, Khalifah Harun ar-Rasyid mempunyai dokter pribadi yang pandai dan beragama Nasrani. Ia berkata kepada ulama penasihat khalifah yang bernama Syaikh Ali bin Husin bin Waqid “Ilmu itu ada dua, yaitu ilmu agama dan ilmu kedokteran. Namun dalam kitab suci anda sama sekali tidak mengandung ilmu kedokteran. Syaikh Ali bin Husin menjawab, Allah SWT, telah menghimpun seluruh ilmu tentang kesehatan hanya dalam setengah ayat, yaitu, “Kuluu wasyarabuu walaa tusrifuu”, makan dan minumlah asal jangan berlebihan, (Q.S. Al-A’raf: 31). Dokter Nasrani itu menjawab, berarti ajaran yang dibawa oleh nabi Anda telah mencakup semua ilmu yang diajarkan Galinus (Galen adalah pakar kedokteran Yunani kuno, yang berpengaruh besar terhadap ilmu kedokteran Eropa). Dari sinilah disinyalir asal mula keharusan puasa sebelum seseorang menjalani operasi. Hikmah keenam, melemahkan nafsu syahwat. Manusia maupun binatang memiliki nafsu syahwat yang sama, yaitu ingin melampiaskan hasrat seksualnya. Bedanya adalah bahwa manusia melampiaskan syahwatnya dengan benar, yaitu melalui pernikahan. Ada saatnya manusia terhalang untuk melaksanakan hajat tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor. Misalnya belum mampu menikah, atau sudah menikah namun pasangannya terkena halangan syar’i, misalnya haid dan nifas. Puasa adalah cara untuk menjinakkan mafsu syahwat, agar manusia tidak terjerumus ke dalam jurang perzinahan. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Wahai pemuda, siapa di antara kamu yang telah mampu menikah, maka menikahlah. Sebab sesungguhnya nikah lebih mampu menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu menikah maka hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa sebagai wija’ (pengebiri) baginya.” (Hadits riwayat Al-Bukhari).(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: