Juliari Dianggap Tidak Ksatria, Vonis 12 Tahun Dinilai Melukai Masyarakat
JAKARTA - Mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara telah divonis bersalah menerima suap dalam kasus pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun anggaran 2020. Juliari dihukum pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. https://radarbanyumas.co.id/mantan-mensos-juliari-divonis-12-tahun-penasihat-hukum-kukuh-klien-tak-terima-uang-suap-bansos/ "Menyatakan terdakwa Juliari Peter Batubara terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, sebagaimana dakwaan kesatu alternatif," kata Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (23/8). "Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan," imbuhnya. Dalam menjatuhkan hukuman terjadap Juliari, majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hakim beralasan hal yang memberatkan, Juliari Batubara dinilai tidak ksatria dalam menjalani proses hukum. "Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak kesatria, ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya," ucap Hakim Damis. Selain itu, perbuatan Juliari Batubara juga dilakukan dalam keadaan darurat pandemi Covid-19. Terlebih pandemi Covid-19 ini merupakan bencana skala nasional. "Perbuatan terdakwa dilakukan dalam keadaan darurat bencana nonalam yaitu wabah covid-19"” cetus Damis. Meski demikian, terdapat alasan yang meringankan dalam menjatuhkan hukuman terhadap politikus PDI Perjuangan itu. Hakim menyebut, Juliari belum pernah dihukum pidana. Bahkan Juliari dinilai sudah cukup menderita selama proses penanganan perkara. Dia telah divonis lebih dulu bersalah oleh masyarakat, padahal belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. "Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," cetus Damis. Selain itu, selama persidangan yang kurang lebih berjalan empat bulan, Juliari dinilai selalu hadir dengan tertib, tidak pernah bertingkah macam-macam alasan yang akan mengakibatkan persidangan tidak lancar. "Padahal selain sidang untuk dirinya sendiri selaku terdakwa, juga harus hadir sebagai saksi dalam perkara Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso," tegas Damis. Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan kepada Juliari berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp 14.597.450.000. Paling lambat dibayarkan setelah satu bulan putusan berkekuatan hukum tetap. "Apabila tidak dibayar paling lama satu bulan setelah perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda terpidana dirampas untuk menutupi keuangan negara dan apabila tidak mencukupi maka diganti pidana penjara selama 2 tahun," ucap Hakim Damis. Politikus PDI Perjuangan itu juga dijatuhkan hukuman tambahan, untuk tidak dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun. Pidana ini dibebankan setelah Juliari menjalani pidana pokok. Majelis Hakim meyakini, Juliari Peter Batubara terbukti secara sah menerima suap senilai Rp 32,48 miliar dalam pengadaan paket bantuan sosial (bansos) sembako penanganan Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun anggaran 2020. Penerimaan suap itu, dilakukan Juliari dengan memerintahkan pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Sosial (Kemensos) Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono untuk memungut fee senilai Rp10 ribu per paket bansos sembako ke para rekanan penyedia bansos Covid-19. Juliari menerima uang dari konsultan hukum, Harry Van Sidabukke sebesar Rp 1,28 miliar. Pemberian uang ini terkait dengan penunjukan PT Pertani dan PT Mandala Hamonangan Sude sebagai rekanan penyedia bansos Covid-19. Kemudian dari Direktur Utama PT Tigapilar Agro Utama, Ardian Iskandar Maddanatja, sejumlah Rp1,95 miliar dan rekanan penyedia bansos Covid-19 lainnya senilai Rp29.252.000.000. Juliari diyakini melanggar Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Bukan Berdasar Tuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan vonis 12 tahun penjara terhadap mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara, bukan karena tuntutan 11 tahun pidana penjara yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Lembaga antirasuah memastikan, vonis tersebut berdasarkan prinsip kebebasan hakim dalam proses persidangan. "Ada prinsip kebebasan hakim dalam proses persidangan. Hakim tentu tidak tergantung pada tuntutan, amar tuntutan dari jaksa," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK, Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (24/8). Menurut Ali, jika ada yang berpendapat vonis 12 tahun penjara terhadap Juliari berdasarkan tuntutan 11 tahun Jaksa KPK hal ini tidak berdasar. Karena hakim dalam setiap memutus perkara, mempunyai kebebasan untuk memvonis setiap perkara. "Sehingga, kalau gara gara tuntutan KPK yang rendah saya kira keliru," tegas Ali. Juru bicara KPK bidang penindakan ini menegaskan, hakim memiliki pertimbangan yang memberatkan dan meringankan dalam memutus perkara. Hal tersebut yang menjadi dasar vonis hakim terhadap Juliari. "Tapi kami apresiasi, tentu kan seluruh amar tuntutan dari jaksa itu kan dikabulkan, baik pidana badan, uang pengganti, denda, sampai pencabutan hak politik," ujar Ali. Melukai Hati Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai putusan 12 tahun penjara kepada mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara tidak masuk akal dan melukai hati korban korupsi bansos. Seharusnya, Juliari Batubara divonis lebih berat yakni seumur hidup penjara. "Betapa tidak, melihat dampak korupsi yang dilakukan oleh Juliari, sangat pantas dan tepat untuk mendekam seumur hidup di dalam penjara," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Senin (23/8). Bagi ICW, ada empat argumentasi yang dapat disampaikan untuk mendukung kesimpulan bahwa Juliari harus dihukum seumur hidup penjara. Pertama, Juliari melakukan kejahatan saat menduduki posisi sebagai pejabat publik. "Sehingga berdasarkan Pasal 52 KUHP hukuman Juliari mesti diperberat," tegas Kurnia. Kedua, praktik suap bansos dilakukan di tengah kondisi pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan betapa korupsi yang dilakukan Juliari sangat berdampak, baik dari segi ekonomi maupun kesehatan, terhadap masyarakat. Ketiga, hingga pembacaan nota pembelaan atau pledoi, Juliari tak kunjung mengakui perbuatannya. Padahal, dua orang yang berasal dari pihak swasta, Ardian dan Harry, telah terbukti secara sah dan meyakinkan menyuap Juliari. Keempat, hukuman berat bagi Juliari akan memberikan pesan kuat bagi pejabat publik lain agar tidak melakukan praktik korupsi di tengah situasi pandemi Covid-19. "Berangkat dari hal ini, maka semakin lengkap kebobrokan penegak hukum, baik KPK maupun Pengadilan, dalam menangani perkara korupsi bansos," cetus Kurnia. Untuk KPK sendiri, lanjut Kurnia, ICW menganggap lembaga antirasuah itu sedari awal memang takut dan enggan untuk mengembangkan perkara ke pihak-pihak lain. Indikasi itu sudah terlihat sejak proses penyidikan. "Misalnya, keterlambatan melakukan penggeledahan dan keengganan memanggil sejumlah politisi sebagai saksi. Tidak hanya itu, saat fase penuntutan pun tidak jauh berbeda. Mulai dari menghilangkan nama sejumlah pihak dalam surat dakwaan, ketidakmauan jaksa untuk memanggil pihak yang diduga menguasai paket pengadaan bansos, dan rendahnya tuntutan terhadap Juliari," papar Kurnia. Sementara itu, di luar proses hukum, KPK juga diketahui memberhentikan Kasatgas Penyidikan dan Penyidik perkara bansos melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), serta membangun dalih seolah-olah ingin menyelidiki dugaan kerugian negara. Padahal diduga kuat tindakan itu untuk memperlambat dan melokalisir perkara ini agar berhenti hanya terhadap Juliari. "Begitu pula majelis hakim yang menyidangkan perkara ini. Selain putusannya sangat ringan, terhadap isu lain yakni gugatan korban bansos juga ditolak dengan argumentasi yang sangat janggal," tandas Kurnia. (jpc)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: