"Laboratorium" Teh Nusantara di Kedai Lokalti, Kalau Bingung Coba Pesan Lik Yadi atau Mbak Winarsih

PERACIK TEH: Ryan sedang menyeduh teh di Kedai Lokalti. Teh domestik Nusantara dari 40 daerah tersedia di kedia ini. Teh adalah kekasih indra pengecap. Kedai Lokalti menyediakan berbagai jenis hasil perburuan ke puluhan daerah dengan beragam cerita di baliknya. ILHAM WANCOKO, Sleman, Jawa Pos https://radarbanyumas.co.id/pahitnya-kopi-bukan-lagi-soal-rasa-tapi-soal-bisnis-di-masa-pandemi-pindah-lokasi-hingga-terpaksa-tutup/ DARI dalam deretan stoples itu, menguar ucapan selamat datang kepada setiap pengunjung Kedai Lokalti. Dalam bentuk semerbak wangi teh yang berkampung halaman dari berbagai sudut Nusantara. Sleman, Jogjakarta, kebetulan baru selesai diguyur hujan sore itu. Cuaca dingin, bau tanah selepas hujan, dan aroma teh pun seperti bersepakat mendorong tenggorokan berteriak: tolong, guyur aku dengan teh hangat!. Tapi, memesan satu cangkir teh yang tak perlu pertimbangan ternyata tidak berlaku di kedai tersebut. Sebab, tempat di kawasan Jalan Damai, Sleman, itu tak ubahnya "laboratorium" teh Nusantara: ada beragam jenis dari 40 daerah yang disajikan di sini. Dalam kondisi begini, jurus klasik pun keluar: meminta apa yang paling spesial di menu. "Semua spesial di sini, teh semacam apa yang disukai," jawab si peracik, Ryan. Baiklah kalau begitu. Jurus berikutnya: meminta teh yang paling favorit dipesan pelanggan. Lha kok rupanya ada dua: Lik Yadi dan Mbak Winarsih. Apa-apaan ini, pesan teh kok dikasih orang. Ternyata, memang itulah nama kedua teh yang menjadi idola di kedai yang berdiri sejak 2015 itu. Lik Yadi merupakan teh dengan rasa yang pekat kuat, bak seorang pemuda tangguh melewati pahit manisnya kehidupan. Rasanya dalam bahasa Jawa lebih ke sepet. Sepertinya nama itu tepat, hidup ini sepet, terkadang manis dan akhirnya sepet lagi, duh. Lik Yadi akhirnya menjadi pilihan. Ryan kembali bertanya dengan metode penyajian: reguler atau biasa, baller, pres, atau poci. Memilih teh di sini rasanya seperti memilih hidangan utama. Walau, memang hanya teh yang disediakan. Tanpa kopi layaknya kedai lainnya. Peracik lantas menjelaskan tiap metode itu. Reguler layaknya menyeduh teh tubruk. Baller dengan cara teh ditekan menggunakan saringan besi berbentuk bulat sempurna. Pengaruh rasanya akan memperlembut. Adapun metode pres menyajikan teh dalam sebuah gelas yang terdapat penekan di tutupnya. Makin ditunggu tekanannya, makin kuat rasa tehnya. Untuk poci, teh disajikan dalam sebuah poci gerabah. Bedanya, di sini poci gerabah disiram air panas di sisi luarnya. Tujuannya, menyamakan suhu di luar dan di dalam poci. Itu membuat kehangatan teh bertahan lama dan rasanya jelas lebih nonjok. Setelah memilih metode pres, tak lama kemudian teh disajikan. Sebuah gelas kecil dengan alat pres yang berbentuk seperti gelas besar dengan saring yang ditekan. Rasanya tak lagi perlu ditanya. Top markotop, kalau boleh meminjam istilah yang sering kali diucapkan sang promotor kuliner, Bondan Winarno. Pemilik Kedai Lokalti Argadi menuturkan, teh selama ini dianggap sebagai minuman sederhana. Padahal, sebenarnya tidak. Perbendaharaan teh begitu kaya. Tiap daerah memiliki teh domestik sendiri. "Dengan karakter masing-masing," ujarnya. Argadi sedari mula begitu keranjingan dengan teh. Kecintaan itu mendorongnya untuk berburu teh ke seluruh Indonesia. Dari Solo yang dikenal sebagai kota dengan teh terenak, Tegal yang khas akan pocinya, hingga Padang dengan teh telurnya. Juga Aceh dengan teh tariknya. Di Solo, Argadi selama seminggu mempelajari berbagai cara meramu teh. Hanya bermodal nekat, dia mendatangi warung teh milik Pakde Blontank. Awalnya menjadi pengunjung yang ingin menikmati teh. Tapi, setelah berkali-kali, mencoba mengenalkan diri sebagai pencinta teh yang memiliki kedai teh di Jogjakarta. "Lalu, minta diajari membuat teh," jelasnya. Jurus itulah yang selalu diulang-ulang, baik ke Soto Gading yang masih di Solo, di Tegal untuk mempelajari poci, maupun ke sebuah warung khas Aceh yang begitu ramai di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. "Kalau yang di Sumatera Utara mempelajari teh telur dan teh tarik," tuturnya. Memang tidak semuanya diajarkan para pemilik warung itu. Namun, sebagai pencinta teh, Argadi setidaknya bisa meraba ke mana arah untuk meracik teh yang diinginkan. "Kalau ditanya kiblat teh saya, jelas itu Solo," paparnya. Menurut dia, teh oplosan di Solo tak bisa dipandang sebelah mata. Setidaknya ada tujuh jenis teh yang dicampur. Dari teh dandang, gopek, nyapu, sintren, hingga gardoe. "Tapi, yang paling favorit saya itu teh di Soto Gading," urainya. Rasa tehnya, bagi dia, benar-benar di luar nalar. Soto Gading itu juga salah satu langganan Presiden Jokowi. "Walau paling enak menurut saya, saya tidak ingin mengkloning rasa teh itu. Saya mencari rasa yang setara tapi berbeda, meski masih dalam pencarian," ujarnya. Dia menuturkan, tingkat keenakan sebuah teh bisa diindikasikan dari tiga hal. Yakni, keharuman, kepekatan, dan ketahanan rasanya. Teh yang semakin harum memicu hasrat untuk menikmati, kepekatan teh memberikan nuansa di lidah, dan ketahanan rasa yang lama memberikan perpisahan yang happy ending di lidah. Teh memang kekasih indra pengecap. "Itulah yang saya tuju," paparnya. Dalam sejarahnya, teh ditemukan Kaisar China Shen Nong pada 2737 SM atau sekitar 5 ribu tahun lalu. Syahdan, ketika kaisar sedang mendidihkaan air, tiba-tiba terjatuhlah sebuah daun dan dibiarkan. Ditemukanlah teh yang kemudian menyebar ke penjuru dunia. Di Indonesia, teh juga memiliki cerita etnografis sendiri. Misalnya, di Tegal, tingkat kepanasan teh menjadi tanda untuk seorang tamu apakah patut berlama-lama atau tidak. Kalau teh yang disajikan sangat panas, dipahami sang empu rumah ingin tamunya berlama-lama. "Kalau teh pocinya hangat-hangat kuku, berarti tidak ingin tamunya berlama-lama," ujar Argadi. Di Lokalti yang menyediakan 40 jenis teh domestik ini, oplosan juga sangat dianjurkan. Bahkan, teh utama dalam menu di Lokalti merupakan hasil eksperimen dengan oplosan berbagai teh. "Setidaknya tiga jenis teh menjadi satu," tuturnya. Untuk menemukan satu menu teh, dilakukan uji coba dengan berbagai oplosan. Setelahnya dicicipi sepuluh rekan Argadi. "Saya minta menilai mana teh yang paling enak dengan skor," ujarnya seraya kembali mengenang awal mula Kedai Lokalti. Membicarakan teh tentu sulit untuk tidak membandingkannya dengan kopi. Kendati kerap disajikan bersamaan, hampir pasti tidak ada satu orang yang memesan keduanya bersamaan. Bak pasangan yang pisah ranjang dan dalam proses bercerai. "Ya, seperti itulah kopi dan teh. Bahkan keduanya bersaing," ujarnya, lalu tertawa. Teh yang baik, menurut para pencinta teh, dipadukan dengan batu gula. Yang awalnya sepet atau pahit lama-kelamaan menjadi manis. Sebagaimana hidup, berpahit-pahit dahulu, manis kemudian. Tapi, kalau hidup sudah pahit, tehnya manis saja lah. (jpc)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: