Mengenal Syekh Jumadil Kubro, dari Keturunannya Lahir Cikal Bakal Walisongo

Mengenal Syekh Jumadil Kubro, dari Keturunannya Lahir Cikal Bakal Walisongo

Para peziarah berdoa di depan makam Syekh Maulana Jumadil Kubro. (TITIS ANIS FAUZIYAH/JAWA POS RADAR SEMARANG) Makam Syekh Maulana Jumadil Kubro ditemukan pada zaman penjajahan Belanda. Makamnya berlokasi di Jalan Arteri Yos Sudarso nomor 1 Kelurahan Terboyo Kulon, Kecamatan Genuk Kota Semarang. Tepatnya di dekat pintu keluar Jalan Tol Semarang Timur. Pemilik nama asli Syaikh Jamaludin Husein ini semula melakukan perjalanan beserta rombongan para ulama yang dari Timur Tengah dan Maroko sampai ke Indonesia. Rombongannya disebut sebagai Al-Maghribi, sebutan daerah Maghrib, Maroko. https://radarbanyumas.co.id/perjuangan-bedug-amin-keniten-kedungbanteng-setelah-sempat-mati-suri-kini-kembali-digebug-order/ Dikutip dari Radar Semarang, Setelah bertemu di Pasai, Aceh, rombongan langsung menuju ke Pulau Jawa, tepatnya di Semarang. Karena keteladanan akhlaknya, Syekh Jumadil Kubro sangat dihormati di Kerajaan Majapahit. Dakwahnya cukup berhasil pada masa itu. Tokoh yang dikenal sebagai generasi pertama Walisongo ini keturunan Rasulullah SAW, pada nasab ke-17 dari Sayyidina Husein. Dia menikah dengan Siti Fatimah Kamar Rukmi dan memiliki 5 anak. Lalu dengan istri kedua, Siti Fatimah Binti Muchawi dan dikaruniai 16 anak. Dari keturunannya lahir cikal bakal Walisongo. Kedua anaknya Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan Maulana Ishaq melahirkan sebagian Walisongo. Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati dan Sunan Giri adalah cucunya. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah buyutnya. Sementara Sunan Kudus adalah cicitnya. Imam juga menceritakan, saat kawasan Terboyo dilanda banjir besar tahun 1970- an, semua kawasan terendam banjir, kecuali makam tersebut. Bahkan makam itu seperti terangkat dan mengapung di atas air. Dari situlah warga semakin yakin itu bukan makam orang sembarangan. Tak hanya di Semarang, makam atau petilasan Syekh Jumadil Kubro diyakini berada di sejumlah tempat di antaranya di Mojokerto, Sleman, Jogyakarta, dan Makassar. Menurut penuturannya, Syekh Jumadil Kubro memang pernah melakukan riyadhoh di Gunung Merapi untuk mencari petunjuk. Setelah itu, dia berdakwah ke berbagai daerah di Pulau Jawa. Sekitar tahun 1998, sebelum jalan tol dibangun, Imam sang juru kunci yang berjaga bercerita tak ada alat berat yang dapat meratakan dan menggusur lokasi tersebut. Hingga akhirnya titik pembangunan jalan digeser ke sebelah makam. “Ya itu kedua karomah yang saya tahu dari beliau. Yang tidak saya tahu lebih banyak lagi mungkin,” tandasnya. Dia katakan, banyak pengunjung yang meminta pembukuan sejarah, namun pihaknya belum dapat memenuhi permintaan itu. Saat ini hanya memajang figura besar yang mencantumkan silsilah Syekh Jumadil Kubro. Bahkan kejelasan silsilah itu saja, dibantu oleh Habib Luthfi Bin Yahya saat dulu pernah berziarah. Meski Pandemi, Tetap Banyak Peziarah Memasuki hari pertama bulan puasa, makam Syekh Maulana Jumadil Kubro tetap dikunjungi peziarah. Makam yang dikelola Yayasan Syeikh Jumadil Kubro sejak tahun 1995 ini, memiliki fasilitas cukup memadai. Selama pandemi Covid-19, makam tetap dibuka dengan protokol kesehatan. Ada belasan peziarah yang datang silih berganti saat koran ini tiba Selasa (13/4) kemarin. Sebelum memasuki pintu, peziarah diwajibkan mencuci tangan di salah satu dari tiga wastafel yang ada. Kemudian dapat menitipkan sandalnya di rak susun yang disediakan. Lalu di sebelah kanan ruangan peziarah dihadapkan dengan 10 galon air minum yang dapat diambil secara gratis. Sebelum memasuki makam, mereka diminta mengisi buku kunjungan. Setiap hari, keempat juru kunci bergantian menjaga makam dan memandu peziarah selama 24 jam. Di depannya juga dilengkapi layar TV untuk memantau area parkir depan, ruang dalam makam, maupun masjid di lantai atas. Papan bertuliskan silsilah Syekh Maulana Jumadil Kubro terpampang jelas di sebelah struktur pengurus yayasan. Dituliskan bahwa beliau merupakan keturunan Rasulullah yang ke-17. Para peziarah datang dari berbagai daerah. Mulai warga Semarang, Demak, hingga Banjarnegara, Bekasi, Aceh dan Palembang. Minggu lalu 3 unit bus dari Magelang juga berziarah di akhir pekan. “Paling ramai memang pas Rajab dan Ruwah. Kalau puasa begini paling rombongan kecil keluarga,” kata Imam Santoso juru kunci yang bertugas kepada Jawa Pos Radar Semarang. Hanya saja suara bising kendaraan dan truk muatan tak bisa dihindari dan tetap terdengar hingga ruang makam. Bagaimanapun makam tesebut berbatasan langsung dengan jalan masuk tol. Saat koran ini tiba, para pengunjung lebih banyak yang melakukan salat dzuhur di lantai atas. Sedangkan peziarah hanya ada satu keluarga. Seusai mengobrol dengan juru kunci Imam Santoso selama kurang lebih satu jam, peziarah pamit. Lalu dua pemuda asal Demak datang untuk beziarah. “Kami habis ada urusan di Kota Semarang, pas pulang lewat sini, sekalian ngalab berkah para wali,” jelas Bayu dan Hasyim. “Kalau acara haul ramai, biasanya setelah Syawal. Tapi tahun lalu haul hanya dirayakan warga desa setempat karena PSBB ketat. Belum tahu kalau tahun ini nanti,” kata Imam. (cr1/radarsemarang/ida)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: