Mereka yang Loyal kepada Indonesia, di Eks Timor Timur Sejak 2003, Tapi Belum Punya Hak Atas Tanah

Mereka yang Loyal kepada Indonesia, di Eks Timor Timur Sejak 2003, Tapi Belum Punya Hak Atas Tanah

MENUNTUT HAK: Kamp Tuapukan di Desa Oebelo, Kupang Tengah, NTT. JAWAPOS Ratusan warga eks Timor Timur, sebagian di antaranya pejuang prointegrasi, menuntut penuntasan program relokasi. Risno Pakur membantu mereka lewat tulisan, video, dan dengan membawa isu itu ke khalayak yang lebih luas. AGUS DWI PRASETYO, Jakarta https://radarbanyumas.co.id/rumah-terduga-teroris-di-purwokerto-digerebek/ https://radarbanyumas.co.id/kisah-wni-ketika-pulang-saat-pandemi-kaget-di-pesawat-ada-yang-pakai-apd-tak-bermasker-di-malaysia-denda-rp-35-juta/ DI kamp pengungsi yang sepi, dengan jalanan yang belum diaspal itu, tak ada yang berubah dari Egi Soares. Dia tetap mencintai Indonesia, dengan segala kekecewaannya. ”Kami sudah memilih dan menetap di Indonesia. Kami hanya ingin kepedulian bangsa ini agar hak-hak kami dipenuhi,” katanya dalam panggilan video dengan Jawa Pos yang difasilitasi Risno Pakur. Egi bagian dari ratusan warga eks Timor Timur (Timtim, kini Timor Leste) yang masih menetap di kamp pengungsian Tuapukan di Kupang Tengah, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Tiga puluh menit saja jaraknya dari ibu kota provinsi, tapi mereka yang bermukim di sana, sebagian di antaranya pejuang prointegrasi dan keturunannya, merasa negara seperti tidak pernah hadir. ”Sejak menempati rumah yang disediakan 2003 lalu, kami belum punya hak atas tanah,” imbuh Marcho Okky, warga eks Timtim lainnya. Risno Pakur termasuk yang tengah berjuang membantu mengadvokasi para penghuni kamp Tuapukan. Dia menulis artikel di sebuah media daring yang judulnya dibuka dengan kalimat Dear, El Presidente (Tuan Presiden yang Terhormat). Pemuda Kupang alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, itu juga membuat video seputar kondisi terkini kamp tersebut. Durasinya 12 menit. Di video itu terekam sepinya suasana di kamp yang penghuninya rata-rata bekerja sebagai buruh tani dan buruh lepas itu. Tak ada kendaraan lalu-lalang. Dan, jarak antarrumah juga cukup jauh. Lokasi tanah yang ditempati pengungsi itu secara administratif berada di RT 18, RW 07, Dusun IV, Desa Oebelo. Terdapat 52 kepala keluarga (KK) lama dan 12 KK baru. Total ada 381 jiwa yang menetap di atas tanah seluas 3 hektare tersebut. Tiap KK menempati lahan seluas 20 meter x 25 meter. Program relokasi yang dijanjikan pemerintah sampai saat ini belum juga tuntas. ”Sampai sekarang mereka (warga eks Timtim, Red) masih tinggal di barak pengungsian,” ujar Risno yang tengah melanjutkan studi S-2 di Universitas Trisakti. Tanah yang ditempati eks Timtim di Oebelo, kata Risno, sebelumnya merupakan milik Nikanor Mooy Mbatu. Pada 2003, tanah itu telah diberikan kepada panitia penyelenggara tanah. Dalam hal ini Dinas Kimpraswil (PU Bidang Cipta Karya) Provinsi NTT. ”Lahan (eks Timtim) diperoleh dari proses jual beli antara pemerintah dan tuan tanah,” paparnya. Menurut Risno, dana yang dipakai untuk membeli lahan permukiman dan pembangunan resettlement atas Oebelo tersebut bersumber dari dana hibah pemerintah Jepang. Pada 2015, Aliansi Perjuangan Rakyat NTT (APR NTT) melakukan rapat dengar pendapat dengan pemerintah dan wakil rakyat setempat. ”Tapi, belum ada realisasi untuk tuntutan sertifikasi lahan,” paparnya. Sekarang kamp pengungsian seluas 3 hektare itu dihuni mayoritas warga eks Timtim generasi ketiga. Kebanyakan orang tua mereka yang kali pertama menempati lahan tersebut sudah meninggal. ”Kami ingin masalah ini (sertifikat tanah) cepat diselesaikan karena menyangkut masa depan anak dan cucu kami nanti,” kata Antonio Da Costa, salah seorang warga yang juga tinggal di kamp tersebut. Film Atambua 39 Derajat Celsius rilisan 2012 juga menggambarkan situasi sulit para warga eks Timtim ini. Mereka tinggal di rumah-rumah beratap seng dan beralas tanah. Sebagian juga harus tinggal terpisah dari keluarga menyusul kerusuhan pascareferendum 1999 yang akhirnya berujung kepada Timor Leste merdeka. ”Dulu aku mencari kayu di sana, mencari burung-burung liar,” kata salah seorang warga kepada Ronaldo, salah satu karakter di film garapan Riri Riza tersebut, sambil menunjuk ke arah Timor Leste. ”Tapi, sekarang ada tentara berjaga.” Sepanjang film tersebut, ada getir seperti itu: tanah Timor di mana Timor Barat (masuk NTT, termasuk Kupang dan Atambua di dalamnya) dan Timor Timur (kini Timor Leste) berada yang kini terbelah. Juga cinta yang tak terbantahkan kepada Indonesia di satu sisi. Dan, tarikan kerinduan dari tanah kelahiran di seberang di sisi lain. Riri Riza menggambarkan kontras itu lewat sosok ayah dan anak, Ronaldo serta Joao. Ronaldo yang prointegrasi meninggalkan istri dan anak yang sedang dikandung untuk menyeberang ke Indonesia dengan membawa si kecil Joao. Dan, di negeri tempat dia bekerja serabutan sebagai sopir itu, Joao tumbuh tanpa belaian kasih ibu yang cuma dia kenal suaranya lewat rekaman kaset usang. Entah apakah hal yang sama juga dirasakan Egi, Okky, Antonio, atau warga penghuni Taupuan yang lain. Yang pasti, seperti disaksikan Risno, waktu yang tak pendek, hampir dua dekade, menunjukkan loyalitas mereka. Tapi, di sisi lain, mereka juga ingin didengar. Risno membantunya, termasuk dengan membawa persoalan itu ke ibu kota Jakarta agar mendapat perhatian lebih luas. ”Kami berharap lembaga bantuan hukum (LBH) dan teman-teman CSO (civil society organization, Red) bisa membantu menyelesaikan persoalan kami,” kata Antonio. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: